6

790 78 5
                                    

Dengkuran pelan mulai terdengar tanda bahwa kedua anak itu telah masuk dalam dunia mimpi masing-masing. Caine tersenyum kecil dan merengkuh kedua anaknya yang kini terlihat seperti bayi padahal umur mereka sudah lebih dari 18 tahun. Melihat keduanya tidur itu seperti obat serta hiburan baginya, ia sudah melupakan rasa sakit yang ada dikepalanya bahkan darahnya yang masih ada ikut ia hiraukan. Pemilik kamar ini sudah pergi dari tadi dengan perasaan jengkel.

___________________________________________

"Kenapa Beh?" tanya pria bersurai hitam legam dengan tato pada pipinya.

"Aman-aman, ngopi?" tawar Rion kepada anaknya.

Riji mengangguk pelan mengambil mendekat ke arah mesin kopi, mulai membuat kopi yang sesuai dengan indra perasa miliknya. Sang ayah memandang putranya itu tanpa ada niatan untuk membantunya 'toh sudah besar' itu yang ada pada benaknya, berbeda dengan sang wakil yang memanjakan semua anak-anaknya.

Kopi hitam mulai muncul, turun menuju cangkir putih dengan hiasan emas yang indah dibawahnya. Sang pembuat menyilangkan tangannya didepan dada, sambil bergerak seenaknya untuk menghilangkan rasa bosan dan jenuh. Setelah penuh cangkir itu Riji mengambilnya dan mendekatkan diri kepada sosok ayahnya itu, ia taruh kopi pahit itu dihadapannya, tepat pada meja kaca yang amat mengkilap itu. Ia jatuhkan dirinya pada pundak ayahnya, ia menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan kasar. Sunyi, itulah yang terjadi sekarang. Entah sang ayah maupun sang anak tidak ada yang membuka pembicaraan, mereka berdua sama-sama diam. Kedua lelaki dominan itu berpandangan sebentar lalu yang lebih tua tertawa dan menepuk pundak yang lebih muda.

"Kenapa?" tanya sang ketua.

"Entah kenapa perasaan gua ga enak, gua sama Selia juga sering miskomunikasi" jawab sang komandan dengan lesu.

"Udah coba omong-omongan 4 mata?" tanggap Rion sambil menyilangkan kakinya.

"Belum, gua masih takut" jawabnya sambil menundukkan kepalanya.

Rion ambil kopi hitamnya dan mulai menyesapnya secara perlahan. Indra perasanya mulai merasakan rasa pahit, namun sang pemilik meneruskannya lalu memandang anaknya yang akan menjadi komandan berikutnya. Ia dekatkan dirinya pada Riji lalu merangkulnya.

"Caine bilang apa dulu? Pas awal Selia masuk dan lu ngenalin dia ke kita sebagai pacar lu" tanya Rion.

"Komunikasiin semua?" tanya Riji balik.

"Yap, kunci hubungan itu ada dikomunikasi, semua hal itu harus lu komunikasiin. Apalagi dalam hubungan, kita sebagai lelaki itu yang dominan alias mimpin lah. Kalo kita ga bisa mimpin ya hancur lah itu hubungan, hilangin ego lu. Kalo lu ga bisa hilangin itu mending ga usah pacaran karena gimanapun juga tetep kita sebagai cowok yang harus ngalah, cewek itu sensitif, cewek itu cuman minta perhatian lebih sama minta diturutin doang. Kalo ga siap ya jangan pacaran" nasihat Rion pada yang lebih muda.

"Bukannya gitu, gua udah berusaha jelasin Beh. Selia sendiri yang ga mau ngertiin gua, gua juga capek lah" tanggapnya.

"Gini deh, lu jadiin Selia pacar lu dulu buat apa?" tanya Rion.

Lelaki bersurai hitam pekat itu hanya bisa menunduk, berpikir apa yang dapat ia katakan. Entah sebuah kebetulan atau bagaimana Sui ikut duduk disampingnya sambil menepuk pundaknya, dokter pribadi keluarga itu menggeleng pelang dan menepuk pundaknya sekali lagi. Ia tarik nafasnya dalam-dalam, terbukalah mulutnya itu dengan suaranya yang cukup lirih.

"Lindungin dia sama manjaiin dia" jawab Riji dengan lesu.

"Nah, kalo gitu lu udah tau kan tugas lu? Kita tau lu capek, cewek emang susah buat di ngertiin dan itu udah tugas cowok buat nebak-nebak. Jangan sampe lu bikin Selia kecewa sama lu" tanggap Sui dengan asap rokoknya yang mulai mengebul keatas.

The Center Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang