"Pada zaman dahulu kala, di sebuah negeri yang jauh ada sebuah kerajaan besar yang sejahtera."
Suara lembut mengalun sendu ditemani gerak semilir angin yang menerpa ringan. Jejak air setelah hujan tampak menggenang di beberapa titik membuat becekan dangkal. Sisa-sisanya mengalir pelan melalui celah tingkap rumah kecil berbahan kayu yang suasana di dalamnya temaram. Lentera kecil adalah sumber penerangan satu-satunya yang ada.
"Rakyatnya makmur, keluarga bangsawannya bijaksana. Hasil bumi melimpah, para cendikiawan lahir dari sana. Negeri itu bernama Utopia."
Kembali suara yang sama berujar pelan. Jemari lentik nan kusam bergerak perlahan menyisir surai pendek sosok lelaki kecil yang berbaring di pangkuannya. Wanita berpakaian lusuh itu tersenyum tipis memandangi sang putra di bawah, bersiap menceritakan bait selanjutnya dari cerita.
Anak kecil berusia sepuluh tahun tahun menatap sang Ibu dengan mata berbinar. Sesaat sebelumnya ia ketakutan dengan suara gemuruh, memaksa sang Ibu yang berkutat di dapur rumah sederhana mereka beralih untuk menenangkannya.
"Utopia adalah tempat impian, negeri yang sering manusia elu-elukan dalam khayalannya."
Cerita ini. Cerita yang setiap malam anak lelaki itu dengarkan, walau ia tahu alurnya, hapal dengan jelas bagaimana akhirnya tetapi ia tak pernah bosan mendengarkannya berulang-ulang.
"Negeri itu dipimpin oleh seorang raja yang memiliki tiga orang putra dan seorang putri. Mereka semua rupawan dan punya keahlian yang berbeda-beda. Semuanya memiliki jasa menyelamatkan kerajaan dari bahaya."
Mata anak lelaki itu berbinar, membayangkan bagaimana rupa para putra dan putri Utopia. Membayangkan betapa hebatnya mereka.
"Putra pertama adalah seorang ahli pedang, dia ahli bertempur dengan pedangnya dan selalu membawa kemenangan dalam setiap pertempuran...
"Anak keduanya seorang putri yang cantik jelita, dia adalah orang yang paling cerdas di antara saudaranya. Dia sosok yang anggun dan berwibawa...
"Anak ketiga adalah seorang pria yang pandai dalam strategi perang, ahli dalam panahan, dia juga bijaksana dan gigih...
"Anak terakhirnya seorang pria yang ramah dan baik hati."
"Mengapa Ibu tidak pernah menceritakan keahlian anak terakhirnya Bu?" tanya lelaki kecil itu, penasaran.
Sang Ibu tersenyum, mengusap lembut surai sang anak, "Ibu juga tidak tahu keahlian sang putra terakhir. Tapi menurut Ibu karena dia yang paling muda, dia masih dalam belajar untuk semua hal yang ada. Jadinya keahlian dia belum menonjol di salah satu bidang."
Bocah lelaki itu tampak tak mengerti apa yang Ibunya sampaikan, namun tak lama ia mengangguk seakan paham dan tersenyum.
"Lanjutkan ceritanya," pinta bocah itu.
"Kau tidak bosan mendengar cerita yang sama berulang-ulang?" tanya Sang Ibu.
Bocah itu menggeleng.
"Utopia itu negeri yang hebat."
Sang Ibu tersenyum, mengangguk kecil. Kemudian matanya memandang ke arah luar. Titik air menetes pelan dari atap, pandangannya kembali tertuju pada sang anak.
"Iya. Tapi pada suatu hari negeri itu diserang oleh orang-orang yang bilang jika Utopia menyimpan rahasia yang membuat negerinya sejahtera. Seluruh putra dan putri berusaha menyelamatkan negeri mereka, seluruh upaya dikerahkan namun mereka tidak bisa bertahan."
Walaupun dia tahu alurnya, bagian menyedihkan ini tidak pernah gagal membuat matanya berkaca-kaca membayangkan betapa mengenaskannya peristiwa itu.
"Utopia menghilang, tidak ada yang tahu bagaimana keadaan negeri itu sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
The World : Utopia [ATEEZ]
FanfictionSebuah legenda mengatakan ada sebuah negeri yang aman sejahtera bernama Utopia. Negeri impian yang rasanya hanya ada di khayalan manusia. Kisahnya negeri ini diserang lalu menghilang. Bertahun-tahun legenda terus tersebar, mengatakan masih ada jejak...