"Gue bilang kemarin juga apa, Mas. Ini main data lagi, berarti harus diteliti baik-baik!"
"Lah, yang menyunting berita ini kan kemarin lo, Mar. Harusnya lo juga sama teliti. Kita sepakat berita ini untuk dijadikan HL."
"Tetapi diakhir harusnya Mas Genta ikut mengoreksi, kan? Makanya Mas, jangan asal tanda tangan aja. Mas ini Redpel. Mentang-mentang sudah berbagi tugas, Mas Genta malah enak-enak tidak mengoreksi sama sekali! Mau taruh dimana wajah IBC sampai harus ditegur langsung oleh Bapak Walikota!"
"Sok bertingkah, selalu mau menyerang, tetapi otak nggak dipakai sama sekali. Crap."
......
Genta seperti dibungkam. Tadinya masih hendak mendebat kalau dia tidak sepenuhnya salah. Jai pun demikian, ingin menengahi. Kalimat terakhir yang dilontar oleh Mara semakin menghantar hawa dingin di ruang Redaksi. Yang lain, sedari awal tiga pimpinan itu sedang beradu mulut, Genta dan Mara menuntut siapa yang paling salah dan buruk—enggan memberi atensi. Lebih memilih untuk sibuk masing-masing dengan monitor mereka. Selayaknya perdebatan-perdebatan tersebut seperti makanan mingguan rutin.
Jai akhirnya menarik nafas, menggaruk singkat belakang kepalanya yang tidak digelitik gatal. Pikirannya semrawut. Padahal masih pagi, sudah saja mendapat panggilan dari Protokol Walikota mengenai berita yang baru–baru terbit di halaman depan, mengenai hasil BPS angka pengangguran tertinggi di kota mereka mendapat protes.
Intonasi suara lelaki itu lalu merendah. "Sudah, sudah. Gue yang akan menemui Bapak Walikota untuk meminta maaf," katanya. Memutuskan dan mengambil tanggung jawab. Mau tidak mau karena ia adalah pimpinan. "Genta, persiapkan saja ulasan ulang dari kita sebagai koreksi dan permintaan maaf kepada pembaca," pinta Jai. Lelaki itu ikut menepuk pelan pundak koleganya sebelum masuk ke ruang kerja lagi untuk mengambil tas. "Benar-benar teliti ya, Ta. Untuk kali ini, gue percaya dengan lo. Akan gue kabari hasil akhir dari audiensi nanti."
Genta mengangguk. Sementara Mara di sebelahnya mendelik sinis.
"Mar, lo ikut gue audiensi di Kantor Walikota. Lima belas menit lagi kita berangkat."
Bukannya menjawab, Mara malah melenggang ke arah pintu, angkuh melewati Jai dan Genta—keluar dari ruang Redaksi sembari meninggalkan bantingan keras. Menciptakan getar bagai ilustrasi gempa bumi ringan pada lantai dan dinding. Bahkan, sejumlah barang kecil di atas meja sontak ikut bergeser dari posisi awal. Noura yang ingin minum dari tumblrnya terkesiap, lantas menyumpah halus.
Mara benar-benar terang-terangan menunjukkan kemarahan—rupanya, masih tidak terima kalau tetap di akhir, dia juga yang harus menghadap Walikota bersama Jai.
Sekarang, tidak ada lagi perdebatan lanjutan di depan, ruang Redaksi berangsur tenang. Genta pun sudah bersemedi lagi di kubikelnya. Alhasil Lamiyra perlahan bisa mengeluarkan diri; bertanya sebentar kepada Noura. "Ra, kalau mau melihat hasil cetak koran bulan lalu harus ke arsip, ya? Humas Kemenkumham minta untuk difotokan arsip publikasi mereka yang bulan lalu," tanya wanita itu berbisik sambil memakai sepatu ketsnya. "Atau masih bisa ke bagian marketing?"
"Ke arsip aja, Miyr. Lebih mudah mencari langsung disana. Kalau bulan baru, biasanya rak arsipnya ada di paling depan," jelas Noura.
"Ah, I see. Ruang arsip di sini hanya ada satu, kan?"
"Yap. Di ujung lantai tiga ini. Mau gue antar?"
Ia buru-buru menggeleng, menolak tawaran Noura. Enggan jika mengganggu wanita itu."Nope. Gue sepertinya sempat lewat kemarin di area sana." Lamiyra tersenyum hangat kepada Noura sebelum meninggalkan mejanya. "Thanks, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Great War
RomanceBARIS KEDUA TANGERINE. Selayaknya berlatarkan masa perang besar; the great war. Tampak diselam sepanjang masa tak berkesudahan, saat si sulung Changkham dan putri tersembunyi milik generasi keempat Karidja dipersatukan dalam jerat ambisi pernikahan...