Hampir semalaman, Rayendra tidak tidur sama sekali. Dia memposisikan dirinya duduk di meja belajar sembari memandangi note yang tertempel di meja belajarnya. Hari ini harus dapat nilai 100. Jangan sampai membuat kakak marah. Itulah yang ia tuliskan pada note yang selalu ia letakkan di atas meja belajarnya. Di samping mejanya, terdapat sebuah kotak sepatu yang biasa ia gunakan untuk mengumpulkan kertas-kertas ujian yang selama ini ia kerjakan saat kakaknya berada di rumah sakit. Semua itu tidak dilihat olehnya. Lagipula Rayendra selalu takut Alviendra mengetahui tempatnya menyimpan semua kertas ujiannya.
"Kakak yang sekarang tidak seperti seseorang yang mengalami hilang ingatan. Malah seperti dia memaksa merubah kepribadiannya. Memangnya kakak bisa tersenyum seperti kemarin? Kakak mungkin hanya berpura-pura lupa setelah melihat keadaanku kemarin sebelum kecelakaan. Aku juga tidak menyangka aku bisa dikalahkan oleh rasa takutku sendiri. Apakah rasa takutku sebesar itu, ya?"
Rayendra bersandar pada kursinya sembari memejamkan matanya. Sesaat kemudian, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, menampilkan sosok Muju dengan pakaiannya yang tampak berantakan dan kantung mata yang terlihat sangat jelas sedang berdiri di sana dengan tatapan lesu. Wajahnya tidak jauh berbeda dengan Rayendra yang juga memiliki sepasang kantong mata setelah tidak tidur semalaman.
"Apakah kamu baru saja mengoleskan pantat wajan ke matamu sampai membuatnya terlihat sangat hitam?" Muju menunjuk heran ke arahnya.
"Kamu sendiri? Kenapa kamu lebih mirip dengan panda daripada manusia?" balas Rayendra.
"Ahh! Sudahlah! Aku capek!" Muju yang tampak kesal, langsung berjalan masuk dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Hei! Pakai tempat tidurmu sendiri! Aku baru membersihkannya tadi! Lagian kamu juga belum mengganti baju!" Rayendra beranjak dari kursinya. Tangannya menarik paksa jaket yang masih Muju kenakan. Namun, Muju terlalu berat bahkan dia sampai menahan dirinya dengan berpegangan pada dipannya.
"Aku capek! Urus saja kakakmu di sana! Sepertinya dia sedang ribut di dapur." Ucap Muju sembari membenamkan wajahnya di atas bantal.
"Hah? Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh orang yang sedang kebingungan?" Rayendra berpikir sejenak lalu tiba-tiba terdengar suara piring pecah yang sudah tentu asalnya dari arah dapur yang ada di lantai satu.
Rayendra segera berlari menuruni tangga, melihat kejadian yang ada di dapur. Baru saja dia menapakkan kakinya di ruang tengah, dia sudah dikejutkan dengan pemandangan tumpukan pakaian yang menyebar ke seluruh ruangan. Bingkai foto yang seharusnya tergantung di tembok sengaja di turunkan oleh seseorang dalam posisi foto yang berada di bawah. Televisi pun dibiarkan menyala serta di bawah mejanya, ada beberapa pecahan gelas kaca yang masih berserakan.
"Kenapa jadi berantakan begini?" Rayendra mulai pusing memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa membereskan semua kekacauan yang ada di ruang tengah.
"AWWW!"
Lagi-lagi suara yang sama datang dari arah dapur. Sudah pasti itu bukanlah suara yang terdengar asing baginya. Suasana dapur tidak jauh lebih berantakan dari ruang tengah. Alat-alat makan dan bahan makanan semuanya menyebar. Pintu kulkas tampak masih terbuka lebar begitu juga dengan keran air wastafel yang dibiarkan menyala sampai airnya terbuang kemana-mana. Sementara itu, sosok yang menjadi biang kerok dari semua kejadian hari ini tampak tersenyum santai padanya seolah tak terjadi apapun.
"Hehehe, kamu sudah bangun? Aku baru saja akan membuat sarapan." Alviendra menunjukkan raut wajah tanpa dosa sembari menunjukkan jari telunjuknya yang terluka akibat pisau.
