Think This Is An Epilogue?

107 7 10
                                    

Aku menatap kosong air yang tenang itu. Suasana tetap hening, tidak ada yang berubah, kelam, seperti bagaimana saat itu Ashana mati di tempat ini. Ekspresi-nya masih terpampang dan teringat jelas pada benakku, wajahnya yang tenang, tanpa terlihat menderita sedikit pun.

Sudah lama. Nyaris dua tahun semenjak kepergiannya. Minggu depan aku sudah tidak lagi berada di sini, lulus dari penjara tanpa sel ini. Maaf kalau kasar, tapi memang sebegitu menyiksa, apalagi dengan kondisi ku yang sempat tidak sempurna.

Aku meletakkan setangkai bunga matahari di bibir kolam, meninggalkannya sendiri, sebagai pengganti ku untuk menemani jiwa Ashana yang mungkin sedang melihat bagaimana aku selalu mengingatnya, dan kini mataku mulai berair.

"Buat apa aku bisa denger kalo sekarang gak ada yang nyanyiin aku, Shan?" ucapku parau, tersenyum hampa.

"Padahal kalo kamu masih hidup, kita bisa lulus sama-sama."

"Foto bersama, tampil bersama.."

Aku membalikkan badanku, kaki yang setengah atletis itu berjalan membawa ku ke depan pintu. Namun sosok gadis yang jelas ku kenal membuatku berhenti sejenak sebelum aku sempat membuka pintu transparan yang tertutup.

"Ashana?" tanyaku ragu-ragu. Ah, tidak ragu-ragu, memang ragu. Aku menampar wajahku untuk menyadarkan diri, namun tetap saja gadis itu berdiri di sini.

Dia menusukkan pisau kecil yang ia bawa tepat ke dadanya, letak di mana jantung berada. Pupil ku melebar, tak siap akan apa yang aku lihat. Aku justru malah berteriak daripada menariknya kembali, apa aku gila?

Apakah ini semua halusinasi?

"ASHANA!" pekik ku kala ia terjatuh dengan wajahnya yang menatapku sembari tersenyum.

Aku seperti orang gila, memukul-mukul pintu kaca itu yang tak bisa terbuka. Aku ingin menyelamatkannya, ini adalah kesempatan emas, iya bukan?

Aku berteriak parau kalau melihat ia semakin brutal menusuk dirinya sendiri, kemudian terpejam dengan senyumannya yang menyakitkan.

"ASHANA! ASHANA! JANGAN MATI!"

Aku menangis frustasi, berteriak, bahkan memukul kepalaku sendiri. Kenapa aku?

Aku takut, takut Ashana pergi lagi.

Aku membuka mataku, membuat aku sedikit terkejut kala Daniela menapakkan wajahnya tepat di depan wajahku.

"You okay?" tanya gadis itu khawatir. Daniela memelukku erat, menjauhkan jemariku yang menjambak rambutku sendiri.

"I'm scared... I'm scared of lose her forever.." gumamku, menangis.

"Ashana gak nyata, Hanis. Please..!" ujarnya, kali ini sembari menangkup wajahku.









Tunggu.











Apa katanya?

Hening Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang