Kain

51 7 0
                                    

Satu minggu yang lalu aku bertemu dengan Ashana tanpa rencana, kini gadis itu pergi ke kantin bersama teman-temannya. Penuh tawa, aku dapat melihat wajahnya begitu ceria. Aku tahu ia berada di mana tapi aku yakin ia bahkan tak sadar aku ada. Fokusnya hanya tertuju pada percakapan mereka yang bahkan tak dapat sama sekali aku dengar.

Aku mengernyit heran melihat ia aneh akhir-akhir ini. Menjauh dan semakin menjauh dariku setelah nyaris satu minggu penuh ia berperilaku sangat baik untukku. Terakhir adalah saat ia menyanyikan lagu Diskusi Senja karya Fourtwnty, kemudian selalu menghindar, hingga saat ini.

Entah apa yang terjadi, entah aku salah apa juga. Apakah karena ucapan yang ku beri? Apa itu membuatnya geli, ya? Tidak mungkin kan?

Ya sudahlah, biarkan saja. Seperti hidupnya hanya tentangku saja, kan tidak. Aku pergi menuju kelas, meninggalkan kantin yang ramai akan siswa yang melepaskan pening mereka setelah dua jam penuh berpikir atas teori-teori tentang berbagai bidang.

Namun tetap saja, walau sudah berusaha masa bodoh. Kata mengapa terus bergema di dalam pikiran, penasaran akan alasannya menganggap seolah aku tak pernah ada dan kita tak pernah kenal. Apa dia lupa ingatan sementara, dan aku objek satu-satunya? Ah, fantasi mana yang kamu pikirkan, Hanis? Tolong berpikir yang logis.

Eh!

Aku membalikkan mendongakkan wajah ku yang tadinya menunduk dan melamun. Aku salah nyatanya. Kini Ashana berdiri di depanku dengan wajahnya yang tersenyum.

Ashana, senyummu beda.

"Aku sudah bisa bahasa isyarat, enam puluh persen bisa."

Tangannya bergerak cantik, bicara dengan ku. Hanis, kamu ini suka memikirkan yang jelek-jelek, ya? Jangan overthinking!

"Keren!"

Percakapan kita berlangsung dengan gerakan dan tanpa suara. Hanya sebentar, kemudian ia memberiku sebuah sapu tangan, padahal aku tidak sedang membutuhkannya. Tapi aku terima.

"Untuk disimpan saja."

Aku mengangguk, menerima kain dengan corak kotak-kotak berwarna kuning dan biru muda itu. Di pojok kanan terdapat huruf A yang di bordir dengan benang warna oranye.

"Terima kasih, Ashana."

Ia hanya membalas senyuman kecil dan mencubit pipiku pelan, kemudian lagi-lagi pergi tanpa sepatah kata. Seolah tak terjadi apa-apa.

Dia ini kenapa? Seperti ada sesuatu yang berusaha ditutupi dariku. Atau aku memang tak penting dan kain ini sebagai tanda kita sudah tak dapat lagi bertukar sapa?

Astaga. Astaga. Astaga.

Dia kembali lagi, kali ini matanya membulat. Membuat aku memiringkan kepalaku, menunggu ia akan mengatakan apa.

"Selasa minggu depan tolong ke kelasku ya, istirahat pertama."

Aku menatap ke arah kanan atas, seolah berpikir. Untuk apa? Apakah ia memiliki sesuatu untuk diberikan? Apakah ia akan memberiku hadiah lagi setelah kemarin sekaleng cincau, hari ini sapu tangan, dan besok ... Apa?

"Kenapa harus minggu depan?" tanganku bergerak menanyakan.

Ashana mengambil pena yang ada di saku kemejanya, kemudian menulis sesuatu di telapaknya.

"Kalo gak lihat aku berarti gak masuk, jangan dicari."

Gadis itu tidak memberikan jawaban. Hari ini sungguh penuh tanya, namun aku mengangguk saja.

Hening Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang