"Papa sudah bilang mama kalian itu tidak mungkin dengan cepat berubah. Jangan berharap sesuatu hal yang bahkan kalian sendiri tidak bisa memprediksinya,"ucap Jeremy menatap pada Marvin dan Astalian.
Felisha menghela nafas. "Nggak ada salahnya ketemu sama mama Hana, Pa. Tujuan kami menjenguk bukan berharap apapun kok. Hanya ingin melihat keadaan mama. Itu saja. Tidak lebih."
"Iya, Papa mengerti. Tetapi, janganlah kalian memaksakan diri seperti itu. Ujungnya malah di usir. Papa tidak ingin kalian merasakan sakit. Setidaknya nurut apa kata Papa. Sesulit itu?"
Astalian menggeleng. "Aku juga pengen bisa bicara lagi sama mama, Pa. Sudah lama aku dan Kak Marvin nggak ketemu. Walaupun aku tahu nggak ada yang berubah dari mama. Setidaknya aku pengen rasain bisa dekat dengan mama lagi."
"Itu semua mustahil, Asta. Jangan menggantungkan harapanmu pada orang yang bahkan sudah menyakiti dengan begitu dalam. Papa paham kamu percaya bahwa setiap manusia bisa berubah. Tetapi, rasanya tidak mungkin jika bisa berubah secepat itu hanya karena kalian datang ke rumah sakit. Kalau hatinya sudah sekeras batu, mau kalian lunakkan pun susah. Ayolah, jangan menyakiti diri sendiri. Lebih baik kalian fokus pada urusan masing-masing daripada memikirkan hal yang hanya menimbulkan kesedihan di hati,"nasihat Jeremy.
Marvin tersenyum kecut. "Kenapa Papa selalu memaksa kami melupakan mama? Padahal dulu keluarga kita bisa sebahagia itu, Pa."
"Itu hanya berlaku dulu, Marvin. Kamu masih mau hidup bersama dengan seorang ibu yang bahkan dengan tega memberikan luka pada adikmu, Asta? Kamu mau sepanjang hidup harus menangis dan merasakan kesedihan? Papa tidak akan sudi merasakannya. Lebih baik mencegah daripada terus hidup dengan perempuan yang hanya bisa melukai hati kalian."
Marvin mencengkram kuat kedua tangannya. Hal itu di saksikan oleh Jeremy yang seketika menunjukkan senyum sinisnya. "Kenapa? Kamu marah sama Papa? Silahkan lampiaskan amarahmu sekarang juga. Papa akan dengarkan. Setelahnya, jangan mengeluarkan amarahmu untuk sesuatu yang tidak penting."
"Pa, aku tahu mama banyak menyakiti kita. Itu hanya bentuk pelampiasan atas kehilangan Atsa. Andai saja Papa bisa bertindak lebih bijak dengan membawa mama terapi ke psikiater. Mungkin luka mama akan sembuh dan kita bisa hidup bahagia lagi. Bukannya malah mengusir mama menjauh dari hidup kita. Itu buat aku jauh lebih terluka, Pa. Aku rindu sama mama. Aku nggak pernah mau hidup hanya dengan satu orang tua. Aku pengen hidup dengan orang tua lengkap. Rasain masakan mama. Di bacain dongeng sama mama. Aku rindu semua itu, Pa. Hal yang bahkan sulit aku ucapkan karena aku nggak mau menyakiti Papa,"ungkap Marvin dengan isakannya.
Felisha mengusap lembut punggung suaminya. "Tenangkan diri kamu yaa."
"Terima kasih sudah jujur. Tetapi, Papa tegaskan lagi. Kamu boleh merindukan momen indah itu. Tetapi, jangan lupa, Nak. Semuanya tidak akan merubah apapun. Mungkin bisa saja mama kamu berubah akan kesalahannya. Tetapi, dia tidak akan menjadi seseorang yang sama dengan yang kamu ingini. Jangan melihat ke masa lalu terus, Nak. Kebahagiaan dulu tidak akan sama dengan yang sekarang. Hal percuma kamu mengharapkan semuanya akan kembali. Papa tidak akan mau memberi kesempatan pada mama kamu. Bagi Papa, sekali menyakiti tetap akan terus menyakiti. Kalian selesaikan momen sedih malam ini. Besok dan seterusnya, Papa harap tidak perlu membahas ini lagi. Hidup kita masih akan terus berjalan tanpa ada sosok mama. Jangan terlalu larut dalam kesedihan."
Astalian mengusap wajahnya. "Huftt energi gue rasanya habis. Papa beneran nggak bisa diajak diskusi lebih jauh. Kita nggak punya kuasa apapun lagi, Kak. Yang bisa dilakukan hanya menerima dan menikmati setiap proses yang ada. Kalaupun mama masih nggak mau ketemu kita, yaudah yang penting kita sudah berusaha. Papa benar kok. Hidup masih akan terus berjalan tanpa adanya mama. Mungkin sudah waktunya kita mengubur harapan bahwa mama akan berubah. Gue akan mulai fokus memperbaiki diri dan mikirin cara untuk kembali sama Lavelyn. Hanya dengan itu, gue merasa bahagia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Cowok Idaman!
FanfictionIni kisah Lavelyn mengejar lelaki idaman yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Namanya Astalian Altama. Laki-laki yang bahkan tidak pernah menatap ke arahnya, tidak ingin di sentuh, irit bicara, dan selalu memejamkan mata setiap berhad...