BAB. 1 - SEKOLAH

10 3 0
                                    


"Nggak mau! Alvie nggak mau sekolah!" rengek bocah berusia 7 tahun.

Ini bukan sekali atau kedua kalinya Alviendra menolak untuk pergi ke sekolah padahal, tahun ini akan menjadi tahun pertamanya. Saat Alviendra memiliki seorang adik yang usianya terpaut 6 tahun, ia lebih sering menghabiskan waktunya di rumah sedang biasanya Alviendra selalu bermain di luar bersama dengan teman-temannya. Namun, semenjak adiknya lahir, Alviendra mulai menunjukkan perubahan dari dalam dirinya. Dia lebih sering berada di rumah dan menolak ajakan temannya untuk pergi bermain keluar. Kejadiannya sudah terjadi selama lebih dari satu tahun. Bahkan saat diajak ke pertemuan keluarga dengan nenek dan kakeknya, Alviendra memilih untuk berdiam di kamar seraya bermain dengan Rayendra atau sekedar membaca buku pelajaran milik Una yang bekerja sebagai guru PAUD.

"Alvie, kenapa kamu nggak mau sekolah?" Aneeira mulai cemas karena sedari tadi Alvie terus menolak sembari menggendong Adiknya, Rayendra yang saat itu masih berusia 1 tahun.

"Nggak mau! Alvie mau main sama adek aja! Alvie nggak mau sekolah!" Alviendra tampak sangat serius bahkan rasanya air mata yang menumpuk di pelupuk matanya akan segera turun membasahi pipinya.

"Alvie! Kalau kamu nggak mau sekolah, kamu mau balik lagi ke zaman prasejarah yang belum kenal sama yang namanya sekolah dan pendidikan?" Una mencoba untuk terlibat dalam perdebatan kecil yang dilakukan antara Istrinya dengan Putra sulungnya.

"Biarin! Alvie baca di buku Ayah katanya manusia prasejarah itu nggak perlu kerja karena kerjanya cuma makan sama nyari tempat baru yang banyak makanan! Hidup kayak gitu mah enak nggak usah repot-repot belajar dan berbaur sama orang lain!" celetuk Alviendra mendapatkan tatapan pasrah dari kedua orang tuanya.

"Bagaimana ini Una? Alvie betulan nggak mau sekolah." bisik Aneeira.

"Tenang saja, Ra! Aku punya banyak cara agar Alvie mau sekolah." balasnya kembali menatap Alviendra dengan tatapan jahil dan penuh dengan siasat buruk.

Una menghela nafas lalu melipat tangannya di depan seolah pasrah dengan jawaban Alviendra yang selalu itu-itu saja. "Yah, kalau begitu. Karena Alvie juga nggak mau sekolah dan Ayah hari ini juga libur, bagaimana kalau kita liburan ke pantai." Una melirik ke arah Aneeira di sebelahnya sembari mengedipkan kedua matanya beberapa kali seperti memberikan sebuah isyarat.

Hidup selama lebih dari 10 tahun bersama dengan Una, tentu sudah lebih dari cukup bagi Aneeira untuk mengerti maksud dari semua ucapan yang dilontarkan oleh suaminya dan kode isyarat yang selalu itu-itu saja yang tidak pernah berubah sampai sekarang.

"Ah! Ayah benar! Kita akan pergi liburan ke pantai!" ucap Aneeira dengan aktingnya yang luar biasa hebat seperti akan benar-benar pergi ke pantai.

"Hah? Pantai?" raut wajah Alviendra tampak heran. Mengapa tiba-tiba Ayah dan Ibunya ingin pergi ke pantai? Apalagi waktu masih menunjukkan pukul 5.45 pagi. Tentu ini masih terlalu pagi dan rata-rata semua orang masih tertidur di jam segini. Terlebih, komplek perumahannya telah dipasang palang pembatas agar menyulitkan maling untuk masuk. Palang pembatas itu, biasanya hanya akan dibuka jam 7 pagi. Meski terkadang, Pak RT yang memegang kunci gemboknya selalu lupa untuk membukanya.

"Tidak boleh! Kalau adik tenggelam gimana? Adik masih kecil! Lagian cuaca di pantai pasti bakalan panas banget! Tidak boleh pokoknya! Tidak boleh!" geram Alviendra sembari memeluk adiknya erat-erat.

Una menghela nafas. Tidak disangka membujuk anaknya sendiri untuk pergi ke sekolah bahkan untuk diajak jalan-jalan ke pantai rasanya sulit sekali. Una merasa dia telah melakukan sesuatu yang paling mustahil di dunia ini. Una melirik ke arah Aneeira dan saat itu juga Una menyadari kalau Putra sulungnya ini mirip sekali dengan sifat Istrinya yang keras kepala.

Unspecial BrotherWhere stories live. Discover now