Bab 1

130 43 19
                                    

Happy Reading!

***

Kehidupan ini sangat singkat. Itu ungkapan yang sering kali kita dengar. Meskipun singkat, namun manis getirnya kehidupan selalu saja tersematkan dalam kehidupan manusia. Seperti halnya senja hari itu. Kemilau cahaya jingga mulai memudar, tergantikan dengan gulitanya malam.

Reina terdiam menatap hamparan samudra yang mulai menghitam. Tidak ada lagi siluet cahaya di sana. Mulutnya bungkam, tatapannya tak lepas dari guliran ombak. Bahkan ketika sang purnama menggantikan tugas sang surya, gadis itu tidak kunjung bangkit dari lamunannya. Hingga suara dering ponsel mengalihkan atensinya.

Setelah membaca pesan yang baru saja masuk di ponselnya, Reina beranjak dan bergegeas mengendarai sepeda motornya. Reina tidak tinggal di kota besar, namun juga tidak berada di pelosok desa. Dengan adanya akses transportasi yang mendukung, sehingga jarang terjadi kemacetan. Namun ketika weekend tak jarang terjadi kemacetan, terutama di tempat-tempat wisata. Seperti halnya malam ini, jalanan penuh dengan kendaraan pribadi maupun bus pariwisata.

Reina mengendarai motornya sambil menggerutu kesal. Tidak hanya karena jalanan yang ramai, namun juga karena ponselnya tak kunjung diam sedari tadi. Dering ponsel terus saja menganggu konsentrasinya. Jarak yang biasanya ditempuh hanya dalam waktu sepuluh menit, kali ini membutuhkan waktu yang lebih banyak. Namun usaha tidak menghianati hasil.

Reina tiba di depan rumahnya setelah dua puluh menit bertarung dengan jalanan. Setelah memasukkan motornya di garasi, gadis itu berjalan perlahan memasuki pekarangan rumah yang terang dengan sinar lampu taman.

"Dari mana saja kamu?" tanya Haris, ayah Reina yang tengah berdiri di depan pintu dengan bersedekap dada.

"Maaf yah, tadi Rei abis dari rumah temen," ucap Reina menunduk.

"Masuk!" tegas Haris.

***

Kicauan burung terdengar beralun membentuk sebuah nyanyian. Sinar matahari pagi bersinar lembut menerpa dedaunan berembun. Belum ada angin yang berusaha menerbangkan daun-daun kering. Bahkan para kawanan burung pun tak berminat melakukan itu. Terlihat gemerlap indah dan tenang.

Reina telah rapi dengan seragam putih abu-abu, lengkap dengan sepatu hitam dan ransel di bahunya.

"Nanti berangkat sama Ayah!" ucap Haris sambil menggunakan sepatu.

"Ayah pulang jam berapa?" tanya Reina.

Gadis itu tengah menyiapkan bekal untuk Haris dan dirinya sendiri. Semenjak ibunya meninggal saat melahirkannya, Reina hanya tinggal berdua dengan ayahnya. Walaupun terkadang ditemani oleh Oma Una, ibu Haris. Keadaan itu membuat Reina menjadi gadis yang mandiri semenjak kecil. Tidak hanya karena tuntutan yang mengharuskannya untuk mandiri, namun juga keadaan yang membuatnya menjadi lebih kuat.

"Jam lima Ayah selesai," ucap Haris.

"Rei pulang sendiri aja yah."

"Langsung pulang, jangan mampir-mampir!" Haris menata kotak bekalnya ke dalam totebag.

"Iya yah."

Haris menatap penampilan Reina dari atas ke bawah. "Kapan kamu siap pakai jilbab?"

Reina tersenyum memperlihatkan gigi rapinya kikuk. Pertanyaan yang selalu ditanyakan Haris kepada Reina minimal seminggu sekali. Memang Reina belum siap menggunakan jilbab. Bukan hanya karena tidak adanya sosok ibu yang seharusnya menjadi madrasah pertama bagi anak, namun juga karena kurangnya dampingan sosok ayah pada masa pertumbuhan Reina. Hal ini terjadi karena, saat Reina menginjak usia dua tahun Haris harus melanjutkan studinya ke luar negeri.

Mengangkasa [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang