Chapter 5

49 34 30
                                    

Bara sadar Rindu mengalami
trauma mendalam. Rindu
gadis yang tidak mudah
ditebak. Ia bisa kalem, kadang
cerewet dan kadang suka
menyendiri. Rindu sering
mengalami kekerasan
fisik termasuk pembullyan
yang pernah ia alami saat
masih duduk di bangku SMP.

Rindu kehilangan orang
tuanya akibat kecelakaan
beberapa tahun lalu saat
akan kembali ke Indonesia.
Kehidupan keluarga Rindu
sangat mapan.

Semenjak orang tuanya
udah gak ada hanya Agra
satu-satunya keluarga yang
Rindu miliki. Agra adalah
kakek dari Bara dan Cakra.
Bara dan Cakra saudaraan.
Namun, banyak masalah
yang dihadapi oleh kedua
keluarga itu. Terutama
Cakra yang menyimpan
dendam atas kematian
papanya pada ayahnya Bara.

Bau obat-obatan sangat
menusuk hidung Rindu
yang baru saja sadar dari
pingsannya. Rindu sangat
benci dengan rumah sakit.

"Gue di mana?" tanya Rindu
pada Cakra yang berada
disampingnya.

"Hey, Lo  udah bangun Rindu.
Lo ada di rumah sakit," ucap
Cakra.

"Rumah sakit." Ya, Rindu baru
ingat kalau ia pingsan saat
akan berdiri beberapa jam
yang lalu di toilet sekolah.

"Lo jangan banyak gerak dulu.
Suhu badan Lo masih lemah,"
nasihat Cakra yang kemudian
Rindu mengangguk.

"Gue gak mau disini. Gue mau
pulang," pinta Rindu.

"Lo mau pulang, Rindu. Tapi
Lo masih sakit. Lo kebiasaan
ya," ujar Cakra menyentil
lembut keningnya Rindu.

Siapa lagi kalau bukan Rindu
orangnya? Rindu nekat turun
dari atas brankar lalu cabut
selang infus ditangannya.
Rindu berjalan dengan kaki
yang masih lemas. Ia pergi
meninggalkan Cakra dari
kamar rumah sakit.

Cakra mengejarnya, namun
dia melihat Rindu bersama
Bara. Rindu merengek minta
Bara untuk mengantarnya
pulang. Dua tempat yang
paling Rindu benci yaitu
rumah sakit dan toilet. Cakra
tidak tahu soal trauma yang
Rindu alami.

"Rindu, Lo kenapa pulang
sih?" tanya Bara saat di dalam
mobil.

"Karena gue gak suka dengan
yang namanya rumah sakit.
Kalau ingat rumah sakit. Sama
aja gue ingat kejadian tragis
itu," pungkas Rindu yang tiba-tiba
menangis teringat kecelakaan
waktu itu.

"Sorry! Hey, Lo gak usah cengeng.
Lo harus kuat menghadapi ujian
hidup yang Lo jalani saat ini," kata
Bara dengan lembut memberikan
saran padanya.

"Lo gak akan ngerti rasanya jadi
gue. Lo dulu aja benci sama gue.
Lo kenapa tolongin gue tadi?"
tanya Rindu mengalihkan
pembicaraan.

"Soal itu, Lo gak usah bahas.
Gue tulus kok tolongin Lo.
Maaf kalau gue pernah benci
sama Lo. Gue janji gak akan
benci Lo lagi. Lo dan gue saudara
jadi mulai sekarang Lo adik gue,"
jelas Bara sembari mengusap
air mata Rindu.

Sungguh perlakuan Bara barusan.
Membuat hati Rindu seakan di
terbangkan ribuan kupu-kupu.
Rindu mengakui untuk soal
perasaannya ia sebenarnya
mengagumi sosok Bara meskipun
kadang suka ngeselin.

"Lo istirahat di kamar. Gue balik
lagi ke sekolah. Lo harus panggil
gue Abang. Titik!"

"Kok malah ngatur sih! Balik sana
ke sekolah!"

Rindu mendorong punggung Bara
keluar dari kamarnya. Sedangkan
pria itu tersenyum karena tingkah
Rindu yang menurutnya lucu. Bara
kembali ke sekolah.

Di kantin sekolah Zeva sedang
menunggu Bara kekasihnya. Ia
tengah kesal dengan sikap lelaki
itu. Ada perubahan besar dalam
diri Bara setelah sembuh dari
sakit.

"Dia kemana sih?" batin Zeva.

Orang yang sedang dicarinya
datang. Zeva menarik tangan
Bara untuk duduk di sampingnya.
Ditemani dua temannya ada
Emilio dan Gevandra.

"Yang bucin si bos apa tuan
putri nih!" sindir Gevandra.

"Lo berisik, ya!" pekik Bara
menatap tajam ke arah Gevandra.

"Haha! Kena amuk monster," ucap
Emilio tertawa langsung kena
jitak Gevandra.

"Baby, jadi gak sih kita lihat
cincinnya," rengek manja Zeva
dengan suara mendayu-dayu.

"Huekk! Jijik gue denger Lo
ngomong gitu," cibir Bara dengan
gaya pengen muntah.

"Kek-nya kita berdua pergi dulu
deh," pamit Gevandra menarik
tangan Emilio dari kantin.

Emilio menepis tangan Gevandra
yang menariknya kala sampai
diluar kantin. "Gila Lo, Van!
Emangnya gue cewek Lo apa?
Seenaknya aja Lo main tarik aja
tuh tangan. I--ih geli gue," oceh
Emilio bergidik geli.

Gevandra malah ketawa. Kemudian,
setelah itu dia pergi entah kemana.
Emilio hanya menggeleng dengan
tingkah konyol satu temannya itu.

Bara sebenarnya malas temani
Zeva. Karena teringat kata-kata
Agra mau tidak mau Bara harus
berpura-pura menyimpan rasa
bencinya pada gadis itu demi
Rindu juga.

Sebelumnya Bara menelpon
Agra dan menceritakan kalau
Rindu dibawa Cakra ke rumah
sakit. Bara ingin memarahi
Zeva yang sudah membuat
Rindu kembali kumat dengan
penyakit traumanya.

Agra menahan Bara untuk tidak
emosi saat ditelepon.  Bara heran
kenapa kakeknya lebih memihak
Cakra daripada dirinya.

"Kek, aku gak suka ya kalau
Cakra yang jadi tunangannya
Rindu. Terus aku juga capek
harus membenci Rindu. Aku
kasihan, dia sakit kek," ucap
Bara tegas.

"Iya, kakek paham tapi kamu
harus ingat Rindu itu dalam
ancaman bahaya terutama
keluarganya Zeva. Kamu
ngerti kan maksud kakek," balas
Agra tak kalah tegas dari Bara
cucu kesayangannya itu.

"Apa sih yang kakek sembunyikan
dari aku tentang Rindu?" Bara
bertanya.

"Untuk saat ini kakek belum bisa
jujur soal rahasia Rindu. Yang
kakek mau awasi gerak-gerik
Rindu dari jauh!" peringat Agra.

"Oke, kalau itu maunya kakek!"
Bara patuh dengan aturan Agra.

Sangat berat bagi Bara dengan
tugas perintah dari kakeknya.
Demi kebaikannya Rindu, ia
terpaksa melakukannya meski
lelah rasanya menjalani ujian
ini dipikirannya Bara.

Tak berasa waktu bel terakhir
sekolah telah selesai. Bara
sudah keluar dari kelas dengan
baju seragamnya yang selalu
tampil acak-acakan.

Bara terkenal sebagai siswa
yang pintar tapi kelakuannya
berbanding terbalik dengan
penampilannya. Sering ditegur
karena tidak rapi tapi Bara
siswa keras kepala di sekolah
itu.

Tak akan ada yang bisa menentang
ucapannya Bara, kalau sudah dia
emosi. Bara selalu bodo amat,
karena terkenal bandel saat di
sekolah, namun tetap jadi idola
semua siswa di sekolahnya.

"Sayang, ini bukan ke toko
cincin. Kok malah antar gue pulang
ke rumah sih!" omel Zeva.

"Lo gak usah pikirin soal cincin.
Gue udah belikan cincinnya," imbuh
Bara dengan sikap dinginnya.

"Gak usah ngegas juga ngomongnya.
Iya, deh iya gue percaya kok. Thanks!
Emmuachh." Zeva bergelayut manja
di bahunya bara lalu mengecup
pipi kekasihnya itu.

Cup

Zeva tersenyum karena rupanya
Bara sudah mempersiapkan cincin
tunangannya. Setelah selesai antar
Zeva pulang. Bara mampir bentar
ke toko kue brownies. Bara tahu
kalau Rindu penyuka brownis.

"Semoga dia suka dengan kue
brownies nya!" monolog hati
Bara sambil tersenyum menatap
brownies yang dipegangnya.





Bara Rindu || HIATUS ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang