♬ 7. ex

97 22 1
                                    

Studio musik dengan cat tembok bernuansa abu-abu itu menjadi tempat dirinya mendekam sepulang kuliah. Jemarinya bergerak begitu lihai di atas sebuah keyboard. Berkali-kali ia hapus lalu ketik kembali bait demi bait lirik yang tengah dibuat itu.

Sore ini semangat dalam diri Artha terasa lebih menggebu daripada biasanya. Pemilik studio musik itu, kita panggil saja bos nya, beliau baru saja memberinya sebuah pujian tentang perkembangan musik yang Artha buat.

"Kamu kalau bikin lagu romance gini liriknya selalu bagus, terinspirasi dari kisah siapa? apa jangan-jangan kisahmu sendiri ya? hahahaha." Ujar bosnya, lelaki tua itu memang terkadang suka sekali mengajaknya bercanda.

"Good job, kamu benar-benar berbakat soal musik, lanjutkan nak." Namun sebenarnya kalimat ini lah yang membuat bahagianya meluap-luap bak anak kecil yang dipuji pintar oleh ibunya.

Kalau ditanya soal apa yang menginspirasi dirinya untuk menghasilkan sebuah musik, Artha sendiri juga bingung. Lirik, nada dan semuanya tiba-tiba saja melintas pada otaknya yang mungkin terkadang sedang memikirkan sesuatu.

Dan akhir-akhir ini otaknya sedang gemar memikirkan kalimat-kalimat yang menyatakan sebuah kisah romantis. Entah dari mana datangnya ide-ide itu, yang jelas lagu yang baru saja ia buat pasti akan populer sebentar lagi.

Daripada pusing memikirkan asal muasal ide briliannya itu, Artha lebih memilih untuk pusing menghabiskan uang hasil jerih payahnya. Buktinya kini ia sedang memegang dua kaset stok terbatas di sebuah stand bazar kampus. Barang-barang di dalam stand ini merupakan barang yang dilelang, tak sedikit darinya bernilai cukup mahal karena mengandung sebuah unsur barang antik.

"Kata gue lebih cakep yang ini sih bro." Ujar Kevin, sang pemilik stan.

"Kelebihan dan kekurangannya?" Artha menelisik.

Kevin meraih kotak kaset yang ada di tangan kiri Artha, "Kalau yang ini bener sih emang ori dan mahal banget soalnya dari tahun pahit, tapi justru karena udah lama banget itu kemarin gue puter banyak rekaman lagu yang rusak ga bisa dibuka. Kayaknya pemilik sebelumnya ga tau cara ngerawatnya deh." Laki-laki itu memandangi kasetnya dengan tatapan sedih.

"Yang ini?"

"Dalemnya aman ga ada yang rusak, dan sumpah isinya lebih bagus dari keliatannya."

"Oke gue ambil ini, tapi bentar gue mau liat liat lagi."

Artha mengambil satu langkah mundur untuk beranjak dari sana, namun langkah ceroboh itu rupanya mendarat tepat pada kaki orang lain.

"Aw!!" Orang itu mengaduh kesakitan, ia menarik kakinya ke atas karena reflek.

"Sorry-- Nala?"

"Dih lo lagi?"

"Eyyow Nala, long time no see! Udah gue duga lo datengnya cuma kalau gue buka stan beginian." Sapa Kevin dengan riang.

"Hehehe gue pasti dateng sih kak, pengen liat lukisan terbaru punya lo soalnya, mau gue jiplak."

Kevin tertawa renyah mendengarnya, "Lagian bukannya dulu pernah bilang pengen kuliah seni? Malah masuk psikologi sekarang."

"Yaa begitulah kak, cita-cita gue emang sekebon. Mau wujudin satu-satu dulu."

Sementara Nala dan Kevin asik mengobrol, Artha berjalan menjauh karena merasa dirinya tak ada urusan lagi di sana. Tetapi ia tidak benar-benar menjauh, ia hanya melangkahkan kakinya ke sebuah bilik berisi banyak sekali pajangan lukisan. Tak jauh dari tempatnya semula sehingga ia masih bisa mendengar dengan jelas percakapan kedua orang itu.

"Anyway i have some message from someone for you Nala."

"What? And Who?"

"Dia juga tau kalau lo pasti bakal dateng ke stan gue dan dia pesen sesuatu, he still hopes for you."

"So?"

Mendengar jawaban singkat dan acuh itu Kevin menggidikkan bahunya, "Cuma itu respon lo? Eric bener-bener berharap bisa balik lagi sama lo Na."

"Dan kenapa harus lewat lo, kak? Dia ga berani ya liatin mukanya di depan gue lagi? Hahahaha." Tawa tersebut terdengar begitu hambar.

"Weh gue kaga tau kalau soal itu, yang jelas dia minta tolong buat ngomongin ini sama lo."

"Kalau gitu sampein ini ke dia ya bang, bilang kalau semuanya udah terlalu basi."

"Eii that's rude gurlll"

"Hahaha yaudah gue duluan ya kak Kev!"

"Yoi, makasih udah mampir."

Percakapan mereka pun berakhir masih dengan seorang manusia yang menguping di sana. Tak tau sengaja atau tidak, yang jelas ia telah mendengar semuanya dari awal hingga akhir.

Seseorang yang dimaksud Kevin adalah Eric Sohn, mantan pacar Nala. Laki-laki berdarah campuran yang merupakan masa lalu suram bagi gadis itu.

Sudah cukup lama sejak perasaannya tergores begitu dalam akibat ulah mantan pacarnya itu.

Kala itu saat hubungan mereka terjalin sangat baik tiba-tiba rusak ketika Eric mengabarkan bahwa dirinya akan pindah ke Los Angeles dalam jangka waktu yang lama. Laki-laki itu meminta untuk menyudahi hubungan mereka karena alasan jarak yang jauh. Ia tak bisa, katanya.

Namun beberapa minggu setelah kepindahannya, tak terlihat sedikit pun tanda-tanda kesedihan. Justru laki-laki itu gemar sekali mengunggah dirinya yang sedang clubbing bersama wanita-wanita cantik di sebuah diskotik. Tentunya itu hal yang lumrah terjadi di luar negri, tetapi apakah sesepele itu Nala bagi Eric?

Untungnya Nala adalah perempuan dengan harga diri yang tinggi, memang seharusnya sebagai perempuan kan?

Ia tak lagi menghiraukan mantannya itu dan memilih untuk lebih fokus kepada dirinya sendiri kini. Rupanya ia juga bahagia tanpa seorang pacar, meskipun Nala masih tak bisa berbohong bahwa ia merasa kesepian kadang.

♬♩♪♩ ♩♪♩♬

⭐~!! as always, jangan lupa!
mffya menghilang beberapa hari :>

Our Deceit - Han Taesan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang