Happy Reading!
***
"Reina, ayah boleh minta tolong?" Tanya Haris kepada Reina yang sedang menyiapkan makan siang di dapur.
Reina melirik sekilas ayahnya yang tengah duduk di meja makan dengan laptopnya. "Minta tolong apa yah?"
"Hari ini anak-anak mau ambil donasi yang belum sempat Ayah bawa ke sekolah. Tapi ayah nanti ada seminar, jadi gak bisa mendampingi anak-anak. Ayah boleh minta tolong kamu?" Reina mendengus pelan.
Hari ini Reina pulang dari sekolah lebih cepat daripada biasanya. Hal ini dikarenakan, para pengajar terutama dari SMA sederajat akan menghadiri seminar yang sama dengan Haris. Walaupun Haris turut mengikuti seminar, Reina tetap memutuskan untuk pulang ke rumah ayahnya karena insiden yang terjadi beberapa waktu lalu.
"Iya yah." Ujar Reina, kembali dengan kangkung di tangannya.
"Atau Ayah minta tolong abang buat nemenin kamu?" Reina mendelik tidak suka. "Reina bisa sendiri."
Haris terkekeh perlahan, "Gak baik bermusuhan, atau diam-diaman sama saudara sendiri lebih dari tiga hari. Ini udah hampir seminggu loh Rei."
"Rei gak berantem kok." Ujar Reina mengelak.
"Tapi kamu gak komunikasi sama sekali kan sama abang?" Reina mendengus, "Udah kok, dikit."
Haris menggelengkan kepalanya heran. Ia tidak terlalu memahami alasan keduanya saling diam selama beberapa hari. Haris sudah mempertemukan Reina dan Reyhan beberapa kali, namun keduanya selalu saja memperlihatkan tanda-tanda permusuhan. Jika Haris bertanya kepada keduanya, maka keduanya akan menjawab, "Gak kok." Bahkan ketika Fani turun tangan untuk membuat mereka kembali berinteraksi seperti semula, keduanya hanya berinteraksi seadanya dan kembali diam.
"Ayah, kenapa kakaknya bukan Rei aja?" Tanya Reina sambil memasukkan bumbu ke dalam wajan. Wangi bumbu memenuhi ruangan dengan bunyi khas penggorengan.
"Karena yang lahir abang duluan." Ujar Haris menjawab. Pandangannya matanya terikat dengan laptop yang tengah menampilkan materi seminar.
Reina mendengus, "Kalau ternyata yang lahir Rei dulu gimana? Terus dokternya memanipulasi kelahiran, biar dia yang seolah-olah lahir duluan?"
Haris menatap Reina sambil tertawa. "Kamu ini ada-ada aja. Terlalu sering baca buku konspirasi ya?"
"Mana ada Rei baca buku konspirasi. Kalau Rei baca buku konspirasi, berarti Ayah juga baca buku yang sama dong, kan Rei cuma ambil buku di rak Ayah." Ujar Reina tidak terima, membuat Haris terdiam.
"Kamu baca semua buku di rak Ayah?" Ulang Haris. Reina mengangguk sambil berdehem. Tangannya sibuk mengaduk kangkung yang ada di wajan agar menyatu dengan bumbu.
"Alhamdulillah. Berarti kamu juga baca kitab-kitab di rak Ayah?" Haris bertenya antusias.
"Rei cuma baca buku yang meurut Rei bagus. Kaya buku-buku sejarah. Terus Rei baca buku-buku filsafat Ayah, dari masa Yunani Kuno dan buku-buku Fahruddin Faiz dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tapi Rei paling suka baca buku-buku motivasi, walaupun belum bisa Rei amalkan." Jelas Reina, dengan cengiran diakhir kalimat.
"Jadi apa yang kamu suka dari buku-buku Ayah? Apa ada buku yang bisa bikin kamu tertarik, suka, atau pengen kamu pelajari lebih lanjut?" Haris nampak tertarik dengan tema pembicaraan kali ini. Ia memutar kursinya, menghadap Reina.
"Rei pengen belajar lebih jauh mengenai kepribadian manusia yah. Dari buku-buku itu, aku banyak menemukan karakter berbeda dari setiap penulis dari karya-karya mereka." Ujar Reina. Tumis kangkung yang Reina masak telah siap. Reina memindahkan lauk dan sayur ke wadah yang lebih kecil.
Haris mengangguk, "Kamu tertarik belajar psikologi, atau mau kuliah jurusan psikologi?"
"Rei belum kepikiran ke sana yah. Rei juga baru kelas sebelas." Reina meletakkan lauk dan sayur di meja hadapan Haris, lalu kembali ke dapur mengambil nasi.
"Pikirkan dari sekarang Rei. Waktu satu tahun itu singkat loh. Dan mulai sekarang kamu harus belajar buat persiapan masuk perguruan tinggi. Walaupun bisa pakai jalur prestasi, tapi buat periapan kamu juga harus belajar materi tes masuk perguruan tinggi. Nanti Ayah bantu sebisa Ayah. Atau kalau kamu mau les, nanti Ayah carikan tempat les yang bagus." Ujar Haris.
Reina kembali ke meja makan dengan semangkuk nasi yang ada di tangannya. "Rei kan punya Ayah yang bisa bantu Rei belajar, jadi buat apa Rei les?"
Haris terkekeh, "Insya Allah nanti Ayah bantu sebisa Ayah."
***
Siang hari telah berlalu. Seperti rencana siang itu, Harus sudah pergi ke seminar beberapa jam yang lalu. Reina memutuskan untuk duduk bersantai di kamarnya sambil menunggu siswa yang ingin mengambil donasi di rumahnya. Namun tak lama setelahnya, chat masuk di ponselnya. Gadis itu meraih ponselnya dan membaca isi pesan yang masuk.
Kak Hasan
Assalamu'alaikum Rei. Maaf ganggu waktunya. Saya dan teman-teman ingin mengambil donasi di rumah. Apa kamu sekarang di rumah?Iya kak, posdim?
Lagi di jalan, otw rumah kamu
Oke kak
Setelah membalas chat dari Hasan, Reina bergegas mengenakan pakaian panjang, dan tentu saja jilbabnya. Reina sedang belajar istiqomah untuk menggunakan jilbab di sekitar rumahnya. Hal ini membuatnya menjadi lebih hati-hati dalam berpakaian walaupun berada di dalam rumah.
Setelah mengenakan pakaiannya, Reina beranjak dari kamarnya dan duduk di teras rumah sambil menunggu Hasan dan teman-temannya. Gadis itu asik dengan ponselnya sampai tidak menyadari kalau Hasan telah berdiri di depan pagar rumah.
"Assalamu'alaikum." Reina terperangah, bergegas membuka pagar setelah menjawab salam dari Hasan.
"Masya Allah makin cantik aja neng." Ujar Aldo mengagumi paras Reina.
"Astaghfirullahalazim." Ujar Hasan, menutup mata Aldo.
"Lo apaan sih San. Gue pengen liat bidadari!" Seru Aldo tidak terima.
"Jaga pandangan." Ujar Hasan, melepaskan tangannya yang berada di wajah Aldo.
"Alah bilang aja lo cemburu, kan?!" Seru Aldo membuat Hasan menatap tajam Aldo yang tengah menyerigai tengil.
***
Terima kasih udah mampir di lapak Rey!
Jangan lupa vote, comment, and share jika kalian suka cerita aku!
See you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengangkasa [Terbit]
RandomTuhan, aku ingin bahagia. Akankah harapanku dapat mengangkasa? Meskipun mustahil, apakah bisa? ___ "Hai!" "Gue Reyhan."