Tak terhitung sudah berapa kali helaan nafas terdengar dari Kamar Tidur milik pemuda bersurai merah itu. Beberapa kali empunya memejamkan mata, berusaha menghilangkan pusing yang mendatanginya.
Pintu kamarnya di buka, menampilkan wanita paruh baya dengan daster yang membalut tubuhnya. “Diterima sayang?” tanyanya dengan suara lembut.
Dengan lemah, Caine menggelengkan kepalanya pelan. “Enggak, Mama. Ditolak.” jawabnya dengan suara lirih.
Ibunya hanya tersenyum tipis, ia berjalan mendekat dan memeluk putra sulungnya itu. “Sudah, nggak apa-apa. Bisa coba lain kali, kamu lulus baru enam bulan yang lalu kok.” ucap ibunya berusaha menenangkan.
“Tapi kita nggak bisa terus-terusan bergantung sama uang pensiun Mama, adek bentar lagi masuk kuliah.” jawab Caine dengan rasa bersalah.
“Masih ada waktu, Sayang... Gapapa ya, dicari pelan-pelan.”
•
Caine mengaduk-aduk kopinya dengan gusar, tatapan matanya kosong, ia masih merasa bersalah karena gagal lagi mendapatkan pekerjaan semalam. Entah sudah berapa banyak lamaran kerja yang ia kirimkan ke perusahaan, namun semuanya tak ada yang berbuah manis.
“Kamu kenapa, Caine?” tanya seorang perempuan di sebelahnya.
Caine menoleh dan tersenyum paksa, “I'm fine, Marie.” jawabnya dengan singkat.
Marie Jane, atau yang kerap disapa dengan MJ berdecak kesal mendengar jawaban sahabatnya itu. Ia berkacak pinggang dengan alis yang bertekuk, “Cerita dong Caine, masa aku doang yang ngebawel.” ujarnya dengan bibir yang maju beberapa senti.
Tiba-tiba seorang perempuan berambut putih menghampiri mereka, “Halo, maaf aku terlambat.” sapanya dengan wajah datar.
Marie tersenyum riang saat melihat orang yang mereka tunggu telah datang, “Leassa! Haloo, that’s okay~ Aku sama Caine belum nunggu lama kok.” jawabnya dengan aksen melayu yang terdengar samar.
Leassa tersenyum tipis, sangat tipis hingga orang lain tak menyadarinya. Ia berjalan dan mendudukkan dirinya di samping Caine, wanita itu sepertinya baru saja pulang kerja.
“Tadi aku dengar, Caine ada masalah?” ujar Leassa yang berusaha memunculkan topik.
Marie yang berada di sebelah kanan Caine mengangguk, “Iya, tapi nggak tahu masalahnya apa. Caine nih terlalu tertutup.” jawab Marie sambil melirik ke arah Caine.
Caine yang terpojok hanya bisa tersenyum paksa, ia akhirnya menghela nafas pelan sebelum mulai menceritakan tentang masalah yang membuatnya muram beberapa hari kebelakang.
Marie menatapnya dengan iba, beberapa kali tangan lentiknya itu menepuk-nepuk punggung Caine seolah berusaha memberi semangat. Sementara itu, Leassa hanya terdiam di tempatnya sembari mendengarkan cerita Caine, ia mengeluarkan ponselnya dan mulai memainkannya.
“That's okay, Caine! Aku yakin kamu pasti bisa nemuin pekerjaan yang layak, jangan nyerah ya? I'll pray for you.” ucap Marie yang berhasil membuat ujung bibir Caine terangkat.
Leassa menaruh ponselnya di depan Caine, memberi isyarat pada pemuda itu untuk melihatnya. Terlihat room chat Leassa dengan seorang pria, mereka sedang membicarakan tentang tawaran pekerjaan menjadi seorang penjaga dari anak pebisnis ternama.
“Aku tahu mungkin ini bukan pekerjaan yang kau mau, Caine. Tapi upahnya cukup menggiurkan, kalau kau mau, aku bisa membantu mu bertemu dengan Rion Kenzo.” jelasnya panjang lebarleba
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda || Rioncaine
Hayran KurguTACENDA (n). things better left unsaid; matters to be passed over in silence. Caine yang frustasi tak kunjung mendapat pekerjaan akhirnya melamarkan diri sebagai penjaga seorang anak dari pebisnis ternama, namun siapa yang menyangka pekerjaannya it...