♬ 4. nala

135 23 1
                                    

"Hah?? Bunda ih becandanya gitu."

"Tapi Bunda ngga becanda Na.."

Gadis berambut panjang itu seketika mematung mendengar penuturan dari Ibunya.

"Ayah juga udah setuju."

"Ya Ayah sama Bunda setuju, akunya kan engga? udah lah jangan becandaan gitu Bunn."

"Bunda serius Nala. Ayah sama bunda sudah diskusi, karena sebetulnya Bunda juga punya janji sama teman lama Bunda."

"Udah ngga jaman kali Bun kayak gitu." Nala mengakhiri kalimatnya lalu beranjak dari hadapan ibunya.

Bisa-bisanya weekend yang cerah ini tiba-tiba terganggu oleh titahan dari sang Bunda yang cukup tak masuk akal bagi Nala.

"Nala mau kemana??" Tanya bunda melihat anak gadisnya itu berjalan menuju pintu rumah.

"Ke supermarket Bun."

Bunda hanya bisa menghela nafas pasrah, sebenarnya beliau merasa keputusannya ini juga tak sepenuhnya benar, namun seperti sudah menjadi sebuah takdir yang mutlak bagi anaknya itu.

Sedangkan Nala memang benar-benar pergi ke sebuah supermarket untuk membeli susu fullcream, entah hanya sugesti atau memang benar, ia rasa susu tanpa rasa manis itu bisa menenangkan pikiran.

"Huhhh" Helaan nafas terdengar tepat bersamaan, para pelakunya saling menoleh.

"Loh? elo??" Tanya mereka bersamaan lagi.

"Bentar, diem dulu. Kok lo bisa ada di sini?" Kini Nala yang memulai percakapan.

"Supermarket tempat umum kan??"

"Y-yaa.. iya sih."

Gadis itu tersadar bahwa pertanyaan yang ia lontarkan memang salah, ia meminum sekotak susu itu sebelum merealisasikan niat untuk kembali bertanya.

"Kenapa hela nafas panjang banget? kayak orang paling susah di dunia aja."

"Emang."

"Dih? Masih banyak yang lebih susah daripada lo kali, contohnya gue."

"Emangnya lo tau apa soal masalah gue?"

Skakmat. Nala benar-benar menanggung malu sekarang. "Intinya masalah lo itu pasti ga seberapa berat kalau dibandingin sama masalah gue!"

"Atas dasar apa lo bisa bilang gitu?"

"Ee- a-pa sih masalah lo? diputusin cewe? nt??"

"Gue dijodohin."

"UHUK UHUK!!" Hampir saja Nala menelan bulat-bulat kotak susu yang sudah kosong itu karena begitu terkejut mendengar perkataan Artha.

"Becanda, yakali."

"Anjing lo. gue udah kaget."

"Kenapa? lo patah hati ya kalau gue dijodohin?"

"Idih si najis."

"Ga tau terimakasih, malah ngata-ngatain."

Gadis itu diam sejenak mencerna, "Ah.. jaket lo gue balikin Senin ya! Kan gatau kalau bakal ketemu di sini." Dibalas anggukan singkat oleh sang laki-laki. "Oh ya soal bayaran yang lo minta, lo mau apa sih? kalau lo minta aneh-aneh gue laporin ya."

"Aneh-aneh apaan?"

"Lo sebenernya diem-diem cabul kan?!"

"Sembarangan kalo ngomong, lagian secabul-cabulnya orang ga bakal ada yang minat sama lo juga."

"NGEJEK BANGET??!?!"

Laki-laki itu terkekeh singkat, "Kalau gue minta sekarang, bisa?"

"Ya apa dulu??"

"Mau ga mau, bisa ga bisa, sanggup ga sanggup, harus tetep lo terima."

"Banyak cakap pula ni bocah, apaan sih??"

"Iya dulu."

"Gak! Gabisa! Ntar kalau lo minta aneh-aneh gimana?"

"Udah dibilang, gue ga minat sama cewe modelan botol yakult kayak lo."

"Lo gue jambak ya!?"

Bibir kering Artha mulai bergerak menjelaskan latar belakang masalah yang ia hadapi terlebih dahulu, cukup rinci ia ceritakan beserta kejadian-kejadian yang baru saja menimpanya. Nala pun sempat hanyut di dalam cerita tersebut, sampai pada bagian Artha menjelaskan perannya di sana.

"GAMAU ANJIR!"

"Lo tadi udah bilang iya??"

"GAK! GUE TARIK LAGI! OGAH BANGET."

"Ya gue bodo amat. Kalau lo ga mau, perjanjiannya tadi lo jadi babu gue selama semester 3 dan 4."

Nala mengusak rambutnya frustasi, ia dihadapkan dengan dua pilihan yang menurutnya sama-sama tidak masuk akal. Rasanya kesalahan yang ia buat tak se fatal itu? Tetapi kenapa ganti rugi yang diminta seberat ini?

"Gini ya Artha, kita lagi ada realife. Lo pikir kita lagi hidup di Wattpad? Jangan-jangan lo juga berharap nanti endingnya ternyata cinlok beneran gitu? hihh, lo beneran naksir gue??"

"Tingkat pede lo tinggi banget ya?"

Bagai di tusuk sebilah pisau, dadanya terasa begitu sakit mendengar kalimat tanpa sedikitpun filter itu.

"Terus kenapa harus gue? Cewe lain kan banyak?"

"Karena.." Artha sempat menghela nafas di tengah kalimatnya, "Cuma lo cewe yang ngobrol sama gue seminggu terakhir."

"Halahhhh mulut buaya, kayanya gue liat tiap hari deh lo dipanggilin sama ciwi-ciwi di sini."

"Gue bilang ngobrol, bukan dipanggil atau disapa."

"Ih makanyaa bergaul Thaa"

"Gue ga bergaul sama orang-orang yang kayak gitu."

"Haishhh iya-iya, tapi intinya gue nolak dua opsi yang lo kasih ya. Gapapa banget deh kalau lo suruh nraktir baju atau makanan mahal, asal jangan itu."

"Berarti fix, lo jadi babu gue 2 semester."

"Gaada fix fix an! Orang gue aja ga setuju."

Perdebatan yang begitu panjang tak terelakkan lagi, mereka saling beradu mulut mempertahankan keinginan mereka masing-masing. Kedua manusia ini rupanya sama keras kepalanya, argumen yang saling menyahut itu benar-benar matang sebagai pembelaan bagi sang tuan pemilik.

Jika bisa dideskripsikan, perdebatan sengit ini seperti sebuah podcast yang gratis didengarkan oleh pengunjung supermarket yang lain. Tak mengetahui mereka menikmatinya atau malah jengkel mendengarnya.

"Lo keras kepala juga ya kalau lagi debat gini? Image introvertnya langsung ilang seratus persen."

"Lo lebih keras kepala."

Nala tak menyangka, ternyata Artha adalah seorang loud introvert. Dia tak sependiam itu, dia juga tidak anti sosial seperti yang orang-orang katakan.

Karena sudah semestinya, tak ada seorang anti sosial yang berminat masuk ke fakultas psikologi. Artha sebenarnya tidak seburuk yang orang lain katakan, namun ia juga tak sebaik yang penggemarnya idam-idamkan.

"Gue minta tolong, Nala."

♬♩♪♩ ♩♪♩♬

↓ click the star⭐ below please??

Our Deceit - Han Taesan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang