Maaf?

69 7 0
                                    

Aku menyambar selembar kertas yang terletak di atas meja milik Ashana, di bangkunya jelas terletak sebuah tas ransel berwarna biru tua miliknya. Gadis itu sudah lama tak aku lihat lagi, seakan menghilang di telan bumi. Entah apa yang terjadi pada Ashana, namun lembaran ini nampak menjelaskan segalanya.

Maaf, aku pecundang. sekarang, aku tidak sedang berada di titik yang rendah. aku sudah jatuh ke dalam jurang tanpa cahaya.
Mau meminta obor sudah telat, semuanya terlanjur gelap. Mau mencari tangga juga tak untuk apa, kaki sudah lumpuh terlanjur.

"Selasa minggu depan ke kelasku." katanya, namun apa ini semua? Hanya tertinggal catatan sampah yang nampak menyedihkan tertinggal pada mejanya yang biasa untuk belajar.

Dia punya rencananya, ya.

Kaki ku melangkah dengan tergesa-gesa keluar dari ruang kelas penuh orang itu. Mataku menyisir seluruh sudut sekolah demi menemukan atensi gadis yang bernamakan Ashana. Nyatanya sia-sia, dia sungguh tidak ada.

Tanganku mewakilkan ucapan ku, bertanya dimana letak Ashana berada. Namun juga percuma, tidak ada yang mengerti aku. Malah tatapan risih yang mereka berikan daripada jawaban. Aku ingin teriak, dan aku sudah mencoba. Entah aku benar-benar bersuara atau tidak, namun banyak pasang mata jelas menatapku aneh.

Mata ku sedikit berair, namun tolong jangan menangis dulu, Hanis. Mungkin dia hanya mencari sedikit udara segar, atau justru hanya ingin melihat bagaimana awan bergerak lamban di atas langit.

Ashana, jangan bertindak yang lain dari itu, ya?

Aku berlari, masa bodoh dengan orang-orang yang aku tabrak, mau sakit mau tidak, tidak ada rasanya, sudah lupa akan rasa sakit. Kini pikiranku hanya terpusat pada gadis yang menjadi radio pada duniaku yang begitu sunyi.

Entah mengapa mata dan pikiranku kini terpusat pada kolam renang sekolah.

Mungkinkah Ashana disana?

Okay, I'll go there. Kaki ku berlari, walau tak cepat dan gesit asal sampai ke kolam renang sekolah. Bau kaporit begitu menyengat hidung, udara dingin menyapa kulit, membuat bulu kuduk berdiri apalagi aku seperti sendiri di sini. Mata ku menyisir ke seluruh sudut ruang ini, mencari sosok Ashana yang ku harapkan baik-baik saja. Aku berjalan dari pojok kanan ke pojok kiri, tidak ada satu sisi pun yang lolos dari teliti ku.

Aku mendongakkan kepala untuk melihat sisi yang atas, dan menyesal dalam sekejap.

Sosok yang ku cari setengah mati sudah gantung diri dengan sebuah tali. Aku teriak histeris begitu menangkap atensi dirinya yang ku yakin sudah lagi tak bernyawa, kaki ku lemas, tak dapat berdiri. Pipi ku basah akibat air mata yang mengalir deras.

Lantai ruangan ini bergetar. Ku tebak orang-orang penasaran akan apa yang terjadi di dalam sini. Ruangan yang digunakan untuk berenang ini menjadi semakin gelap kala banyak yang menutup celah untuk masuknya cahaya. Membuat pilu ini semakin kelu untuk diutarakan. Dua orang menarik lenganku, memaksa aku untuk menjauh dari bibir kolam.

Aku sangat benci karena aku tidak bisa mencarinya padahal dia selalu mencari ku. Aku benci karena aku tidak bisa menyelamatkannya padahal dia selalu menyelamatkan ku.

Tuhan boleh ambil yang lain, namun kenapa Ashana ada di urutan pertama? Dia segalanya, tolong.

Aku menutup mata ku begitu cipratan air mengenai wajah, tali tak cukup kuat untuk menahan berat badan Ashana. Ia jatuh tenggelam, tak sampai lima detik kemudian mengapung di atas air yang berkamuflase dalam birunya keramik.

Aku kembali histeris. Isakan ku semakin menjadi. Hatiku seperti di tusuk ribuan belati. Jika aku bisa, aku ingin meneriakkan namanya, meminta kesempatan kepada Tuhan untuk mengulang waktu agar aku setidaknya bisa berada di sisi Ashana walau hanya sebentar saja.

Kini aku dapat mendengar dengung, dunia seakan berjalan begitu lambat. Kepalaku pening, kemudian semuanya gelap.

Apakah aku berakhir di sini juga?

Hening Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang