Matahari bangun. Tapi tidak dengannya, dan untuk selamanya.
Orang-orang dengan pakaian berwarna hitam berhamburan datang ke tempat ini, gereja di mana banyak orang melayat atas kematian gadis yang telah menjadi suara dalam sunyi nya dunia. Orang-orang duduk kemudian berdiri dan pergi, memeluk dua sosok penting dari kehidupan Ashana, orang tuanya. Sebagian menangis, dan sebagiannya lagi tidak.
Dan aku salah satu yang tidak menangis. Bukan tidak mau, tapi tidak bisa. Bagai dirantai, tenggorokanku sakit bahkan untuk sekedar membuka bibir ku yang terkatup.
Ku pandang foto sosok bernamakan Ashana itu lekat lekat. Jelas ia tersenyum dalam foto monokrom itu. Ingin sekali rasanya ku tanyakan mengapa ia tersenyum di saat yang lain menangis? Senyum gadis manis itu sudah tak lagi memiliki perasaan hidup, ia sudah tidak akan lagi berdiri dengan rambutnya yang tergerai di depan ku. Ia sudah tidak akan lagi menyanyikan ku sebuah lagu. Ia sudah tidak akan lagi memberiku sekaleng minuman favoritku.
Semua hal yang pernah ia lakukan selalu manis. Sayang, hanya sekilas.
Ku genggam sapu tangan berwarna biru bercampur kuning yang ia berikan minggu lalu. Apa maksudnya memberi kain ini untuk hari ini? Untuk menangis atas ketiadaannya?
Ashana, kamu tidak lagi butuh kata semangat ya? Cukup kata selamat, iya, selamat jalan.
Aku perlahan terisak tanpa air mata turun dari iris cokelat ku, hanya saja sesak di dada menguasai diri sebagai wujud kecewa dan tak siap menerima. Aku tidak bergerak, hanya ingin duduk di sini, di samping Ashana yang tinggal potret semata. Kepalaku menunduk, memutar kembali memori-memori manis yang ia cetak dalam masa lalu walau sebenarnya juga masih baru.
Andai dia bertahan lebih lama, pasti akan lebih menyenangkan, ya?
Masalahmu seberat apa, Ashana? Mengapa kamu berlagak tidak apa apa seolah bahagia ketika kamu merasa putus asa?
Mengapa kamu seperti mendung yang tertutup payung? Ingin menangis, namun ditutupi.
Ashana, kalau aku cerita, mengapa kamu tidak? Mau ku katakan semangat namun sudah tidak berguna, mau ku berikan pelukan juga sudah tidak bisa.
Tidak adil, ya? Tapi bisa apa? Semua sudah terlanjur terjadi seperti ini. Mungkin memang ini jalannya, pilihannya. Kalau memang sudah keinginannya, apa aku bisa melarang? Aku juga bukan siapa-siapa.
Kalau boleh bilang, pilihannya buruk.
Namun tidak apa Ashana, asal kau bahagia, aku tak apa. Kamu sedang jalan-jalan ya di atas sana? Beban mu sudah hilang semua kan? Langit mu sudah tak kelabu lagi kan?
Kamu sudah bebas Ashana. Sekarang tinggal aku untuk memilih pergi sendiri atau menunggu giliran saja.
Biar ku beri tahu padamu, kalau kamu adalah teman terbaik yang pernah ada di dunia. Biar ku beri tahu padamu, bahwa kamu adalah salah satu dari keajaiban dunia. Biar ku beri tahu padamu, kalau kamu adalah mentariku di malam hari. Biar ku beri tahu padamu, kalau kamu se-indah pelangi.
Terima kasih Ashana, karena pernah ada.
Terima kasih Ashana, sudah mencoba bertahan walau akhirnya menyerah juga.
Terima kasih Ashana, walau yang kau tinggal kini hanya luka.
Kini hari-hariku akan berjalan tanpa dialog lagi. Seperti bagaimana mestinya.
Dan juga, terima kasih Ashana, sudah membuat duniaku menjadi bersuara dan berwarna, walau hanya sementara dan tidak selamanya.
Akhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hening
Teen Fiction[ FINISHED ] ''Cause of you, suddenly, my world got a little louder''