♬ 8. abbandonare

77 18 1
                                    

"Papa nanya perkembangan kita."

Gadis bersurai hitam kecoklatan itu melayangkan tatapan tajam andalannya.

"Apanya yang berkembang? Dipikir balita tumbuh dan berkembang?"

Artha mendengus kesal, "Kalau jawab masih belum siap lagi, katanya mereka bakal langsung nentuin tanggal pernikahan."

"APA-APAAN! GUE GA MAU YA!!"

"Ya terus??"

Nala meletakkan gelas minumannya nya sambil menggebrak meja, membuat sang laki-laki sedikit terkejut.

"Bunda kemarin juga bahas ini, malah katanya udah nemu tanggal." Ujarnya disertai helaan nafas panjang.

Sementara dihadapannya, Artha hanya menyesap kopinya beberapa kali. Ia juga bingung dengan situasi yang menimpa mereka saat ini.

Disela-sela kebingungan mereka, ponsel milik Artha berdering.

"Iya Pa?"

Cukup lama ia mendengarkan suara seseorang di dalam telepon hingga mulutnya terbuka kembali.

"Kebetulan kita lagi barengan ini, Artha kesana sekarang."

Dia menurunkan benda pipih itu dari telinganya lalu meletakkannya pelan di atas meja.

"Cepetan habisin makanan lo, bentar lagi ikut gue."

"Kemana?"

"Ke butik, di sana udah ada bunda lo."

Wajahnya Nala memucat, bibirnya tak sanggup lagi mengeluarkan kata-kata penolakan saking terkejutnya.

Hilang sudah nafsu makannya sekarang, ia meringkas ponselnya ke dalam tas kemudian berdiri. "Ayo."

"Ga dihabisin dulu?"

"Ga nafsu, cepetan."

Artha menurut, mereka pun keluar dari cafe dan mencari tempat motor Artha terparkir.

Laki-laki itu memberikan helm seraya mengajak gadisnya berbicara.

"Kemarin keyboard gue dipatahin sama papa."

Maaf Artha, tapi Nala sudah benar-benar kehilangan moodnya saat ini. Ia hanya membalas ucapan itu dengan dehaman kemudian naik ke boncengan motor tanpa berkata apa-apa.

Motor hitam itu melaju menuju sebuah butik yang dipilih oleh orang tua mereka.

Di sana Bunda dan Mama tiri Artha terlihat sangat mengobrol sangat seru. Apapun topiknya, tak terdengar menarik bagi Nala maupun Artha.

"Ukur baju sekarang ya Artha."

"Ngatur banget, emangnya Artha sama Nala ga berhak mutusin sendiri?"

Nala cukup terkejut melihat ketidaksopanan Artha pada Mama tirinya itu. Tapi setelah diingat-ingat perihal yang Artha ceritakan waktu itu, Nala setuju bahwa wajah beliau memang terlihat menyebalkan.

"Kelamaan pacaran kalian, dari pada kejadian yang engga-engga mending dipercepat saja."

Ketika mereka berdua sibuk berdebat, Artha menoleh saat mendengar isakan lirih yang berasal dari gadis yang ada di sebelahnya itu.

Rupanya benar, ia bisa melihat air mata yang mulai mengalir pada pipi Nala.

"Nala masih dua puluh tahun ma.." Suaranya bergetar, tangisnya pun lambat laun semakin terdengar.

"Nak, Nala.." Bunda menghampiri dan memeluknya, "Awalnya bunda juga sudah udah ga mau maksa kamu, tapi ternyata yang mau dijodohin sama kamu itu pacar kamu sendiri kan? Kamu ga seneng?"

Gadis itu mengusap air matanya, mendongak menatap wanita yang begitu ia sayangi itu.

"Gimana kalau Nala bilang Artha itu bukan pacar Nala? Gimana kalau Nala bilang kita cuma pura-pura pacaran?"

Semua orang terkejut mendengar pernyataan yang dilontarkan Nala, terutama Artha.. dia juga mengakui keberanian Nala berkata jujur.

"Waduh maaf ya mengganggu momen haru ini, tapi sudah deal kan nyonya? Saya akan membantu pengembangan bisnis suami anda yang sedang di ambang kebangkrutan itu. Tidak ada ada kata batal untuk saya." Wanita berlipstik merah tua itu menyela.

"MA!" Artha membentak geram, bibirnya yang nampak hendak mengeluarkan sebuah umpatan itu terhenti ketika nala menarik lengannya tiba-tiba.

"Di mana ruangannya?" Tanya Nala kepada seorang karyawan butik yang sedari tadi berdiri menyaksikan drama mereka.

"Di sebelah sini kak"

Nala menarik lengan laki-laki itu untuk mengikuti langkah karyawan butik tersebut. Selama proses pengukuran mereka memilik sebuah percakapan yang panjang.

"Lo masih keberatan sama perjodohan ini?" Gadis itu mengawali.

"Maksudnya?"

"Setelah lo pertimbangkan soal hobi favorit lo, dan bokap lo yang nekat ngerusak barang-barang berharga buat lo, masih ngerasa keberatan banget ngga buat dijodohin sama gue?"

"Masih sama keberatannya kayak lo. Tapi kalau disuruh milih, gue bakal lebih milih kehilangan hak buat nentuin pasangan hidup daripada berhenti dari dunia musik."

Nala mendengarkan dengan seksama, sebelum dirinya juga akan menjelaskan sesuatu kepada Artha.

"Gue punya dua adek, masih sekolah semuanya. Kalau sampai sekolah mereka terganggu cuma gara-gara keterbatasan biaya, gue rela ngorbanin diri gue sendiri. Karena bener, ayah gue emang hampir bangkrut sekarang. Gue harus berterimakasih sama keluarga lo yang ternyata udah bantu keluarga gue."

Tanpa ia sadari air matanya kembali mengalir, "Gapapa, gue bakal kehilangan masa muda yang harusnya gue nikmatin sekarang. Gue bakal jadi istri lo dan ngurusin lo sebagai suami. Tapi gue mohon, gue mau tetep kuliah sampe lulus." Nala berusaha menguatkan dirinya hingga selesai ia sampaikan permohonannya.

"Karena kita bakal nikah cuma buat pertahanin urusan kita masing-masing, lo ga perlu nyerahin hidup lo ke gue. Gue juga bakal minta acaranya diadain secara tertutup biar cuma kerabat yang tau. Kita ga perlu bener-bener jadi orang yang udah nikah, lo ataupun gue masih bebas buat ngelakuin apa aja. Pernikahan ini cuma formalitas, deal?"

"Artha, lo serius?"

"Kenapa enggak? Omongan lo tadi bener, kita masih dua puluh tahun."

"Lo ga keberatan kalau gue ga ngejalanin tugas sebegai istri?"

"Bukan cuma lo, tapi gue juga. Kita cuma perlu nikah dan tinggal satu atap. Selebihnya urusan masing-masing."

"Ga ada syarat apapun lagi? Lo beneran serius??"

"Iya. Udah gausah nangis, lo makin jelek."

"Anjing."

Rusak sudah suasana kelabu yang sedari tadi menyelimuti atmosfer diantara mereka. Si dingin Artha ternyata juga bisa mencairkan suasana.

♬♩♪♩ ♩♪♩♬

↓ click the star⭐ below please??

Our Deceit - Han Taesan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang