Halo

199 10 0
                                    

Kenapa dunia begitu sunyi? Apakah semua yang beraksi harus aku hindari? Agar tidak ada kesalahpahaman kecil yang membuat sakit hati. Aku sebal bagaimana minoritas selalu di tepis ketika ingin menyampaikan opini. Katanya negara demokratis, tapi ternyata memang benar adanya jika itu semua hanya kiasan belaka.

Kaki ku melangkah menuju sebuah gang kecil, memilih jalan senyap itu daripada harus berpapasan dengan orang-orang acuh yang sosialnya sudah terkikis lahan perlahan. Untuk apa jalan bersama jika fokusnya hanya untuk layar semata. Sama saja bohong untuk kata "Bersama-sama"

Ah, apa sih yang aku pikirkan? Selagi pikiran ku bergelut sendiri, beberapa langkah kaki berjalan, mata ku tertuju pada kucing berwarna oranye dengan garis putih di bagian bawahnya. Baru ini aku melihat kucing itu di sini, padahal nyaris setiap hari aku lewat jalan ini. Jemariku menarik kabel headset yang tadinya terpasang pada telinga ku, badanku merendah, membuat kucing itu tertarik untuk mendekat. Ku sentuh bulu nya yang selebat hutan hujan, mulutnya menganga kecil namun suaranya tak terdengar oleh ku. Aku yakin ia meminta makanan.

Sayang, aku tidak memiliki dry food sama sekali karena tak tahu ada kucing se-lucu ini di sini.

Mataku fokus kepada makhluk lucu itu sampai akhirnya kabel headset ku terangkat sebelah, dapat ku lihat seorang gadis dengan surainya yang dibiarkan tergerai. Ia tersenyum kecil, kemudian mulutnya bergerak mengucapkan sesuatu selagi mendengarkan musik yang ku putar melalui kabel kecil itu.

Namun apa daya, aku tak bisa mendengarnya. Aku berdiri, meraih kabel yang memang milikku, kemudian pergi tanpa sepatah kata. Meninggalkan kucing oranye bersama gadis berseragam yang sama persis dengan milikku. Ku lihat sekilas, namanya Ashana.

Jalan ku tak cukup cepat sepertinya, badanku terlonjak begitu telapak tangan Ashana menyentuh bahu ku dari belakang, kemudian menulis sesuatu di buku kecil yang ia bawa.

"Kucing itu punya gua, lucu gak?"

Aku menatap mata gadis yang berdiri di depanku, menatapnya takut. Lagi-lagi ia menuliskan sesuatu.

"Gua baik."

Seakan tahu apa yang aku pikirkan, ia memperlihatkan tulisannya itu dengan senyum yang bahkan tak luntur dari wajahnya. Tetap, semua masih sunyi, namun hatiku terasa seperti ada yang menerangi.

Ashana meraih tanganku yang terkepal, membuka jemari yang merapat kemudian meletakkan buku dan pena yang tadi ia gunakan dan mengucapkan sesuatu. Sepertinya ia mengatakan 'Tulis.'

Aku turuti apa maunya, tanganku menulis beberapa kata yang dari tadi ingin ku katakan namun aku tak mampu. Ah, ternyata bukan beberapa kata, namun berakhir beberapa kalimat.

Aku menulis "Lucu. Kamu kenal aku, kah? Nama kamu Ashana ya? Tadi aku baca nametag kamu. Maaf aku nulis banyak soalnya aku gak bisa bicara. Aku tuli."

Ashana terkekeh membaca tulisan tanganku itu, membuatku ikut terkekeh walau tanpa suara. Aku menunduk selagi menunggu ia selesai dengan tulisannya, menarik ujung rok ku, merasa canggung. Ini adalah kali pertamaku bertemu orang seperti dia. Tak seperti orang biasanya, hanya bisa tertawa saja.

Dunia memang brengsek namun aku bisa apa jika tak punya kuasa? Pasti hanya bisa berdoa.

Aku terkejut tiba-tiba Ashana menarik tanganku sehingga aku mundur beberapa langkah dari tengah gang itu, matanya membulat sempurna. Aku menyisirkan pandanganku selagi Ashana menutupi pandangan dengan berdiri di depanku.

Ah, ada yang lewat ternyata. "Terima kasih."

Bodoh. Aku tidak sengaja menggunakan bahasa isyarat pada dia yang orang awam. Maaf Ashana, aku tidak bermaksud namun aku sudah terbiasa seperti ini.

"Sama-sama."

Deg

Aku memang tidak bisa mendengar namun aku mengerti apa yang ia ucapkan. Dari bagaimana bibirnya terbuka kemudian terkatup juga pasti orang-orang tahu ia mengatakan 'Sama-sama'. Namun yang janggal adalah aku baru saja menggunakan bahasa yang lain, yang asing bagi orang lain.

Dan Ashana mengerti itu.

Ah, tapi jika tahu mengapa tidak daritadi pakai bahasa isyarat saja?

Aku mencoba lagi, tanganku bergerak dengan lihai. Bermaksud untuk menanyakan dengan kalimat : "Kamu bisa pakai bahasa isyarat?"

Ashana kali ini menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, seolah bingung apa yang aku lakukan. Tangannya terangkat seolah ingin membalas, namun kembali ia turunkan. Aku mengangguk, mencoba membuatnya tidak ragu untuk menggunakan bahasa ku. Bahasa isyarat. Andai saja aku bisa bicara aku ingin mengatakan, 'Terus'.

Eh? Tapi untuk apa pakai bahasa isyarat jika aku saja bisa bicara? Jangan bodoh deh, Hanis.

Ashana mengatakan sesuatu dengan gerakan tangannya. Jujur saja, aku sulit mengerti. Namun sepertinya ia mencoba untuk mengucapkan "Aku masih belajar."

Benar saja, ia memberikan buku kecil miliknya. Membalaskan tulisan ku beberapa menit yang lalu.

"Iya, aku kenal kamu. Hanis kan? By the way gapapa, tulis yang banyak aja, kalau bisa bikin cerpen sekalian!

Aku masih belajar :D"

Ah, apakah dia memang suka sarkas? Kalimat 'Kalau bisa bikin cerpen sekalian!' membuatku mengulum bibir bawah ku, tapi aku yakin ia bermaksud baik. Ah, yang sekarang akan aku fokuskan adalah tiga kata terakhir. Yaitu Aku-Masih-Belajar. Wow, tebakanku benar, ya.

Aku mengulas senyum, begitupun dengan dia. Ashana menatap ke arah belakang, kemudian merampas buku yang aku bawa, dan melenggang pergi tanpa mengatakan apa-apa. Punggungnya yang cantik perlahan-lahan mulai tak terlihat oleh mata. Ia sudah pergi dan aku masih di sini. Mencoba mengolah dan mengerti apa yang baru saja terjadi.

Mungkin dia memiliki urgensi sendiri, sehingga tak sempat untuk pamit lebih dulu. Aku tidak mau berpikir yang lain, lagi pula aku orang baru bagi Ashana. Setidaknya aku tahu sesuatu, yaitu dia baik.





























 Setidaknya aku tahu sesuatu, yaitu dia baik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hanis






Ashana








🌻

Hening Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang