"Woy Binal!"
Gadis itu tak menoleh dan sama sekali tak memiliki niat untuk merespon.
"Kok gue dicuekin sih? Kenapa ni anak??"
"Shtt! Tutup mulut lo, jangan ganggu." Bukannya Nala, melainkan Hawa yang menjawab pertanyaan itu.
Laki-laki yang memiliki tinggi tak jauh berbeda dengan Nala dan Hawa itu ikut mendudukkan diri di sebelah mereka. Raditya Lingga namanya, si laki-laki paling jahil dan menjengkelkan se dunia, menurut Nala.
"Ntar kalau yang manggil Dyon pasti di jawab." Ucapnya sinis.
"Ya Dyon manggil gue pake nama bener, ga kayak lo!"
"Ih makin sewot aja dah perasaan, abis patah hati ya??"
Nala memilih menjawabnya dengan jambakan rambut yang cukup kuat.
"A-aaww sakit anjir! Dasar binal!"
"Dasar cowok pendek!"
"Dasar galak!"
"Dasar bokem!"
"Dasar--"
"Yahahahaha kehabisan kata-kata kan lo??"
Gadis itu mendengus kesal, seperti ini lah memang kelakuan Radit. Entah bagaimana Dyon bisa berteman dengan laki-laki se menyebalkan ini. Sifat mereka yang begitu berbanding terbalik seperti tak cocok bila menjadi teman.
"Bisa ga Dit berhenti panggil binal-binal gitu?"
"Ga bisa."
"Anj- huhhh sabar Nalaa sabarrr. Masalahnya kalau orang yang ga tau nama lengkap gue nanti konotasi nya jadi ambigu tau ga? Disangka gue binal beneran ntar."
"Kan emang itu tujuannya."
"Anjir lo!"
"Seperti biasa, Tom and Jerry kita show up lagi." Dari kejauhan Dyon datang sambil menenteng beberapa kantong plasti berisi ice coffee. "Nih minum, stop dulu geludnya."
"Emang paling top dan lo Yon!" Puji Hawa.
"Kalian ngerjain apaan si?"
"Proposal pengajuan yang ga di acc-acc padahal udah revisi berkali-kali itu. Suntuk banget gue." Keluh Nala seraya menyesap kopinya.
"Lah belum kelar juga?"
"Yaaa seperti yang bisa lo liat sekarang."
"Untung aja kita anak Teknik." Celetuk Radit.
"Untang-untung, proyek lo tuh belum kelar."
"Proyek lo juga kali."
"Makanya, sama-sama bikin suntuk dah."
"Udah mau jam 4 Na, ayo masuk." Ajak Hawa setelah melihat arah jarum jam.
Kedua gadis itu memasuki kelas yang sudah ramai dengan penghuni di mana mereka semua akan beramai-ramai belajar tantang bidang studi ilmu psikologi sosial.
"Jadi bagaimana dengan perkembangan proposal kalian? sudah dua minggu, saya masih belum menerima proposal yang benar-benar bisa diajukan ke sebuah lembaga."
Dosen yang merupakan hantu bagi para mahasiswa dan mahasiswi psikologi itu bertanya dengan lantangnya, memandangi semua orang satu-persatu dengan tatapan serius.
"Saya akan cek kembali proposal yang hari ini kalian kirimkan ke saya, saya harap satu saja bisa berhasil. Karena saya sudah cape ngurusin proposal kalian yang salah terus-menerus."
Cukup lama para mahasiswa menunggu kalimat-kalimat pedas lainnya yang akan dilontarkan oleh dosen mereka itu, sampai akhirnya beliau memanggil satu nama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Deceit - Han Taesan
Fiksi PenggemarMereka yang terjebak dalam permainan kebohongan rancangan mereka sendiri, kini tak bisa lepas dan bahkan tak ingin keluar.