Jakarta, 2011.
"Selamat pagi, Lala." Tampak segar, Elisia menyapa putrinya di sesi meja makan pagi, hingga membuat gadis yang disapa—lagi menyantap krim sup dan rotinya sendirian seperti beberapa hari terakhir sontak mengangkat kepala. Alisnya hendak bertaut melihat si ibu yang sudah berpakaian rapi, terusan biru laut sedikit dipercik keunguan pada potongan plisket bawah yang menyentuh mata kaki kini bergesekan tak sengaja oleh ujung kaki meja makan kala wanita itu duduk di kursi; berseberangan dengan putrinya. Bersamaan kumpulan rambut tergulung rendah, begitu tertata diikuti bibir penuh yang menyaji senyum hangat dari polesan rona merah muda. "Mama sudah meminta untuk kamu dibuatkan tuna toast hari ini, kenapa hanya cream soup dan baguette polos, Nak?" tanyanya saat menyadari putrinya itu seperti—sarapan ala kadarnya.
Mendapati sebuah buku Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini yang dibawa sang mama, diletakkan tak jauh dari posisi mereka, Lamiyra berdehem samar. Hafal akan salah satu paragraf legendaris pada buku tersebut, di halaman awal kisah perjalanan penulis yang mencatatkan, penjara tak membuatnya berhenti sejengkal pun untuk menulis. Baginya menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang akan diperoleh. Berkali-kali karyanya itu dilarang dan dibakar.
Dan hanya ia yang tahu ibunya ini habis berbuat apa di ruang kerja selama beberapa hari terakhir.
Pasti banyak sekali ide pikiran yang telah tertuang, kemudian secara diam-diam dikirimkan ke sebuah surat kabar. Sebagaimana pemerhati ulung, tanpa was-was dilakukan. Apa pun itu, tidak jauh adalah mengkritisi segala hal tentang kalangan atas yang menurut pencermatannya sangat-sangat melenceng.
Pelampiasan yang tampak begitu berbahaya, namun jika tidak begini, pilihan mana lagi yang membentuk ruang kekuatan? Selain kebebasan sudah dirampas—baik itu dalam profesi asli, pun kekuasaan tidak memihak terang.
Meneruskan bahwa ini seolah bentuk pemberontakan pada penjara—saat ini berbenturan ketat menjerat mereka, juga gejolak emosi yang melebur berkat sang suami,
sudah empat hari tidak berkunjung ke rumah.
Memancing berbagai terkaan liar tak berkepastian.
"Aku yang meminta ini, Ma. Aku agak terburu-buru." Isyarat dagu gadis itu sengaja terarah pada sebuah perhitungan waktu digital menempel di pintu lemari pendingin. Lantas ia menghela lega kalau pengelabuannya tak melenceng. "Mama, apa kabar?" tanya Lamiyra tanpa ragu. Sudah biasa menyapa melalui ekspresi tersebut, habis-habis ibunya yang menghilang sekaligus tidak boleh diganggu di ruang kerja. Seumpama jauh dari kata serumah.
"Good." Elisia menjawab singkat namun tersuarai ramah. Lantas menyesap segelas teh hangat mawarnya santai. "Sekolah Lala baik-baik saja, kan?"
"Baik, Ma. Akhir bulan ini aku memulai aktivitas klub menulis."
"Menulis?"
Pengulangan satu kata yang tertangkap amat jelas oleh Lamiyra—adalah ibunya semacam berekspresi tak menyangka. Ada gestur senada tidak setuju pun suka—kemungkinan, hanya disebabkan dari lensa mereka sontak bertemu; si anak turut tidak gentar menghadapi, lalu sang ibu lekas mengurai kelembutan. "Oh, great. Semua orang berhak untuk menulis," kata Elisia menenangkan. "Akhirnya Mama memiliki partner bedah buku juga tulisan nanti. Glad to hear that, Sayang. Are we officially literature enthusiasts now?"
"I hope we are."
Seolah memungkas perpanjangan setelah jawabannya terakhir, Lamiyra memperhatikan halus ibunya itu menikmati pagi dengan menyambung bacaan dari buku bersampul krim pucat—cetakan biografi berbentuk novel milik Raden Ajeng Kartini. Dari penanda terakhir yang tersisip, sepertinya sudah dipelajari tuntas hingga setengah—dipastikan gadis itu lagi, mama menghabiskan malam tanpa tidur demi memancing kecepatan penuangan gagasan, keperluan ampuh dalam proses memproduksi tulisan-tulisan opini; di jam sepuluh nanti adalah batas penyetoran. Terbukti sekarang bukan menyentuh sepiring broccoli-spinach orzo—disajikan aromatik oleh para juru masak rumah, namun melanjutkan seruputan ramah di cawan tehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great War
RomanceBARIS KEDUA TANGERINE. Selayaknya berlatarkan masa perang besar; the great war. Tampak diselam sepanjang masa tak berkesudahan, saat si sulung Changkham dan putri tersembunyi milik generasi keempat Karidja dipersatukan dalam jerat ambisi pernikahan...