Cita-cita Aim

475 66 4
                                    

Kediaman keluarga Jeyhan kini tengah ramai dengan celotehan bungsu mereka. Naim dengan cerewetnya bertanya-tanya pada Kanu dan juga Kinar tentang sekolah. Bahkan anak itu sudah bertanya-tanya tentang cita-cita kedua kakaknya itu. Padahal dirinya saja baru akan masuk Taman Kanak-kanak.

"Kak Nu cita-citanya mau jadi apa nanti? Kalau Dede mau jadi fayeltlek." tanyanya pada Kanu yang masih asik dengan ponselnya.

Omong-omong Fire truck maksudnya.

Kanu sebenarnya sudah mulai lelah menanggapi celotehan celotehan Naim, hanya saja, hanya ada dirinya dan Kinar yang menemani Naim. Itupun dengan Kinar yang masih membuatkan susu untuk Naim. Naim mengantuk katanya, jadi ingin dibuatkan susu dengan dot. Mengantuk saja bisa se-cerewet ini apalagi tidak.

"Fire truck itu 'kan barang, Aim sayang. Bukan profesi yang bisa dijadikan cita-cita. Tapi kalau Aim mau jadi petugas pemadam kebakaran, baru bisa." jelas Kanu. Remaja laki-laki itu mengangkat adiknya untuk didudukkan di atas pahanya.

Kini keduanya duduk saling berhadapan. Naim memandang Kanu penuh tanya. Apakah benar begitu?

"Eman iyah?" tanyanya memastikan. Kanu mengangguk menjawab. Lalu menerima dot milik Naim yang disodorkan oleh Kinar padanya.

"Iya, sayang. Fire truck itu kan alatnya, barangnya. Dia yang bawa petugas pemadam kebakarannya. Kaya mobil, kan mobil yang bawa Aim kemana-mana sama Ayah, Bunda, Kak Nu, Kak Kin, Bubu, Didi, dan yang lain-lain."

"Jadi tidak bisa menjadi fayeltlek?" tanyanya lagi. Si kecil ini tidak ikhlas dengan jawaban Kanu. Dia sudah memantapkan cita-citanya untuk menjadi fire truck. Naim bahkan sudah memberi tahu teman-teman tentang cita-citanya itu.

"Nggak, sayang."

Bibir Naim melengkung ke bawah. Ini adalah efek dari tidur siangnya yang terlambat. Biasanya setelah zuhur, bungsu Jeyhan itu sudah tertidur dengan pulasnya. Namun kini, jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore, namun bungsu Jeyhan itu baru saja mengatakan dirinya mengantuk.

Kanu dan Kinar yang tak mau jika Naim menangis ya menuruti saja, namun kalau saja ada si Ibun, pasti Naim tidak akan dibiarkan tidur jam segitu.

"Gimana kalau jadi pilot? Dede kan suka lihat pesawat 'kan? Dede nggak mau jadi pilot?" Kinar kini ikut dalam pembahasan kedua saudaranya itu.

Jarak umur antara Kinar dan Kanu yang cukup jauh dengan Naim membuat keduanya bagai sepasang orang tua muda yang memiliki anak cerewet mancam Naim.

Naim menggeleng dan beringsut mendekati Kinar. Dirinya merajuk pada Kanu.

"Ndak. Pilot sudah punyana Yeye." tolaknya sengit.

Kinar tertawa mendengar ucapan adiknya. Omong-omong, Yeye adalah teman Naim. Keduanya begitu dekat, Yeye atau nama aslinya Yesaya, Kimy atau Kimberley, Togar atau Denis, adalah teman-teman Naim di rumah. Keempatnya sama-sama belum sekolah. Tahun ini, niatnya para orang tua merek ingin mendaftarkan bocah-bocah itu ke taman kanak-kanak.

"Okay... Gimana kalau dokter?" tawar Kinar sekali lagi.

Mata Naim yang sudah mengantuk itu dipaksa terbuka lebar-lebar karena ucapan Kinar.

"Nouu! Aim don won tu bi doktel! Aim ndak suka!" tolaknya cerewet. Telunjuk kecilnya bergoyang-goyang ke kanan dan kiri berulang. Kepalanya pun ikut menggeleng dengan bibir yang maju. Membuat Kinar gemas dan mengecupnya singkat.

Naim sangat anti dengan dokter. Entah karena apa pastinya, tapi seingat Kinar, Naim tidak suka pada dokter karena Kimberley yang baru saja pulang mencabut gigi bercerita pada Naim dan tiga temannya yang lain. Kimberley dengan pipi yang bengkak itu berkata bahwa dokter seperti monster yang hendak mencuri giginya.

HuisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang