Kenapa?

92 9 0
                                    

Atensi ku terpaku pada sosok jangkung yang berdiri jauh di depan ku. Tangannya menggenggam dua buah kaleng minuman, entah apa itu. Aku harap itu minuman cincau, favoritku. Ashana berjalan pelan menuju ke arahku, aku menengok ke belakang, memastikan apakah ia benar-benar pergi ke arahku atau justru ada orang lain di balik tubuhku.

Ah, di belakang tidak ada siapa-siapa begitu mataku menyisir ke sekitar. Hanya beberapa siswa yang berlalu lalang tanpa memberi atensi khusus pada yang lain. Begitu aku kembali membalikkan badanku, Ashana sudah berdiri tepat di depan wajahku. Kaleng yang dingin itu menempel pada pipi ku, membuatku sedikit terlonjak dan mataku membulat. Jemariku melepas genggaman pada buku harian yang aku bawa, membuat benda berbentuk persegi panjang itu terjatuh ke lantai keramik milik lorong sekolah.

Ashana tersenyum lebar, memberikan kaleng itu kepadaku. Dapat ku baca teks yang tertera pada benda alumunium itu. Ah, benar cincau. Aku membalas senyumannya yang dari tadi aku anggur kan, gadis itu menarik tanganku, menjauh dari keramaian.

"Terima kasih." tanganku bergerak sebagai bentuk bagaimana aku bicara. Ia terkekeh, kemudian mengambil secarik kertas yang aku yakin sudah ia simpan sejak tadi.

Dia manis.

Sama-sama.
Mau pulang bareng?

Aku mengangguk begitu selesai membaca tulisan tangan Ashana. Dia membawaku pergi dari lorong ini, menuju bagian depan sekolah. Ini pertama kali ku diajak pulang bersama setelah satu tahun bersekolah di sini. Aku dapat dengan jelas melihat wajahnya yang tersenyum dari samping. Begitu teduh. Entah bagaimana pandangannya kepadaku, namun aku memandangnya dengan konotasi positif.

Aku menoleh begitu kabel headset yang aku pakai ditarik oleh seseorang. Ah, biasa, menjadi bahan ejekan. Dapat ku lihat dengan jelas oknum oknum itu tertawa sangat bahagia melihat yang lain tertindas. Kecuali Ashana. Gadis itu menarik kerah bagian belakang laki-laki yang menarik kabel headset ku, kemudian mengatakan sesuatu tanpa bisa aku dengar. Aku pastikan ia siap beradu mulut dengan orang itu. Entah siapa namanya, aku tak tahu.

Ashana masih berdiri di depan laki-laki itu, wajah gadis yang mungkin bisa ku sebut teman itu terlihat sangat marah. Aku senang mengetahui Ashana memiliki paras yang cantik, membuat oknum tadi memilih untuk mengalah daripada harus berdebat dengan Ashana. Laki-laki itu pergi dengan wajahnya yang tetap kolot, melirik ke arah Ashana dengan tatapan tak senang sebelum pergi melenggang. Aku menarik lengan gadis itu kala ia hendak menendang betis anak tadi. Untung saja, aku lebih dulu bertindak sebelum terjadi hal yang lebih parah.

Tuhan, aku benci bagaimana dunia begitu hening di saat-saat seperti ini. Entah aku harus senang karena di bela, atau harus sedih mengingat aku berbeda.

Ashana membuka tutup kaleng cincau yang ia bawa, kemudian meminumnya sembari berjalan. Kakinya melangkah dengan langkah yang pasti, tanpa ragu dan takut. Gadis itu terlihat sangat keren saat ini, apalagi setelah tadi rela bertindak seperti tadi hanya demi membelaku. Masa bodoh jika orang lain menatap ia sok berani, sok pahlawan, atau sok keren. Because she is, she really is.

Jujur saja aku pun kurang mengerti maksud dari semua ini sejak kemarin, apalagi ia orang baru. Dari cara ia mengajakku berbicara— eh? Apa pantas disebut berbicara? Ntah, dan tadi, ia mengajakku pulang bersama, memberiku sekaleng minuman, dan membelaku dari seorang penindas. Ashana terlalu baik untuk seorang manusia, ia cocok untuk menjadi bidadari saja. Manusia terlalu jelek untuk disandingkan dengan gadis sebaik Ashana.

Sepanjang jalan pulang ia hanya diam, tidak menoleh kepadaku sekalipun. Membuatku berpikir "Mengapa ia mengajakku pulang bersama jika di diamkan saja?" Setidaknya tanyakan sesuatu, apapun itu. Walau tetap saja hening, setidaknya suasana canggung akan mereda. Bagi ku.

Ashana menghentikan langkahnya, membuatku juga terpaksa berhenti karena tingkahnya. Mataku sudah mengatakan semuanya untuk dia, "Ada apa?"

Gadis di depanku itu mengambil pena yang disimpan dibalik saku kemeja biru nya, kemudian menggunakan tinta dari pena itu untuk menulis sesuatu di telapak tangannya yang seputih salju. Eh? Ada sesuatu yang baru aku sadari. Dia kidal?

Ashana menunjuk ponselku yang tersambung dengan kabel audio. Mataku menuju pada tulisan kecil yang tertulis pada telapak tangannya.

"Ngapain pake headset kalo gak dengerin musiknya?"

Oh. Iya, dia orang awam ya? Aku terkekeh melihat pertanyaannya, kemudian mengambil pena yang ia genggam, tangan kanan ku menuliskan sesuatu pada telapak tangan kiri ku. Ashana mengintip sedikit, seolah tak sabar dan sangat penasaran akan jawabanku.

"Biar kelihatan lagi dengerin musik, padahal aslinya emang gak denger aja. Biar gak kelihatan tuli."

Aku merenungkan jawabanku sejenak untuk kalimat yang terakhir. Bertanya pada diriku sendiri, untuk apa juga ditutupi? Ternyata kata aku menerima diriku apa adanya bergema tanpa makna, nyatanya aku masih saja tidak ingin memperlihatkan kelemahan ku bahkan di saat orang-orang sudah tahu.

Ashana memegang tangan kananku, mengusap tulisan yang ku tulis dengan kasar sehingga membuatnya hilang setengah. Kini kata yang tertinggal hanyalah "Biar kelihatan lagi dengerin musik."

She did it again.

Ashana memelukku, tidak erat, namun pelukannya hangat. Membuatku ingin menangis. Telapaknya menepuk punggungku dengan halus. Tanganku juga bergerak untuk memeluknya, menepuk punggungnya yang lebih lebar dari punggungku.

Sudah lama tidak merasakan bagaimana rasanya dipeluk.

Gadis itu melepaskan pelukannya, mengusap rintik air mata yang turun dari netra cantiknya. Aku tertawa, menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya juga ingin menangis. Ia kali ini tidak menggunakan tinta sebagai sarana kita bicara, ia menggunakan tangannya.

"Mau melihat orang bernyanyi?"

Itu kata gerakan tangannya, membuatku lagi-lagi tertawa. Kali ini sarkas. Untuk apa? Lagi pula aku tidak dapat mendengar. Entah ia hanya bercanda atau benar-benar serius aku tak tahu. Bila serius, she might lose her mind then. Kepalaku menggeleng namun tanganku bertepuk, memuji bagaimana ia menggunakan bahasa isyarat.

"Kamu belajar?" tanyaku, tanpa suara.

Ia seakan mengerti, kepalanya mengangguk, aku kembali berjalan. Kapan sampainya jika berdiri diam di sini terus menerus?

Ashana menyentuh pundakku, memperlihatkan telapak tangannya yang sudah penuh tulisan. Aku mencoba mencari mana tulisan yang paling baru.

"Buat lu gua belajar ini, semalam gua hafalin mati matian. Anyways sama-sama!"

Hening Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang