Sebuah Keputusan

7 6 5
                                    

Hari demi hari berlalu, dan aku terus bergulat dengan perasaanku. Aku tidak ingin terburu-buru dalam mengambil keputusan, tetapi aku tahu bahwa aku tidak bisa terus seperti ini selamanya. Waktu terus berjalan, dan aku harus menemukan jawabanku sendiri.

Suatu hari, setelah sekolah, aku duduk di kamar sambil memikirkan semuanya. Pikiranku melayang-layang antara kenangan bersama Daris dan momen-momen indah dengan Luis. Keduanya memiliki tempat istimewa di hatiku, tetapi aku harus jujur pada diriku sendiri tentang apa yang sebenarnya aku rasakan.

---

Di sekolah, aku mencoba tetap fokus pada pelajaran, tetapi pikiranku terus melayang ke arah Daris dan Luis. Aku merasa perlu berbicara dengan seseorang yang bisa memberikan perspektif yang berbeda. Aku memutuskan untuk menemui guru bimbingan konseling, Bu Rini.

"Bu, saya butuh bantuan untuk memahami perasaan saya," kataku saat duduk di hadapannya.

Bu Rini tersenyum lembut. "Tentu, Anggela. Ceritakan apa yang sedang kamu rasakan."

Aku menjelaskan semuanya, mulai dari hubungan dengan Daris hingga perasaan terhadap Luis. Bu Rini mendengarkan dengan seksama tanpa menghakimi.

"Anggela, yang terpenting adalah kamu jujur pada dirimu sendiri. Terkadang, perasaan kita bisa sangat membingungkan, tetapi mengambil waktu untuk merenung dan mendengarkan hati kita sendiri adalah langkah yang tepat," katanya bijak.

Aku merasa lebih tenang setelah berbicara dengannya. Kata-katanya memberikan kejelasan dan ketenangan yang aku butuhkan.

---

Malam harinya, aku memutuskan untuk menulis surat kepada Daris. Aku merasa bahwa menulis akan membantuku menyusun pikiran dan perasaanku dengan lebih jelas.

> Dear Daris,
>
> Aku harap kamu baik-baik saja. Aku ingin berbicara denganmu tentang sesuatu yang penting. Aku sudah banyak berpikir tentang kita dan perasaanku. Kamu selalu menjadi teman yang baik dan perhatian, dan aku sangat menghargai itu.
>
> Namun, setelah merenung, aku menyadari bahwa perasaanku terhadapmu lebih seperti sahabat daripada kekasih. Aku tahu ini mungkin sulit untuk kamu terima, tapi aku ingin jujur denganmu.
>
> Aku berharap kita bisa tetap berteman baik dan mendukung satu sama lain, seperti yang selalu kita lakukan. Terima kasih untuk segala kebaikan dan dukunganmu selama ini.
>
> Salam hangat,
> Anggela

Aku menulis surat itu dengan hati-hati dan menyampaikannya kepada Daris keesokan harinya di sekolah. Dia membaca surat itu dengan tenang dan kemudian menatapku dengan mata yang penuh pengertian.

"Terima kasih sudah jujur, Anggela. Aku menghargai itu. Kita tetap bisa menjadi teman baik," katanya dengan senyum yang tulus.

Aku merasa lega setelah mendengar jawabannya. Beban di dadaku terasa berkurang, dan aku merasa lebih tenang.

---

Beberapa hari kemudian, aku bertemu dengan Luis di kampus. Aku merasa lebih siap untuk berbicara dengannya tentang perasaanku.

"Luis, aku sudah berbicara dengan Daris. Aku menyadari bahwa perasaanku terhadapnya lebih seperti sahabat," kataku.

Luis tersenyum lembut. "Aku senang kamu sudah menemukan jawabanmu, Anggela. Aku juga ingin jujur padamu. Aku suka kamu, dan aku berharap kita bisa mencoba lebih dari sekadar teman."

Hatiku berdebar mendengar kata-katanya. "Aku juga suka kamu, Luis. Mari kita lihat bagaimana semuanya berjalan."

Kami tersenyum satu sama lain, merasa lega dan bahagia dengan kejujuran yang telah kami ungkapkan.

---

Hari-hari berikutnya terasa lebih ringan. Aku merasa lebih percaya diri dan tenang setelah membuat keputusan yang jujur pada diriku sendiri dan orang lain. Teman-teman di geng tetap mendukung dan memberikan semangat, membuatku merasa dikelilingi oleh cinta dan persahabatan yang tulus.

Bab ini menggambarkan perjalanan Anggela dalam menemukan kejelasan dan membuat keputusan penting tentang perasaannya. Dengan dukungan dari teman-teman dan guru, Anggela akhirnya merasa lebih kuat dan siap untuk melangkah maju.

Kenangan Manis SMA RiveryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang