"Aku akan membersihkan pakaiannya, kakak duduk saja di sofa." Rayendra mengarahkan Alviendra duduk di salah satu sofa kemudian menyalakan televisinya untuk meramaikan suasana.
Alviendra mengedarkan seluruh perhatiannya ke penjuru ruangan. Sofa berwarna coklat menjadi saksi bisu kebersamaan sebuah keluarga yang fotonya terpampang jelas pada sebuah bingkai yang ukurannya cukup besar dan posisinya berada di atas televisi.
Alviendra memandang foto itu. Dilihatnya wajah yang begitu mirip dengannya, sedang merangkul sosok Rayendra yang berada di paling tengah sementara di sisinya yang lain, Una berdiri di sana sembari merangkul pundaknya dengan hangat. Selain bingkai foto keluarga, di sana juga terpampang jelas beberapa bingkai foto masa kecil dari anak-anak yang tumbuh di rumah ini. Dan beberapa dari foto itu, tentulah ada foto dirinya yang sedang berfoto dengan Rayendra yang kala itu masih berusia satu bulan.
"Aku ada di sana." Gumamnya sembari menyentuh salah satu foto lalu mengambilnya.
Foto itu adalah foto sewaktu dirinya masih berusia 11 tahun. Foto saat dirinya dinyatakan lulus SD setelah mengikuti kelas akselerasi. Dalam fotonya ia tersenyum, sembari memakai sebuah toga yang berukuran sangat kecil dan menggenggam sebuah ijazah di tangannya. Sosok Una dan Aneeira yang sedang menggendong Rayendra pun juga ada dalam foto tersebut. Mereka semua tampak bahagia seolah tidak ada satupun kesedihan yang dapat menghancurkan mereka.
"Kakak sedang apa di sana?"
PRANGG!!
Alveindra terkejut melihat kehadiran Rayendra yang tiba-tiba. Tanpa sengaja ia menjatuhkan bingkai foto di tangannya hingga membuat seluruh kacanya pecah dan berhamburan ke lantai.
Bingkai fotonya hancur. Alviendra melihat kedua kakinya berdarah, terkena serpihan kaca karena tidak memakai kaos kaki. Sementara Rayendra berusaha terlihat baik-baik saja meski dalam dirinya dia juga menyimpan ketakutan pada suara benda jatuh. Sama seperti yang biasa Alviendra lakukan ketika marah. Dia selalu membanting beberapa barang ke lantai sampai membuat suara yang sangat kencang.
"Maafkan aku. Aku akan segera merapikannya." Alviendra berinisiatif membersihkan satu persatu pecahan kaca menggunakan tangan kosong.
"Jangan kak! Aku saja!" celetuk Rayendra, menghentikan langkah Alviendra yang hampir saja menyentuh pecahan kaca.
Rayendra menyadari luka yang ada di sekitar kaki Alviendra. Dia mengambil kotak obat yang tersimpan di laci bawah televisi kemudian meminta Alviendra duduk kembali di sofa. "Jangan pikirkan soal bingkai foto. Kakimu lebih penting."
Dengan begitu hati-hati, Rayendra mengelap seluruh kaki Alviendra dan membersihkannya dari serpihan kaca menggunakan kain basah. Setelah selesai, Rayendra meneteskan obat merah pada permukaan kapas sebelum akhirnya meletakkannya tepat di lukanya dan merekatkannya menggunakan plester.
Suasananya masih terasa canggung. Alviendra seperti orang asing bagi Rayendra. Begitu juga sebaliknya. Namun, Alviendra yang sekarang bukanlah seseorang yang betah pada suasana canggung. Berulang kali dia mengalihkan perhatiannya ke sana kemari sebelum akhirnya membuka pembicaraan.
"Kamu pandai melakukan hal semacam ini." Ucapnya yang terkesan sangat sepele dan terkesan hanya basa-basi saja.
"Aku sudah terbiasa." Singkat Rayendra sembari merapikan kembali seluruh isi kotak obatnya. "Kakak jangan berjalan-jalan dulu. Lukanya masih belum sembuh. Aku yang akan membersihkan kacanya."
"Ehh! Tunggu sebentar!" sahut Alviendra berhasil memancing perhatian Rayendra ketika dia hendak mengembalikan kotak obatnya.
"Ada apa lagi kak?" Rayendra menoleh dengan tatapannya yang terlihat sendu.
"Perlihatkan padaku pergelangan tanganmu." Alviendra melambaikan tangannya memberi isyarat pada Rayendra untuk segera mendekatinya.
Rayendra tahu maksud Alviendra tadi. Saat sedang memeras kain basah, Rayendra refleks menggulungkan lengannya ke atas untuk menghindari ciprataan air. Siapapun orangnya pasti melihat pergelangan tangannya tadi yang penuh luka dan plester karena terlalu sering menyayat lengannya sendiri menggunakan cutter.
"Aku tidak ingin membicarakannya. Kakak beristirahat saja di kamar dan obatnya jangan lupa diminum!." Dengan segera Rayendra pergi dari hadapannya menuju dapur dan mengambil pengki.
Lagi-lagi dirinya gemetaran. Dia takut kakaknya yang dulu akan kembali tiba-tiba dan mengetahui semua yang disembunyikannya. Kebiasaan lama yang pernah hilang akhirnya muncul kembali. Di dapur, Rayendra terus menerus menggigit kuku jarinya hingga berdarah. Nafasnya kembali sesak. Kakinya lemas, jatuh berlutut di depan kulkas. Sebenarnya dia masih takut berhadapan dengan Alviendra yang selalu menuntutnya terlihat sempurna. Meski Alviendra yang sekarang mengalami hilang ingatan, dia tetap takut ingatan itu akan kembali di saat yang tidak tepat.
"Sial! Lagi-lagi seperti ini!"
Rayendra tidak sanggup menahan rasa takut berlebih dalam dirinya. Meski sepuluh jarinya sudah berdarah-darah, dan dadanya kian sakit setelah dia memukulinya berkali-kali, rasa takut itu tidak kunjung menghilang. Rayendra pikir, dirinya tidak lagi membutuhkan obat penenang. Tetapi ternyata itu salah. Dia masih tidak bisa mengatasinya selain mengalihkan rasa takutnya dengan rasa sakit.
Rasa takut yang tak kunjung hilang, membuat Rayendra tiba-tiba berpikir untuk melakukan hal yang nekat demi menghilangkannya. Rayendra berpikir membenturkan kepalanya ke lantai mungkin bisa menghilangkan rasa takutnya. Tidak ada rasa takut dalam dirinya membayangkan ketika dia benar-benar membenturkan kepalanya ke lantai. Yang ada di kepalanya saat ini hanyalah bagaimana dia bisa menghilangkan rasa takut berlebih ini.
Tanpa pikir panjang, Rayendra segera melakukannya. Akan tetapi, saat hanya tinggal beberapa senti dari lantai, tiba-tiba seluruh gerakannya membeku. Dia berhenti dengan kepala yang hampir saja terluka dalam. Dari belakang. Ternyata Alviendra memeluk pundaknya sampai membuatnya sadar kalau yang dilakukannya saat ini benar-benar salah.
"Kumohon, jangan berpikir untuk membenturkan kepalamu ke lantai. Aku masih membutuhkanmu. Aku tahu kamu terluka. Karena itu, aku bersedia menjadi obat untukmu." Ucap Alviendra begitu mendalam sampai membuat Rayendra akhirnya menumpahkan semua air mata yang menumpuk di pelupuk matanya.
~o0o~
Malam harinya, Rayendra hendak mengambil air minum di dapur setelah seharian ini ia menghilangkan rasa takutnya dengan menangis seharian di depan Alviendra. Beruntungnya Alviendra tidak ingat apapun kejadian sebelum kecelakaan. Alviendra juga tidak akan tahu apa saja yang telah dilewatinya semenjak kedua orang tuanya sudah tidak ada.
Baru saja dia keluar kamar, perhatiannya seketika tertuju pada sosok yang duduk di belakang balkon sembari memperhatikan langit yang begitu gelap. Dia memakai selimut biru dengan beberapa bantal dan guling seperti seseorang yang akan tidur di sana. Penasaran dengan apa yang dilakukannya, Rayendra menghampirinya dan membuka pintu kaca yang menghalanginya.
"Kak? Ngapain di sini?"
Alviendra menolehkan kepalanya ke arah Rayendra yang berdiri di sampingnya. Kali ini, tidak seperti Alviendra yang dikenalnya. Dia tersenyum, seperti sosok anak kecil. Rayendra heran karena baru kali ini dia melihat sosok kakaknya yang tersenyum setelah bertahun-tahun dia selalu saja tampak dingin dan tidak manusiawi.
"Aku senang melihatmu di sini. Mau tidur bersamaku?"
"Nggak. Lagian kakak kan juga punya kamar sendiri. Kenapa kakak nggak tidur di kamar aja?"
"Aku hanya merasa kalau ada begitu banyak kenangan yang tertinggal di sini meski aku tidak tahu apa itu. Aku juga merasa kalau, di sinilah letak penyesalanku berada."
"Memangnya kakak punya penyesalan?" batinnya.
"Rayendra!" sahut Alviendra berhasil membuat Rayendra terkejut dan memancing perhatiannya.
Alviendra tampak tersenyum sendu, meski tatapannya tidak sedang melihat ke arahnya. Dia terus melihat ke arah sebuah pot kecil berisikan tanaman mawar kecil kesayangan Aneeira yang selama ini terus dirawat olehnya.
"... Aku janji padamu, esok pasti akan lebih baik. Akupun juga akan terus menemanimu dan berusaha mengembalikan ingatanku." Alviendra berucap kemudian dia mengalihkan perhatiannya ke arah Rayendra sampai benar-benar menatapnya. "... aku hanya berharap, kamu bisa menjalani hidupmu jauh lebih baik dari hari ini. Jauh dari luka yang selama ini kamu hadapi sendirian. Kali ini, aku akan turut serta menemanimu."
YOU ARE READING
Unspecial Brother
Teen Fiction"Apakah aku bisa menemukan keajaiban di tengah petaka yang sedang menimpaku?" "Apakah aku bisa menemukan arti dari semua masalah ini?" "Tuhan, apakah engkau harus merenggut kedua orang tuaku dan Ingatan saudaraku?" "Bagaimana aku bisa menemukan kete...