Rayendra menatapnya datar, berusaha untuk tidak marah. Di sisi lain, dia juga ketakutan jika kakaknya tiba-tiba mengamuk seperti dulu mendapati nilai ujian adiknya tidak bisa sesuai ekspektasi.
"Kakak duduk saja di depan. Aku yang akan membereskannya."
~o0o~
Setelah bergulat dengan semua kekacauan yang Alviendra hasilkan, Rayendra akhirnya bisa duduk tenang, bersandar di sofanya. Badannya nyaris remuk usai ia menghabiskan waktu 3 jam lebih dalam hidupnya untuk membereskan semua kekacauan yang dihasilkan dari seseorang yang mengaku tidak ingat apapun. Alviendra bahkan lupa caranya membuka pintu kamar mandi yang seharusnya di dorong malah di tarik olehnya hingga membuat gagang pintunya copot. Lagi-lagi daftar pekerjaannya bertambah. Dia terpaksa membereskan semua kekacauan ini seorang diri karena Muju terlalu lelah bekerja semalaman suntuk sampai membuatnya tertidur pulas.
"Kak! Besok lagi jangan sentuh barang-barang yang ada di rumah ini. Aku lelah membereskan semuanya." Rayendra bersandar pada kursi sofanya sembari menutupi seluruh wajahnya dengan handuk basah.
Alviendra merasa bersalah. Kini dia memposisikan duduk berhadapan dengan Rayendra. Matanya terus mengarah ke sisi lain. Sekali-kali dia melihat ke arah Rayendra namun tidak lama dia kembali melihat ke arah yang lain.
"Maaf, ya. Padahal aku bilang besok akan lebih baik. Tapi ternyata tidak berlangsung baik. Aku sendiri kebingungan. Semuanya tampak familier tetapi aku tidak bisa mengingatnya. Rasanya seperti terjebak dalam ruang kosong." Alviendra mengatakannya penuh dengan rasa bersalah.
Rayendra mengangkat handuk basah yang menutupi wajahnya. Dia menunduk sedikit ke arah Alviendra yang tampak menyesali perbuatannya. Sungguh? Apakah dia benar-benar kakak yang aku kenal?! Bagaimana bisa dia membentuk ekspreksi yang seperti itu? Ku pikir akan terjadi banyak drama rumah tangga yang akan aku hadapi. Tetapi, kenapa rasanya mengawas orang yang mengalami hilang ingatan sama seperti mengawasi anak yang berumur lima tahun?!
Rayendra tidak habis pikir melihat kelakuan kakaknya yang memiliki kebiasaan buruk serta menunjukkan berbagai ekspreksi yang belum pernah dilihatnya. Alviendra yang dulu adalah sosok dingin yang jarang sekali bersosialisasi dengan orang sekitar. Dia bahkan pernah mengikuti kelas akselerasi hingga akhirnya bisa lulus lebih cepat dan bisa mendapatkan gelar sarjana.
Kakaknya adalah sosok yang patut dibanggakan sementara adiknya adalah sosok yang selalu berlindung di belakang punggungnya.
"Bagaimana denganku kak? Apakah kakak juga tidak merasakan sesuatu?" Rayendra menatapnya dengan tatapan mendalam, sembari menunggu jawaban.
Alviendra menatapnya dengan seksama. Pikirannya begitu berisik saat berusaha mengingatnya. Siapakah dia? Dan apa hubunganmu dengannya? Apakah kamu yakin dialah orang yang bisa mengembalikan semua ingatanmu? Semakin dia berusaha mengingatnya semakin sakit juga kepalanya. Rasanya seperti akan pecah dan meledak sewaktu-waktu.
"Aku belum bisa mengingatnya. Aku perlu waktu."
YOU ARE READING
Unspecial Brother
Teen Fiction"Apakah aku bisa menemukan keajaiban di tengah petaka yang sedang menimpaku?" "Apakah aku bisa menemukan arti dari semua masalah ini?" "Tuhan, apakah engkau harus merenggut kedua orang tuaku dan Ingatan saudaraku?" "Bagaimana aku bisa menemukan kete...