Setelah beberapa hari yang penuh dengan kebingungan, aku memutuskan untuk mencoba melupakan sejenak semua drama yang terjadi. Aku butuh waktu untuk berpikir tanpa tekanan. Hari itu, aku bergabung dengan geng di tongkrongan favorit kami, sebuah kafe kecil di dekat sekolah.
Seperti biasa, Cella dan Memet sudah berada di sana, sibuk bercanda satu sama lain. Alvin dan Liam sedang asyik bermain game di ponsel mereka, sementara Daffa dan Arham sedang membahas strategi game terbaru. Aku duduk di sebelah Cella, yang segera menyambutku dengan senyum lebar.
"Anggela, akhirnya kamu datang juga! Aku pikir kamu sibuk terus sama Daris," Cella menggoda.
Aku tertawa kecil, mencoba menutupi kegelisahanku. "Aku butuh refreshing. Banyak pikiran belakangan ini."
Kami menghabiskan waktu dengan ngobrol dan bercanda, suasana yang membuatku sedikit lupa tentang masalah yang sedang kuhadapi. Tapi saat jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, Daris datang dengan ekspresi serius. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda darinya.
"Anggela, bisa bicara sebentar?" tanyanya dengan nada yang lebih tegas dari biasanya.
Aku mengangguk dan mengikuti Daris ke luar kafe, mencari tempat yang lebih sepi. Perasaan gelisah kembali muncul, menyelimuti hatiku.
"Ada apa, Daris?" tanyaku pelan.
Daris menarik napas panjang sebelum menjawab. "Aku sudah mikir banyak sejak kamu cerita tentang Luis. Aku sadar kalau mungkin aku bukan yang terbaik buat kamu. Jadi aku mau bilang... kalau kamu lebih bahagia sama Luis, aku rela. Yang penting kamu bahagia, Anggela."
Hatiku seperti teriris mendengar kata-kata Daris. Aku tidak menyangka dia akan berkata seperti itu. "Daris, aku... Aku juga sayang sama kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku cuma bingung dengan perasaan aku sendiri."
Daris mengangguk, meskipun terlihat sedih. "Aku ngerti, Anggela. Aku cuma mau kamu bahagia. Jadi, kalau kamu butuh waktu lebih banyak untuk mikir, aku akan kasih waktu itu. Aku nggak mau kamu merasa tertekan."
Aku menahan air mata yang hampir jatuh. "Terima kasih, Daris. Aku benar-benar menghargai pengertianmu."
Setelah percakapan itu, kami kembali ke dalam kafe, tapi suasana hatiku tidak lagi sama. Cella langsung bisa membaca ekspresiku dan menarikku ke samping.
"Ada apa, Anggela? Kamu kelihatan sedih," tanyanya dengan nada khawatir.
Aku menceritakan percakapanku dengan Daris kepada Cella. Dia mendengarkan dengan seksama, kemudian merangkulku dengan penuh empati. "Kamu harus jujur sama diri sendiri, Anggela. Apapun keputusanmu, pastikan itu yang terbaik buat kamu."
---
Hari berikutnya, di sekolah, aku bertemu dengan Luna dan Lula di perpustakaan. Mereka sedang sibuk dengan tugas, tapi langsung menyambutku dengan senyum.
"Hei, Anggela. Gimana kabarmu?" tanya Luna.
Aku menghela napas panjang. "Masih bingung, Lu. Tapi aku sudah bicara sama Daris. Dia bilang akan kasih aku waktu untuk mikir."
Lula mengangguk mengerti. "Itu bagus. Yang penting kamu nggak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Kita ada di sini buat kamu."
Dukungan dari teman-temanku membuatku merasa sedikit lebih baik. Namun, aku tahu bahwa aku harus segera membuat keputusan. Perasaan campur aduk ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama.
---
Malam harinya, aku merenung sendirian di kamar. Aku memikirkan kembali semua momen bersama Daris, kebaikannya, perhatian yang selalu dia tunjukkan. Tapi aku juga memikirkan Luis, teman yang selalu ada, yang selalu membuatku merasa nyaman.
Akhirnya, aku memutuskan untuk bertemu dengan Luis keesokan harinya. Aku perlu jujur padanya tentang perasaanku, seperti yang aku lakukan dengan Daris.
---
Di kafe tempat biasa kami bertemu, Luis sudah menungguku. Dia tersenyum saat melihatku datang, tapi aku bisa melihat ketegangan di matanya.
"Luis, aku sudah pikirkan semuanya. Kamu adalah teman yang sangat berarti buatku, tapi aku juga tidak ingin menyakiti Daris. Aku butuh waktu untuk benar-benar memastikan perasaanku," kataku dengan jujur.
Luis mengangguk, meskipun ada kekecewaan di wajahnya. "Aku mengerti, Anggela. Aku tidak mau memaksakan apa pun. Aku hanya ingin kamu bahagia, apa pun keputusanmu."
Aku tersenyum tipis. "Terima kasih, Luis. Aku janji akan segera memberi tahu setelah aku benar-benar yakin."
Kami mengakhiri pertemuan dengan perasaan yang campur aduk, tapi aku merasa sedikit lebih lega. Aku tahu, keputusan ini tidak bisa diambil dengan terburu-buru. Aku butuh waktu untuk benar-benar memahami apa yang aku rasakan dan apa yang terbaik untuk masa depanku.
![](https://img.wattpad.com/cover/328350661-288-k116939.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan Manis SMA Rivery
Novela JuvenilAnggela dan Daris, dua remaja yang meninggalkan sekolah asrama dengan berbagai kenangan dan luka, kini memulai lembaran baru di SMA Rivery International School. Bergabung dengan geng bekas anak asrama, mereka menghadapi tantangan, persahabatan, dan...