Jakarta, Era Modern
Ayesha Varunika Kartasasmita, seorang arkeolog muda yang cerdas dan ambisius, duduk di ruang kerjanya yang penuh dengan buku-buku tebal, peta kuno, dan artefak yang tersebar di meja. Di bawah cahaya lampu neon yang terang, matanya yang cokelat bersinar penuh rasa ingin tahu saat ia memeriksa sebuah kalung kuno berornamen emas yang baru saja ditemukan di situs arkeologi di Jawa Timur. Kalung itu memiliki ukiran rumit yang memancarkan aura mistis, seolah-olah menyimpan rahasia zaman yang telah lama berlalu.
Ayesha menghela napas dalam-dalam. Kehidupannya di Jakarta yang sibuk sering kali terasa seperti berada di bawah tekanan konstan. Sebagai putri dari keluarga terpandang yang memiliki sejarah panjang dalam dunia akademis, ekspektasi tinggi selalu mengikuti setiap langkahnya. Ayahnya adalah seorang profesor sejarah terkenal, sementara ibunya adalah penulis dan peneliti budaya Jawa. Ayesha tumbuh dikelilingi oleh cerita-cerita tentang kejayaan masa lalu dan pentingnya melestarikan warisan budaya.
Namun, ambisi Ayesha lebih dari sekadar memenuhi harapan keluarganya. Ia memiliki hasrat yang mendalam untuk mengungkap kebenaran sejarah yang tersembunyi dan memperkenalkan penemuan-penemuan baru kepada dunia. Proyek terbarunya, yang melibatkan penelitian di sebuah situs kuno di Jawa Timur, diharapkan dapat membawa terobosan besar dalam kariernya. Namun, kalung yang ia temukan ini—dengan semua misteri yang menyelimutinya—bisa menjadi lebih dari sekadar penemuan ilmiah.
Di malam yang sunyi, hanya ditemani oleh gemerisik angin yang lembut, Ayesha membuka jurnal catatan lamanya. Ia menemukan sebuah petunjuk tentang ritual kuno yang terkait dengan kalung tersebut. Menurut legenda, kalung ini memiliki kekuatan untuk memanipulasi waktu, tetapi juga membawa kutukan bagi siapa saja yang mencoba mengendalikannya. Peringatan ini tidak membuat Ayesha gentar. Sebaliknya, rasa ingin tahunya semakin menggebu.
Dengan hati-hati, Ayesha mengucapkan mantra-mantra kuno yang tertulis dalam jurnal. Suaranya lembut namun tegas, mengisi ruangan dengan aura magis. Saat kata-kata terakhir keluar dari bibirnya, ruangan mulai bergetar perlahan. Cahaya dari kalung itu menyala terang, membentuk sebuah portal waktu yang berputar dengan kecepatan yang semakin meningkat. Ayesha berdiri terpaku, matanya terbelalak antara ketakutan dan ketakjuban.
Sebelum ia sempat menyadari apa yang sebenarnya terjadi, kekuatan dari kalung itu menariknya ke dalam portal. Dalam sekejap, dunia di sekelilingnya berubah menjadi kabur, dan Ayesha merasakan sensasi melayang yang membingungkan. Ia terlempar ke dalam kegelapan, menuju masa lalu yang penuh dengan ketidakpastian.
•••
Zaman Penjajahan Belanda di Indonesia
Ketika Ayesha membuka matanya, ia menemukan dirinya berada di sebuah tempat yang asing dan jauh berbeda dari kehidupannya yang modern. Suasana di sekelilingnya dipenuhi oleh suara-suara pertempuran dan teriakan. Ia berada di tengah-tengah desa yang terbakar, dengan pasukan Belanda yang mengepung rakyat lokal. Di hadapannya, seorang pria Belanda dengan seragam militer berdiri tegak, memegang senapan dengan tatapan dingin.
"Siapa kau?" tanya pria itu dengan nada curiga, matanya yang biru menatap tajam ke arah Ayesha.
"Aku... aku Ayesha," jawabnya terbata-bata, masih terkejut dengan apa yang terjadi.
Pria itu mengerutkan kening. "Nama yang aneh untuk tempat seperti ini."
Ayesha sadar bahwa ia tidak hanya terlempar ke masa lalu, tetapi juga ke dalam situasi yang sangat berbahaya. Di sinilah, di tengah-tengah kekacauan penjajahan Belanda, ia bertemu dengan Willem van den Houven, perwira militer yang akan mengubah hidupnya selamanya. Pertemuan ini, yang diawali dengan ketegangan dan pertentangan, akan membawa mereka pada perjalanan penuh petualangan, cinta, dan penemuan jati diri yang mendalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kala Cinta dan Waktu
Historical FictionAyesha Varunika Kartasasmita, seorang arkeolog muda yang cerdas dan ambisius, mendapati hidupnya berubah drastis ketika sebuah kalung kuno yang ia temukan mengirimnya kembali ke masa lalu, ke zaman penjajahan Belanda di Indonesia. Terlempar ke dalam...