"Hari ini aku akan menjadi wali kelas kalian. Namaku Reno. Tolong kerja samanya."
Sosok guru, perawakan tinggi, berpakaian bersih dan rapi serta selalu memakai jam tangan, datang dengan suaranya yang datar dan tidak ceria menyambut para siswa baru terkecuali Muju. Reno tampak tak terlalu terkejut melihat keberadaan Muju yang ada di kursi belakang bersama dengan Rayendra. Karena ditahun sebelumnya, dia adalah wali kelasnya dan sudah sangat mengenalnya.
"Muju, saya harap di tahun ini kamu tidak membolos lagi seperti tahun kemarin." Reno mengeluarkan laptopnya dari dalam tasnya kemudian membukanya.
Ucapan Reno tadi hanya mendapatkan anggukan dari Muju sementara beberapa siswa lainnya masih sibuk memandanginya rendah. Tatapan itu disadari oleh Rayendra meski Muju tidak membalas tatapan mereka dan memilih melihat ke luar jendela. Kesannya membuat Rayendra semakin merasa bersalah.
"Kenapa melihat kami begitu? Apakah kalian tidak memiliki objek lain untuk dilihat?!" Rayendra berusaha membentak mereka meski dalam dirinya dia ketakutan setengah mati.
Ucapan Rayendra tadi berhasil memancing perhatian Reno yang langsung menatapnya. Dia sungguh berani membentak teman-temannya disaat gurunya masih berada di kelas. Tetapi Reno adalah orang yang sangat rapi dan menjunjung tinggi kedisiplinan. Baginya tidak ada kesempatan kedua. Hanya ada peluang dan pikiran yang ada di kepalanya.
"Jangan berisik saat guru mu ada di sini. Perhatikan sopan santun kalian saat ada di kelas dan juga, kalian di sini semuanya setara. Tidak ada yang lebih tinggi ataupun rendah. Saya akan berusaha bersikap netral pada kalian semua." Singkat Reno seketika membuat suasana kelas berubah menjadi tegang.
Rayendra merasa keringatnya terus bercucuran dari atas kepalanya. Kedua tangannya mulai dingin karena merasa kalau Reno sepertinya sedang memarahinya. Namun, rasa tegang itu tiba-tiba hilang saat Muju menyentuh punggung tangannya sembari menatapnya dengan tatapan mendalam.
"Terima kasih. Berkatmu, aku jadi lebih baik." Ucapnya.
Di sisi lain, Reno terus memperhatikan keduanya dari kursi guru. Awalnya dia merasa tidak asing dengan sosok Rayendra. Tetapi, lama kelamaan dia juga bisa mengenalinya. Dia adalah sosok yang sering dilihatnya saat pemakaman Aneeira dan Una berlangsung. Sudah pasti. Rayendra adalah Putra kandung mereka sementara Muju adalah anak angkat mereka.
"Sejauh mana mereka sudah bertahan selama ini?"
~o0o~
Saat pulang sekolah, Muju langsung pergi ke tempat bekerjanya, membiarkan Rayendra pulang lebih dulu. Suasana ramai selama perjalanan pulang tidak lagi membuat Rayendra merasa takut. Lebih lagi, rasa cemasnya saat akan pulang ke rumah tidak lagi mengganggu pikirannya.
"Loh? Pak Reno?" Rayendra berkedip beberapa kali, melihat keberadaan Reno yang berdiri di sisi jembatan seperti sedang menunggu seseorang.
"Ini sudah jam berapa? Kenapa kamu baru pulang sekarang?" Reno tak berhenti melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 6 sore padahal sekolah sudah bubar 2 jam yang lalu.
"Tadi, aku aku harus piket sebentar lalu pergi ke suatu tempat. Hehe." Rayendra merasa canggung berbicara dengan sosok Reno yang memiliki tatapan dingin dan selalu membuat siapapun yang berbicara dengannya merasa teralihkan.
"Bukan karena kamu tidak ingin pulang ke rumah?"
"Bukan! Sekarang aku justru ingin pulang ke rumah. Tadi itu, aku betulan ada urusan mendadak jadi harus pergi ke suatu tempat." Rayendra langsung menjawab. Dia tidak ingin Reno bertanya lebih lanjut lagi karena sebelum pulang, dia sempat bolak-balik kamar mandi sehabis makan di kantin.
"Lalu, bagaimana keadaanmu? Dibandingkan dengan teman-temanmu di kelas, kamu yang terlihat paling kecil. Apakah kakakmu tidak pernah memberimu makan?" tanya Reno mulai menginterogasinya. Dulu, Reno adalah teman dekat dari Una jadi dia tahu kalau Rayendra adalah tiga bersaudara dan kakak pertamanya, adalah orang yang paling tidak waras menurutnya.
"Kenapa Pak Reno menanyakan hal seperti ini? Kakak menjagaku dengan sangat baik. Bahkan dia telah mengorbankan semuanya demi adiknya yang bahkan tidak bisa membantunya sama sekali." Tatapan Rayendra seketika berubah menjadi sendu, mengingat kenyataan pahit yang baru saja disadari olehnya.
Tiba-tiba Rayendra juga ikut merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi keinginan Alviendra padahal selama ini, Alviendra selalu memenuhi keinginannya bahkan sampai rela mengorbankan segalanya untuknya.
"Kenapa wajahmu jadi sedih begitu? Apakah ucapanku benar? Kakakmu tidak mengurusmu dengan baik?" Reno mulai membaca situasinya. Dia sudah banyak mendengar kisah tentang Alviendra dari Una yang merubah sikapnya menjadi dingin semenjak dia mengikuti kelas akselerasi tingkat SD.
"Jangan mengatakan hal yang jelek tentang kakak! Dia sudah melakukan banyak hal untukku jadi, tentu saja aku harus melakukan sesuatu untuk membuatnya senang!" tegas Rayendra sampai membuatnya tidak sadar kalau dirinya sedang berbicara dengan Gurunya.
"Maafkan aku Pak Reno! Aku sungguh tidak sengaja membentakmu! Tolong jangan sebut namaku besok!" seketika wajah Rayendra berubah menjadi panik saat Reno terdiam dengan wajahnya yang masih terlihat datar.
"Tidak apa-apa. Sebaliknya, kamu baru saja mengatakan hal yang jujur. Sepertinya kakakmu memang sudah berusaha keras untukmu." Reno menyandarkan punggungnya pada pagar pembatas besi. Lagi-lagi Reno tak menunjukkan ekpreksi apapun melihat kejujuran Rayendra.
Saat ini Rayendra masih berpikir, Reno mengetahui tentang dirinya dari data diri saat dia mencalonkan diri menjadi peserta didik di sekolah tempatnya bekerja. Rayendra masih belum tahu kalau selama ini, Reno adalah teman dekat Ayahnya dan saat itu Una selalu menceritakan keluh kesahnya saat berada di rumah pada Reno seorang. Meskipun semenjak kematian Una, Reno tidak pernah terlihat di kehidupan anak-anaknya.
"Kalau pak Reno sendiri sedang menunggu siapa?" Rayendra hanya ingin basa-basi sedikit sebelum ia melanjutkan perjalanannya pulang ke rumah.
Reno terdiam sejenak sembari mengalihkan pandangannya dari bawah ke langit yang mulai gelap. Dadanya terasa berat. Dunianya hancur saat melihat Rayendra tumbuh tidak seperti anak-anak biasanya. Tubuhnya kecil, lengannya dipenuhi dengan bekas luka yang masih belum kering di beberapa bagian. Tetapi, dia masih bisa berkata jujur tentang kakaknya dan tertawa seperti anak-anak biasanya.
"Dulu, ada seorang laki-laki yang menangis di sini saat hujan sambil memegang secarik kertas yang penuh dengan darah. Orang itu memiliki penyesalan yang tidak bisa dimaafkan oleh dirinya sendiri. Karena semuanya sudah berakhir." Jelas Reno yang tidak bisa langsung di mengerti oleh Rayendra.
"Aku harus jawab apa sekarang?! Kenapa pulang ke rumah saja rasanya sesulit ini?!" batin Rayendra merasakan kecanggungan yang luar biasa antara dirinya dengan Reno, Wali kelasnya sendiri.
"Mau aku temani?" Rayendra mengajukan diri lebih dulu meski pada akhirnya ucapannya sendiri akan menyusahkannnya.
"Tidak perlu. Kamu bisa pulang. Kakakmu pasti mengkhawatirkanmu."
"Pak Reno jangan khawatir. Kakakku orang yang lumayan santai." Rayendra mengakhiri ucapannya dengan senyum kekanak-kanakan miliknya. Tetapi, saat punggungnya juga ikut bersandar ke pagar pembatas, dia tidak sadar kalau besi yang disandarinya ternyata sudah berkarat dan rapuh. Pagar pembatas itu selalu di cat ulang berkali-kali sehingga seseorang tidak akan sadar kalau sebenarnya jembatan itu sudah tua dan rapuh.
Alhasil, karena kejadian itu, punggung Rayendra terjun bebas ke dalam sungai, bersama dengan serpihan-serpihan besi pagar pembatas. Jantungnya seperti benar-benar berhenti berdetak saat kakinya tidak lagi menapak di tanah. Rayendra menyaksikan wajah Reno yang panik melihatnya terjatuh sementara di sisi lain, dia juga melihat sosok yang tanpa ragu terjun ke sungai dan menyusulnya.
YOU ARE READING
Unspecial Brother
Novela Juvenil"Apakah aku bisa menemukan keajaiban di tengah petaka yang sedang menimpaku?" "Apakah aku bisa menemukan arti dari semua masalah ini?" "Tuhan, apakah engkau harus merenggut kedua orang tuaku dan Ingatan saudaraku?" "Bagaimana aku bisa menemukan kete...