12.

292 64 2
                                    

Vote, comment, n follow🫵
.
.

Happy Reading

!
/
¡

Di kampus, Jisoo juga merasa tertekan. Meskipun dia berusaha fokus pada pelajaran dan kegiatan kampus, pikirannya selalu kembali ke Chaeyoung. Dia merindukan saat-saat kebersamaan mereka, tetapi dia juga tahu bahwa dia harus kuat demi kebaikan adiknya.

Sementara itu, Jennie, kekasihnya, menyadari ada sesuatu yang mengganggu pikiran Jisoo. "Kau kelihatan murung belakangan ini, Ji. Ada apa?" tanya Jennie suatu hari saat mereka makan siang bersama.

Jisoo mencoba tersenyum, tetapi Jennie bisa melihat kesedihan di matanya. "Tidak ada apa-apa, Jennie. Aku hanya sedikit lelah dengan semua tugas di kampus"

Jennie mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Jisoo. "Jisoo, aku kenal kau lebih baik dari siapa pun. Kau bisa cerita padaku jika ada masalah."

Jisoo merasa sedikit terbuka dengan perhatian Jennie. "Aku hanya khawatir tentang Chaeyoung. Dia... dia sedang melalui masa sulit"

Jennie mengangguk, mencoba memahami. "Apa yang terjadi dengannya?"

Jisoo terdiam sejenak, memikirkan kata-kata yang tepat. "Dia... dia merasa kesepian. Aku merasa bersalah karena tidak bisa selalu ada untuknya"

Jennie mengelus tangan Jisoo dengan lembut. "Mungkin kau harus lebih sering berada di sisinya. Terkadang kehadiran kita saja sudah cukup untuk membuatnya merasa lebih baik."

Jisoo menunduk, merenungkan saran Jennie. Dia tahu Jennie benar, tetapi situasinya lebih rumit dari itu. Dia harus menjaga jarak dari Chaeyoung untuk mencegah perasaan yang lebih dalam. Tetapi semakin dia menjauh, semakin dia merasa bersalah.

Setiap malam, Jisoo pulang dengan hati yang berat. Dia melihat Chaeyoung yang tertidur di sofa ruang tamu, menunggunya pulang. Air mata Jisoo hampir selalu jatuh setiap kali melihat adiknya seperti itu. Dia tahu dia harus melakukan sesuatu, tetapi dia tidak tahu apa.

Suatu malam, setelah memastikan Chaeyoung sudah tertidur, Jisoo duduk di samping adiknya dan mengusap rambutnya dengan lembut. "Maafkan aku, Chaeyoung. Aku hanya ingin melindungimu" bisiknya dengan suara serak. Dia kemudian menyiapkan selimut dan menutupi tubuh adiknya yang lelah.

Di hari-hari berikutnya, Chaeyoung merasa semakin putus asa. Setiap kali dia pulang dari sekolah, apartemen terasa semakin dingin dan sepi. Tidak ada lagi tawa dan canda yang dulu selalu ada saat Jisoo di rumah. Chaeyoung merasa seperti kehilangan sebagian dari dirinya.

"Kenapa harus begini, unnie?" Chaeyoung bergumam saat duduk di meja belajar, mencoba menyelesaikan tugas sekolahnya. Air mata kembali mengalir di pipinya. Dia merasa tidak ada lagi yang bisa membuatnya bahagia. Ia menyesal telah berkata jujur pada Jisoo.

Sementara itu, Jisoo juga merasakan kesedihan yang mendalam. Setiap kali dia bersama Jennie, pikirannya selalu kembali ke Chaeyoung. Dia merindukan kebersamaan mereka, tetapi dia juga tahu bahwa dia harus tetap kuat demi kebaikan adiknya. Setiap kali dia melihat Jennie, dia merasa sedikit tenang, tetapi bayangan Chaeyoung selalu menghantui pikirannya.

Jisoo tahu bahwa dia harus mengambil keputusan. Dia harus menemukan cara untuk menghadapi situasi ini tanpa menyakiti siapa pun, terutama Chaeyoung. Namun, dia juga tahu bahwa tidak ada jalan keluar yang mudah. Dia harus kuat dan bijaksana dalam mengambil setiap langkah.

Di kampus, Jisoo sering kali menghabiskan waktu sendirian, merenungkan apa yang harus dia lakukan. Dia merasa terjebak di antara dua perasaan yang bertentangan. Di satu sisi, dia ingin melindungi Chaeyoung dari perasaan yang salah. Di sisi lain, dia merindukan kebersamaan mereka yang dulu begitu erat.

Saat dia berjalan pulang dari kampus, Jisoo merasa berat di hatinya. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi kenyataan ini dengan kepala dingin dan hati yang tenang. Dia harus menemukan cara untuk menjaga hubungan mereka tetap utuh tanpa merusak perasaan Chaeyoung lebih jauh.

Malam itu, saat Jisoo akhirnya tiba di apartemen, dia melihat Chaeyoung yang tertidur di sofa ruang tamu lagi. Hatinya terasa hancur melihat adiknya yang begitu lelah dan kesepian.

"Chaeyoung, maafkan aku," bisik Jisoo sambil menutupi tubuh adiknya dengan selimut.
.
.
.
.
.

Pagi itu, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela apartemen mereka, memberikan kesan damai yang seharusnya menyenangkan. Namun, di dalam hati Chaeyoung, ada badai yang tidak bisa ia tenangkan. Sudah seminggu lebih Jisoo menjaga jarak darinya. Hal ini membuat Chaeyoung merasa kesepian dan bingung. Jisoo yang biasanya penuh perhatian dan selalu ada untuknya, kini seolah menghilang dari kehidupannya.

Chaeyoung terbangun lebih awal dari biasanya. Dia mendengar suara di dapur dan tahu bahwa Jisoo masih di rumah. Dengan perasaan yang campur aduk, dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur. Di sana, dia melihat Jisoo yang sedang sibuk menyiapkan sarapan. Wajah kakaknya tampak lelah, namun masih memancarkan kehangatan yang sama seperti dulu.

"Unnie..." panggil Chaeyoung dengan suara yang sedikit bergetar.

Jisoo terkejut dan berbalik, tidak menyangka adiknya sudah bangun. "Chaeyoung, kamu bangun lebih awal hari ini. Ada apa?"

Chaeyoung menatap Jisoo dengan mata yang penuh emosi. "Kenapa, unnie? Kenapa kamu selalu menghindar dariku? Apa salahku?"

Jisoo terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Chaeyoung, bukan begitu. Aku hanya..."

"Aku tahu, unnie! Aku tahu perasaanku ini salah. Aku sudah berusaha menepisnya, berkali-kali, tapi semakin aku mencoba, semakin perasaan itu mendalam!" Chaeyoung memotong ucapan Jisoo dengan suara yang semakin meninggi. Air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku tidak meminta perasaan ini ada, unnie! Aku juga tidak ingin merasakan ini!"

Jisoo merasa hatinya hancur melihat adiknya yang begitu tersiksa. Dia tahu, dia harus menjaga jarak untuk kebaikan mereka berdua, tetapi melihat Chaeyoung seperti ini membuatnya merasa bersalah. "Chaeyoung, aku hanya ingin kita kembali seperti dulu. Aku ingin kamu bahagia dan tidak terbebani oleh perasaan itu"

Chaeyoung menggelengkan kepala dengan keras. "Bagaimana aku bisa bahagia kalau kau selalu menghindariku? Aku butuh dirimu, unnie. Kau adalah satu-satunya yang aku punya. Aku merasa semakin hancur ketika kau menjauh”

Jisoo mendekat dan memeluk Chaeyoung erat-erat. Dia mencoba menenangkan adiknya yang menangis tersedu-sedu. "Maafkan aku, Chaeyoung. Maafkan aku jika membuatmu merasa seperti ini. Aku hanya tidak tahu harus bagaimana. Aku juga bingung dengan semua ini"

Chaeyoung membalas pelukan Jisoo, merasakan kehangatan yang selama ini ia rindukan. "Unnie, aku hanya ingin kau ada di sisiku. Aku tidak peduli dengan perasaanku. Aku hanya butuh dirimu"

Jisoo mengusap punggung Chaeyoung, mencoba memberikan kenyamanan. "Aku ada di sini, Chaeyoung. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Kita akan menghadapi ini bersama"

Mereka berdua tetap berpelukan, mencoba menenangkan diri masing-masing. Jisoo merasa dilema yang luar biasa. Dia ingin melindungi adiknya dari rasa sakit, tetapi dia juga tahu bahwa menjaga jarak adalah yang terbaik untuk mereka berdua. Di sisi lain, Chaeyoung merasa lega telah meluapkan perasaannya, meskipun dia tahu situasinya tidak akan mudah berubah.

Setelah beberapa saat, Jisoo melepaskan pelukannya dan menatap Chaeyoung dengan penuh kasih sayang. "Aku akan berusaha lebih baik, Chaeyoung. Aku janji tidak akan menghindari mu lagi"

Chaeyoung mengangguk perlahan, masih dengan air mata yang mengalir. "Terima kasih, unnie. Itu sudah cukup bagiku"

·••••·

Jangan lupa vote, comment, n follow😤🫵
.
.

Rabu, 24 Juli 2024

TBC🥀

Our Sins || Chaesoo [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang