Chap 1. Hari-hari yang berat

17 1 0
                                    

Langkah kaki menggema di sepanjang jalanan kecil yang dihimpit oleh gedung-gedung tinggi. sebuah jalan yang sangat sulit terlihat apabila dilihat sekilas karena letaknya yang berada di paling ujung kota.

Terdengar dengan jelas betapa beratnya langkah kaki orang itu melangkah, mencoba keluar dari jalanan gelap nan terpencil itu.

Pendar cahaya rembulan khas tengah malam senantiasa menemani setiap langkahnya.

Hatinya terasa berat dan lelah ketika matanya menatap lekat sesuatu di depannya. Dengan berat hati, ia kembali melanjutkan langkahnya menuju tempat yang orang-orang bilang tempat penuh rasa cinta dan berlindung.
Namun, benarkah demikian?

Satu rumah, dua rumah telah terlewati. langit malam menjadi saksi bisu langkahnya menyusuri kembali jalan yang kecil.

Sepi dan tenang, itulah yang ia rasakan. Hanya pada saat ini lah ia bisa merasakan ketenangan yang sesungguhnya, disinari oleh rembulan yang menenangkan berhasil menghalangi dingin nya angin malam yang terus membelai kulit putih polosnya yang hanya dibalut pakaian dan jaket yang tipis.

Hembusan angin malam ikut menerpa rambut panjang terurainya, menciptakan siluet cantik walau dengan mata yang sayu karena kelelahan, ia terlihat menawan dengan pesonanya dimalam itu. 

Semakin dekat dengan tujuan, ia semakin memantapkan diri dan hati, siap menerima apapun yang akan terjadi nantinya. 

Dengan ayunan ringan, ia mengetuk pintu yang ada di hadapannya saat ini. menyadari tak ada yang merespon, langsung saja dengan perlahan ia membuka pintu tersebut dan masuk dengan cepat lalu menutupnya kembali hati-hati agar tidak menimbulkan suara. 

Baru saja ia masuk, terdengar langkah kaki yang langsung mendekat padanya. Pikirannya seketika kalut kala mendengar langkah tersebut. 

Seorang wanita paruh baya dengan penampilan urakan dan tampang beringas seketika muncul menghampiri dirinya.

"Mana hasilmu minggu ini?" dengan katus wanita itu langsung memalaknya tanpa membiarkannya beristirahat dahulu.

Wanita bermata sayu tersebut dengan cepat meraba tas yang sedari tadi ia bawa dan langsung mengeluarkan barang yang diminta oleh wanita dihadapannya ini.

"Hanya ini yang aku dapatkan minggu ini" dengan perasaan takut ia menyerahkan beberapa lembar uang yang telah ia dapatkan dari hasil bekerjanya minggu ini. ia sangat takut menatap mata wanita didepannya ini.

"Hanya segini?!! kau ini kerjaannya ngapain sih! kok bisa hanya dapat segini? mana cukup untuk makan kita beberapa hari kedepan! seharusnya kau bekerja lebih keras! dasar anak tidak tau diri!" segera wanita tersebut meninggalkannya dengan amarah yang memuncak. Gadis tersebut hanya bisa diam menunduk, rambut terurainya ikut menutupi wajahnya yang sedang menahan air mata. tak ingin berlama-lama disitu, ia segera beranjak menuju kamarnya. 

bruk. dengan raga yang lelah dan hati yang sedih ia langsung merebahkan dirinya diatas kasur tipis yang sudah tua itu. 

dalam diam ia menahan tangis, matanya terasa panas. padahal hampir setiap hari ia mendapat bentakan seperti itu, tapi kenapa ia masih saja seperti ini? padahal hanya bentakan kecil, namun ia selalu menangis. 

perlahan mata bengkak setelah menangis itu mulai menutup. Rasa lelah setelah bekerja dari pagi hingga malam, ditambah dengan bentakan dan berakhir menangis, matanya semakin berat. ia sudah tidak peduli dengan pakaiannya yang  belum diganti sejak pagi hingga sekarang.


ia hanya ingin beristirahat dengan tenang sebelum melanjutkan aktivitasnya besok pagi.

sebelum benar-benar pergi ke alam mimpi ia masih sempat membayangkan, membuat, dan  berimajinasi di dalam dunia khayalan pikirannya sendiri.





Bersambung................................

Moving to imaginary dimension : Big BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang