07 Broke

1K 51 0
                                    

Clarissa berjalan menyusuri lorong kampus bersama Maria. Mereka saat ini sedang membahas kejadian di bar malam itu, setelah Clarissa menceritakan seluruh POV nya sekarang giliran Maria yang menceritakan POV nya. Gadis yang saat ini memakai kacamata itu menceritakan apa yang terjadi padanya dimalam itu.

Dimana malam itu, Maria yang sedang menikmati musik dengan Jordan tiba-tiba dikejutkan dengan pria itu yang seketika jatuh pingsan. Setelahnya ia melihat bahwasanya seseorang dengan jas hitam menyuntikkan leher jordan dengan cairan entah apa yang membuatnya langsung jatuh pingsan. Namun ia lebih terkejut lagi saat sebuah pisau jatuh dari genggaman pria itu.

Belum sempat memproses apapun, pria berbaju hitam lainnya juga menyuntikkan sesuatu padanya yang membuatnya juga langsung tak sadarkan diri. Saat gadis itu membuka mata, ia sudah berada dikamarnya. Orang tuanya bilang bahwa seseorang yang mengaku sebagai temannya mengantarkannya ke rumahnya dan mengatakan dirinya mabuk berat hingga tertidur dijalan.

"Apakah itu kak Alex?" gumam Clarissa yang dapat didengar Maria

"Siapa-siapa? Aku tidak dengar."

"Emh tidak, belum tentu dugaanku benar. Namun itu sudah pasti suruhan Olas"

Maria mengangguk mengiyakan ucapan Clarissa sebagai jawaban.

"Iya, setidaknya aku bersyukur masih selamat berkat bantuannya. Jika tidak... Mungkin aku akan celaka."

"Bukan hanya kamu, mungkin aku juga akan jatuh ditangan Bryan malam itu juga."

Maria yang mendengar itupun seketika merasa bersalah pada Clarissa. Karena disini yang menyuruhnya tetap tinggal bersama Bryan adalah dirinya. Ia benar-benar tak menyangka bahwa Bryan adalah orang yang begitu kurang ajar hingga berbuat sejauh ini untuk mendapat Clarissa.

"Maafkan aku ris."

"Tidak usah merasa bersalah, tidak apa-apa."

Tepat setelah itu mereka sudah sampai didepan kelas. Mereka pun masuk dan memulai kelas pagi mereka dengan tenang. Setelah beberapa saat, kelas pun selesai dan mereka memutuskan untuk langsung pulang.

"Mar, aku pulang dulu. Kamu hati-hati ya dijalan."

"Biar aku antar kamu pulang." Jawab Maria.

"Em tidak usah, itu merepotkan. Aku akan mencari bus atau taksi nanti. Gampang."

"Lebih gampang lagi jika kamu pulang bersama ku. Ayolah, tidak ada yang merepotkan untuk sahabat!" Jawab Maria semangat dan menarik tangan Clarissa untuk mengikutinya ke parkiran mobilnya.

Clarissa pun hanya terkekeh mendengar ucapan Maria barusan. Gadis itu mau tak mau mengikuti langkah Maria. Jika sudah seperti ini Maria sangat sulit untuk di tolak. Mereka pun memasuki mobil Maria yang terparkir rapih dijajaran mobil lainnya.

"Terima kasih bebss!" Seru Clarissa sekali lagi dari luar jendela mobil begitu ia sudah sampai dan turun dari mobil itu.

"Yeah sama-sama. Aku pergi duluu daahh~~" balas Maria kemudian pergi meninggalkan pekarangan rumah Clarissa.

Clarissa pun memasuki rumahnya dengan tenang. Ia begitu tenang karena sedari ia pulang kemarin tidak ada orang tuanya dirumah. Hanya ada dirinya dan adiknya Casandra serta pegawai dirumah. Setidaknya, dalam dua hari ini ia tidak akan mendapatkan luka baru ditubuhnya.

"Aw!" Seru Casandra terkejut begitu ia menubruk Clarissa saat berjalan dengan memainkan ponselnya.

"Kamu ini! Lihat-lihat dong! Udah tau aku mau lewat kenapa juga menghalangiku!" Bentak Casandra.

Padahal dirinya yang salah namun Clarissa yang hanya diam itu yang ia salahkan. Adiknya itu memang tidak pernah menganggap Clarissa sebagai kakak. Satu keluarga ini tidak ada yang memberinya title kakak ataupun anak. Mereka seolah menganggap Clarissa sampah dan tempat pembuangan keluh kesah mereka.

"Kamu yang fokus bermain ponsel hingga tak sadar ada aku disini. Aku juga sedang jalan, kamu yang menabrakku hingga aku nyaris kehilangan keseimbangan." Bela Clarissa.

"Berani sekali kamu menyalahkan ku?! Aku akan adukan pada mamah dan ayah!"

"Apa? Apa salahku kenapa kamu mau mengadukanku pada mereka?"

Casandra yang sebelumnya akan membalas ucapan Clarissa pun terhenti kala pintu rumah kembali terbuka dan terlihat Joshua dan Amora yang masuk dengan supir mereka yang kini membawa koper milik mereka.

Casandra pun langsung berlari mendekati mereka dan bergelayut dilengan Amora. Gadis itu merengek dan mengeluh mengenai Clarissa yang berhasil membuat emosi kedua orang tua mereka naik.

"Mamah ayah, Clarissa tadi mendorongku! Aku sampai akan jatuh diujung tangga."

Clarissa menghela nafasnya berat. Tangannya terkepal erat merasakan kesal sekaligus takut disaat yang sama. Ini bukan pertama kalinya Casandra mengarang cerita seperti itu dan berakhir dirinya yang dipukuli oleh Joshua bahkan Amora juga ikut andil dalam menorehkan luka ditubuhnya.

"Clarissa! Apa-apaan kamu seperti itu?!" Bentak Amora.

"Mah.." Ucapan Clarissa terpotong saat suara dingin ayahnya terdengar.

"Ke kamar dan tunggu ayah disana. Jangan berani keluar sebelum ayah kesana!"

--0•0--

Hujan yang mengguyur kota Vancouver seolah menjadi pengiring lelehan air mata yang terus jatuh di pipi pualam Clarissa. Gadis itu menangis sesegukan dibalik selimut putihnya. Sakit ditubuhnya benar-benar luar biasa, ditambah dengan sakit dihatinya yang membuat dadanya terasa nyeri.

Hampir satu jam Clarissa menangis setelah sebelumnya Joshua menampar wajahnya dan ia juga tak segan-segan menginjak kedua telapak tangan Clarissa secara bergantian seolah menjadi hukuman bagi gadis itu setelah ia mencoba mendorong Casandra. Bualan Casandra benar-benar membutakannya.

"Sakit.. hiks"

Nyeri ditangannya masih sangat terasa. Bahkan ada jejak keunguan diatas telapak tangannya. Gadis itu pun tak sempat untuk menghapus darah dari bibirnya yang pecah akibat tamparan kuat Joshua.

"Aku tidak salah.. aku tidak melakukan apapun hiks.. kenapa ayah tega... Kenapa harus aku..."

Kemudian dengan sangat perlahan Clarissa menyalakan ponselnya dan menekan tombol call pada kontak seseorang. Seseorang yang membuatnya merasa aman bahkan dengan hanya mendengar suaranya. Clarissa sungguh berharap orang itu akan mengangkat panggilan telfonnya saat ini. Gadis itu benar-benar membutuhkan rasa aman itu sekarang.

Namun sepertinya dunia seolah memberinya ruang untuk bersedih hingga puas dan menyadarkan dirinya bahwa ia memang benar-benar sendirian. Legolas, seseorang yang sedari tadi Clarissa harapkan tidak sekalipun mengangkat beberapa panggilan telefon Clarissa. Gadis itu tertawa sumbang merasa bodoh.

"Sadar Rissa! Olas tidak menganggap mu sepenting itu! Haha.. kamu memang tidak berharga Rissa. Kamu tidak seharusnya hidup." Ucap Clarissa.

Clarissa terus meracau seolah mengeluarkan isi pikirannya didalam selimut tebal itu. Hingga beberapa saat racauan itu berhenti digantikan dengan kesunyian yang hanya diisi oleh suara derasnya hujan diluar sana. Clarissa terlelap dibalik selimut yang menjadi saksi hancurnya seorang anak perempuan akibat perbuatan orang tuanya.

-0-0-
Sementara disisi lain,

Legolas membuka ponselnya dan mengangkat sebelah alisnya begitu melihat banyak sekali panggilan tak terjawab dari Clarissa. Gadis itu memang sudah biasa mengganggunya dengan menelfon seperti ini, namun tidak biasanya gadis itu akan menelfon sebanyak ini. Pria itu membasahi bibir bawahnya sendiri sebelum kemudian menghentikan dirinya yang akan menelfon balik Clarissa.

"Pasti seperti biasa, tidak jelas." Gumam Legolas kemudian pria itu memilih mematikan ponselnya dan meletakkannya diatas meja.

Legolas kembali fokus terhadap tumpukan berkas yang kini menjadi tanggung jawabnya untuk segera pria itu selesaikan. Oh fyi, Legolas tidak menjawab panggilan Clarissa yang sebanyak itu bukan karena ia malas atau apa, namun karena memang ponsel Legolas masih dalam mode silent setelah rapat sore tadi sehingga pria itu tidak tau sama sekali ada panggilan masuk dan hanya terfokus pada berkas-berkasnya.

.
.
.

LEGOLAS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang