bab 2 : pertemuan

8 2 0
                                    

Jakarta, Malam Hari

Ayesha mengucapkan mantra itu dengan suara lembut namun tegas. Saat kata-kata terakhir keluar dari bibirnya, ruangan mulai bergetar perlahan. Cahaya dari kalung itu semakin terang, hingga akhirnya menyilaukan. Angin aneh berhembus di dalam ruangan, menggoyangkan tirai dan membuat kertas-kertas beterbangan.

Tiba-tiba, sebuah portal berputar terbentuk di tengah ruangan, menarik perhatian Ayesha. Portal itu tampak seperti pusaran energi bercahaya, memancarkan aura yang kuat dan misterius. Ayesha berdiri terpaku, matanya terbelalak antara ketakutan dan ketakjuban. Sebelum ia sempat bereaksi, kekuatan dari portal itu mulai menariknya dengan kuat.

"Apa yang terjadi?" Ayesha berteriak, mencoba melawan tarikan tersebut. Namun, kekuatan portal terlalu kuat. Ia merasakan tubuhnya terangkat dan tertarik ke dalam pusaran cahaya. Sensasi melayang yang membingungkan membuatnya merasa pusing dan kehilangan kendali.

Saat Ayesha ditarik semakin dalam ke dalam portal, suara-suara aneh dan bayangan-bayangan mulai berputar di sekelilingnya. Ia melihat sekilas pemandangan masa lalu—orang-orang berpakaian tradisional, bangunan kuno, dan pertempuran yang sengit. Semua itu bercampur aduk dalam pusaran waktu yang kacau.

•••

Ketika Ayesha membuka matanya, ia menemukan dirinya tergeletak di tanah yang keras dan berdebu. Rasa pusing masih menghantuinya, tetapi ia memaksakan diri untuk bangkit. Pandangannya perlahan-lahan menjadi jelas, dan ia melihat sekelilingnya.

Ayesha berada di sebuah desa yang hancur, dengan bangunan-bangunan yang terbakar dan asap hitam mengepul ke langit. Suara jeritan dan tangisan terdengar di kejauhan, menambah suasana mencekam. Di dekatnya, ia melihat sekelompok prajurit Belanda sedang menyerang penduduk lokal yang tak bersenjata.

"Apa yang terjadi? Di mana aku?" Ayesha bertanya pada dirinya sendiri, mencoba memahami situasi yang kacau ini. Ketika ia berdiri, seorang prajurit Belanda mendekat dengan wajah marah dan senjata teracung.

"Siapa kau?" tanya prajurit itu dengan nada curiga, matanya yang biru menatap tajam ke arah Ayesha.

"Aku... aku Ayesha," jawabnya terbata-bata, masih terkejut dengan apa yang terjadi. "Aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini."

Prajurit itu mengerutkan kening. "Nama yang aneh untuk tempat seperti ini. Apa kau mata-mata?"

"Aku bukan mata-mata," Ayesha mencoba menjelaskan. "Aku seorang arkeolog. Aku... aku terlempar ke sini oleh kekuatan kalung kuno."

Prajurit itu tampak bingung sejenak, tetapi kemudian ia mengangkat senjatanya lagi. "Ayo ikut denganku. Kita lihat apa yang akan diputuskan oleh komandan kami."

Dengan perasaan campur aduk antara ketakutan dan kebingungan, Ayesha mengikuti prajurit tersebut. Ia menyadari bahwa dirinya telah terlempar ke masa lalu, ke zaman penjajahan Belanda di Indonesia. Dalam situasi yang penuh dengan bahaya dan ketidakpastian ini, Ayesha harus mencari cara untuk bertahan hidup dan menemukan jalan kembali ke masa depan.

Di tengah perjalanan, Ayesha dibawa ke sebuah pos militer Belanda yang dipimpin oleh seorang perwira bernama Willem van den Houven. Willem adalah seorang pria dengan rambut pirang yang dipotong rapi, mata biru tajam, dan sikap yang tegas. Ketika Ayesha diperkenalkan kepadanya, Willem menatapnya dengan penuh kecurigaan.

Willem mendekati Ayesha dengan wajah curiga. "Wie ben jij en wat doe je hier?" (Siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini?) tanyanya dalam bahasa Belanda.

Kala Cinta dan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang