PROLOGUE

18 3 0
                                    

"Alviendra?" sahut seorang wanita, dengan perut buncit memanggil Putranya yang sedang bermain.

Bocah laki-laki berusia 6 tahun berlari menuju Ibunya yang telah menunggunya di pagar. Dengan senyum kekanak-kanakan yang menjadi ciri khasnya, bocah laki-laki itu menunjukkan senyum gigi susunya yang jarang di bagian depan. Kaos lengan pendek berwarna oranye dan celana putih pendek di atas lutut yang dikenakannya tampak lusuh, terkena lumpur sehabis bermain bersama dengan teman-temannya yang lain.

"Kenapa Bu?"

"Aduh, Alvie, sudah berapa kali Ibu bilang? Jangan main kotor-kotoran ah. Bahaya! Kalau kamu cacingan gimana?" cemas sang Ibu bernama Aneeira sembari mengusap wajah anaknya yang juga kotor.

Bocah laki-laki itu tertawa usil, melihat Ibunya yang sangat memperhatikannya. Perasaannya begitu riang tidak terkira. "Alvie kan masih punya Ibu. Selama Alvie masih punya Ibu, Alvie baik-baik aja kok. Hehe." Jawab Alviendra diakhiri dengan tawa senyumnya yang begitu menghangatkan hati Aneeira.

"Aduh, kamu ini lama-lama kayak Ayah kamu aja! Bilangnya baik-baik aja kalau ada Ibu tapi, Ibu sendiri juga cemas, tahu?" Aneeira mencubit pelan hidung Alviendra yang kecil dan lucu seperti sebuah tombol. Alviendra hanya tertawa sembari mengusap-usap hidungnya.

"Gimana kabar adik Ibu? Aku ingin cepat-cepat melihat adik!" Alviendra menunjukkan senyumnya yang tampak bahagia sembari memandangi perut buncit Ibunya yang sudah memasuki usia 8 bulan.

Aneeira tersenyum. Dia mengelus kepala Alviendra sebagai bukti cintanya pada anak itu dan juga pada anak di dalam perutnya. "... Alvie mau peluk adik?"

"Beneran boleh Ibu?" Alviendra terlihat sangat senang saat Ibunya kemudian membalas dengan menganggukkan kepalanya.

Alviendra mendekatkan kepalanya kemudian menempelkan daun telinganya ke perut Aneeira. Betapa terkejutnya dia merasakan adanya sebuah kehidupan di dalam perut Ibunya. D ia juga mendengar suara tendangan kecil dari adik kesayangannya itu yang akan lahir dalam beberapa minggu lagi.

"Adik! Alvie sayang adik!" ucap Alviendra dengan wajah bahagianya usai dia kembali menjauhkan kepalanya dari sang Ibu.

Aneeira tersenyum kemudian berucap, "Ibu juga sayang adik. Nanti, kalau adik kamu lahir, jaga dia baik-baik, ya?"

Tanpa keraguan dalam hatinya, Alviendra langsung mengangguk penuh semangat, tidak sabar menantikan kehadiran adiknya sebentar lagi.

Malam hari, pada tanggal 27 April tahun 2002, di hari yang sama. Aneeira tiba-tiba merasakan kontraksi yang cukup hebat dalam perutnya. Hal ini membuat suaminya, Una Mahendra panik, terpaksa membangunkan Alviendra yang tengah terlelap dan mengajaknya pergi ke rumah sakit terdekat. Seharusnya, bukan saatnya. Bukan malam ini Aneeira merasakan kontraksi yang begitu hebat sampai membuatnya berteriak kesakitan. Bukan hanya Una yang merasa sangat khawatir. Tetapi, Alviendra juga merasakan khawatiran yang sama dengannya.

Sesampainya di rumah sakit, dokter menyarankan agar Aneeira segera melahirkan anaknya dengan operasi sesar demi keselamatannya dan juga keselamatan bayinya. Tanpa pikir panjang, Una langsung menyetujuinya dan mempercayai dokter kandungan yang selama ini memeriksa keadaan Aneeira dari awal kehamilannya.

Sepanjang operasi sesar berlangsung, Una tidak berhenti berdoa demi keselamatan dan perlindungan istri dan juga anaknya yang akan lahir sebulan lebih cepat. Seluruh tubuhnya terasa panas tetapi juga dingin pada bagian tangan dan kakinya. Alviendra yang kala itu menyaksikan ketegangan Una juga ikut merasakannya. Dia menggenggam tangan Una yang begitu dingin lalu memeluknya. Begitu juga dengan Una yang langsung membalasnya dengan pelukan juga.

Selama beberapa jam, operasi itu akhirnya berhasil dilakukan dan bayinya dinyatakan selamat. Akan tetapi, dokter lagi-lagi meminta persetujuan pada Una untuk melakukan operasi pengangkatan rahim dikarenakan kondisi Aneeira yang mengalami pendarahan hebat. Jika pendarahan itu tidak segera dihentikan dengan operasi pengangkatan rahim, Aneeira bisa dikatakan tidak akan selamat.

Una sempat ragu karena impian Aneeira untuk memiliki 2 anak kembar tidak akan terwujud. Tetapi, ini semua demi keselamatan dan kebaikannya.

Pada akhirnya, karena Una tidak mau kehilangan Aneeira, Istri tercintanya, Una menyetujui operasi pengangkatan rahim meski pada akhirnya, mereka tidak akan bisa memiliki anak lagi.

~o0o~

Unspecial BrotherWhere stories live. Discover now