♬ 3. artha

131 24 3
                                    

Arthayuda, seorang laki-laki berumur dua puluh satu tahun yang lebih memilih untuk tinggal di apartemennya sendiri daripada harus tinggal bersama kedua orang tuanya di dalam rumah besar dan mewah milik keluarganya.

Benar mewah, namun apalah arti semua itu jika tempat yang disebut sebagai sebuah rumah tak benar-benar berfungsi sebagai 'rumah' baginya.

Sejak ibu-nya meninggal, kehidupannya berubah 180° derajat, terlebih setelah ayahnya memutuskan untuk menikah lagi.

Sudah empat tahun lamanya Artha kehilangan figur sosok ibu di dalam hidupnya. Wanita yang dinikahi oleh ayahnya itu tak lain hanyalah seorang pemburu harta yang silau dengan pencapaian perusahaan ayahnya.

Oleh karena itulah dirinya memutuskan untuk membeli sebuah apartemen untuk ia tinggali sendirian. Ayahnya tentu masih bertanggung jawab atas biaya hidup Artha termasuk biaya kuliah. Tetapi laki-laki ini juga telah memiliki penghasilannya sendiri yang ia dapatkan dari studio tempat dirinya bekerja paruh waktu.

Bukan paruh waktu sih sebenarnya, Artha hanya bekerja tanpa sebuah ikatan dengan perusahaan musik tersebut. Semuanya berawal ketika dirinya iseng mengunggah instrumen hasil karyanya di sebuah platform yang memiliki banyak sekali pengguna, kemudian ia mendapat pesan pribadi dari sebuah studio untuk diajak bekerja sama.

Setelah melalui sebuah diskusi dan dirinya dijanjikan sebuah imbalan yang layak, dengan senang hati Artha menerima tawaran tersebut.

Sejak awal ia masuk perkuliahan, imbalan yang dijanjikan bukanlah janji semata, mereka benar-benar membayarnya sesuai kesepakatan. Karya-karya milik Artha memang layak diberi apresiasi seperti itu. Hal ini lah yang selama ini menghibur kesendiriannya di dalam apartemen.

Musik adalah salah satu alasan dirinya tak betah tinggal bersama orang tuanya. Ibu angkatnya itu terus-menerus menghasut ayahnya untuk melarang kebebasan Artha dalam bermusik. Wanita itu memaksakan ambisinya padanya agar laki-laki itu mengisi hari-hari nya dengan belajar, belajar, dan belajar.

Setelah memiliki apartemen sendiri seperti ini, dirinya menjadi lebih bebas mengekspresikan hobi dan keahliannya dalam bidang musik. Minusnya, ia benar-benar hidup mandiri sekarang. Bahkan saat ia sakit pun ayahnya jarang sekali menjenguk dan memberikan perhatian layaknya orang tua pada umumnya, otak beliau sudah terkontaminasi oleh ketamakan ibu tirinya.

Artha adalah seorang anak tunggal, namun berkat pernikahan kedua ayahnya ia sekarang memiliki seorang adik angkat perempuan. Rarichi Tabhita, seorang gadis berusia 14 tahun yang masih duduk di bangku kelas dua SMP. Panggilannya Richi. Mungkin gadis ini lah satu-satunya nilai plus yang dibawa oleh ibu angkatnya itu, karena meskipun hanya saudara sambung Richi adalah adik yang baik menurut Artha. Gadis smp itu tau bagaimana harus bersikap semestinya pada semua keadaan, tak seperti ibunya yang acuh tak acuh terhadap semua hal kecuali harta dan tahta. Bahkan Richi sering meminta maaf atas kelakuan ibunya kepada Artha secara terang-terangan.

"Yaa pokoknya mama ga mau tau, ini sudah keputusan mama dan papa yang harus kamu turuti secepatnya."

"Tapi papa bukan orang yang gila harta, nggak kayak anda."

"Berani-beraninya mulut bejatmu itu Artha!"

"Benar kan? Bahkan anda masih tidak puas dengan harta Papa yang sudah anda ambil dari saya. Sekarang masih mau ambil harta nenek juga?"

"Mama mu dulu ngga mengajarkan sopan santun ya?"

Kepalan tangan Artha mengerat mendengar hinaan itu, giginya juga ikut menggertak geram.

"Saya masih toleran kalau anda menghina saya, tapi jangan sampai menghina papa apalagi mama. Mama kandung saya adalah orang yang sangat jauh lebih baik daripada anda."

Ia beranjak dan membimbing langkah untuk berjalan keluar rumah, sebelum kepalan tangannya itu lepas kendali memang lebih baik untuk pergi.

Artha sudah menebak bahwa tujuan ibu tirinya itu memanggil ia ke rumah hanyalah untuk melontarkan bualan-bualan tak bermanfaat seperti biasanya. Bisa dibilang telinganya sudah mulai kebal sekarang.

Di depan gerbang rumah, Richi memanggilnya.

"Kak! kak Artha!"

Artha mengurung genggamannya yang baru saja hendak menjalankan gas motor. "Kenapa??"

"Kak, minta maaf ya soal mama.. kalau kakak di paksa-paksa gitu jangan mau kak! Nanti aku juga bakal cegah mama kalau mama mau bilang yang engga-engga ke Papa."

"Gapapa, kakak tau." Artha tersenyum tipis, "Kamu gausah ikut-ikut ya? nanti malah dimarahin sama mama. Kakak bisa atasin sendiri."

Jika Artha sudah berkata demikian, lidahnya akan terasa kelu untuk membantah. Richi hanya bisa terdiam sementara kakak angkatnya itu sudah melaju keluar dari area rumah mereka.

Sesampainya di apartemen, Artha menjatuhkan dirinya ke kasur dengan begitu berat. Berharap semua beban yang kini berputar di otaknya itu ikut terjatuh dan mungkin saja hilang begitu saja.

Cukup tenang nafasnya kembali teratur sebelum ia menerima telepon yang sudah bisa ditebak, pasti soal masalah si nenek lampir itu.

"Kenapa Pa?"

"Artha, tolong kamu nurut soal ini ya? Tadi mama bilang sama pa-"

"Kalau papa lebih percaya sama dia silahkan, tapi Artha ga bisa Pa kalau tiba-tiba di paksa kayak gitu. Artha juga punya masa depan sendiri, ga mau kalau sampai dikacauin sama dia."

"Ini demi masa depan kamu juga Tha, Papa akan biarin kamu bebas dengan dunia musikmu itu asal kamu nurut. Karena gimana pun perusahaan Papa juga butuh backingan Perusahaan nenekmu. Tolong kamu ngerti. Kamu tau seberapa sayangnya nenekmu sama kamu, dan harapan Papa satu-satunya cuma kamu Artha."

Tak minat menjawab lagi, Artha menekan icon telepon berwarna merah pada layar ponselnya itu.
Pikiran dan bantinnya kini benar-benar berkecamuk riuh karena masalah yang tengah melandanya saat ini.

Tekanan-tekanan seperti itu sudah biasa ia dapatkan dari mama tirinya, tapi sekarang? Bahkan Papa kandungnya sudah seratus persen berpihak bukan pada dirinya lagi.

Di saat dirinya sedang dalam keadaan yang benar-benar jatuh seperti ini, terkadang sukmanya berandai.. apakah ia akan selalu menanggung semuanya sendirian? sampai kapan?

Di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, sebenarnya Artha juga mendambakan sosok penenang seperti ibunya dahulu. Sosok yang bisa menjadi tempatnya berbagi segala hal, soal senang atau sedih yang telah ia alami.

♬♩♪♩ ♩♪♩♬

Rarichi Tabitha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rarichi Tabitha

↓ click the star⭐ below please??

Our Deceit - Han Taesan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang