Book I BAB XI : Obrolan Lewat Jam 6 Sore

7 5 2
                                    

Di ruang makan yang terletak di lantai bawah, caporegime Dawe, dan Jendral Hafiz sedang duduk sambil menikmati minuman mereka. Yang lain berada di ruangan TV yang terletak di sebrang ruangan makan, Ilman baru saja pergi keluar untuk menjemput seseorang yang bisa menenangkan Hashfi. Sedari tadi Hashfi dan Sherry belum turun-turun juga, entah apa yang keduanya lakukan di atas.

Sambil menyesap minuman limun dingin, Hafiz mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong celananya.

"Mau merokok?" Tanya Hafiz, sambil menawarkan bungkusan rokok pada Dawe.

Dawe tersenyum, sambil mengibaskan tangannya. "Tidak, terimakasih. Saya tidak merokok. Silahkan tuan Jendral kalau ingin merokok."

Hafiz tersenyum, lalu menyelipkan sebatang rokok di bibir, dan menyalakan pemantik butana. Kemudian Hafiz merokok, mengepulkan asap biru ke langit-langit dari mulutnya.

"Sungguh benar-benar hari yang tak terduga, huh?" Kata Hafiz, memulai pembicaraan.

Dawe mengangguk. "Bisa dibilang begitu tuan Jendral, tapi yang mengagetkan adalah Nico sendiri yang melakukan pengkhianatan. Ini benar-benar diluar dugaan kita semua, karena Nico adalah orang dalam, dan teman karib Don Hashfi sendiri."

Hafiz mengisap rokoknya, sambil memikirkan ulang kejadian yang baru saja terjadi.

"Memang berat untuk Don Hashfi saat ini. Pengkhianatan paling berat itu justru datangnya dari orang terdekat kita sendiri, bukan dari orang lain, atau musuh kita sendiri," Ucap Hafiz.

Dawe mengangguk. "Anda benar sekali tuan Jendral. Omong-omong, itu tadi kata-kata yang bagus. Pasti anda mengutipnya dari novel The Godfather ya?"

Hafiz mengangkat kedua alisnya, Lalu menganggukan kepala. "Benar sekali." Jawab Hafiz, sambil terkekeh. "Saya rasa, anda suka membaca buku, benar begitu? Tuan caporegime?"

"Yah, saya senang membaca buku. Terutama semasa kuliah dulu." Sahut Dawe, sambil mengenang jasa-jasa kuliahnya.

Hafiz merasa tertarik dengan latar belakang Dawe. "Oh ya? Kalau boleh tahu anda pernah kuliah di mana?"

Dawe tersenyum, sambil menyesap limun dinginnya. "Bukannya mau sombong, tapi saya melanjutkan studi S-1 saya di salahsatu universitas swasta top.5 di DKI Jakarta dulu, kemudian saya meneruskan studi pascasarjana saya di sebuah universitas swasta bergengsi di Taiwan."

Hafiz mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kagum dengan Dawe, pantas saja gerak-geriknya menandakan kalau Dawe ini orang yang intelektual, ternyata memang seorang intelektual sejati, pikir Hafiz.

"Kalau boleh tahu, studi apa yang anda ambil dalam studi anda?" Tanya Hafiz, sambil mengisap rokok.

"Baik studi S-1 dan pascasarjana, saya mengambil studi Computer Science & Software technology." Sahut Dawe.

"Oh, wow." Kata Hafiz, dengan rasa kagum. "Seorang ahli komputer dan perangkat lunak, bekerja pada seorang Don?"

"Don Hashfi menawarkan saya untuk bekerja padanya, beliau bilang pada saya, kalau teknologi akan menjadi 'tombak baru' dalam perang dan bisnis. Dan memang benar, kemampuanku kemudian digunakan untuk membangun dan memperkuat kerajaan bisnis Don Hashfi." Tutur Dawe.

"Benar-benar visioner, dan teknokratik sekali," Sahut Hafiz, dengan rasa kagum.

Dawe menyesap minumannya. "Tapi yang dikatakan Don Hashfi memang benar. Banyak musuh-musuhnya yang berusaha menjatuhkan dia lewat dunia virtual. Saya ambil contoh, belum lama ini ada seorang gangster kecil, yang berusaha merugikan Don Hashfi dengan cara meng-hack rekening bank-nya. Aku ditugaskan untuk memulihkan rekening bank yang di hack itu, dan memulihkannya kembali."

The Dirty GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang