Hari itu, Ayesha sedang berjalan di sekitar kamp militer, mencoba memahami situasi yang ada. Willem, yang bertanggung jawab mengawasi kamp, melihatnya dan mendekatinya dengan wajah serius.
"Ayesha, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Willem dengan nada tegas.
"Aku hanya mencoba memahami bagaimana penduduk lokal diperlakukan di sini," jawab Ayesha dengan tenang.
Willem mengangkat alis. "Ini bukan urusanmu. Kau harus tetap di tenda dan tidak mencampuri urusan militer."
Ayesha menatap Willem dengan tajam. "Mereka diperlakukan dengan tidak adil, Willem. Kau tidak bisa melihat penderitaan mereka dan berpura-pura semuanya baik-baik saja."
Willem menghela napas. "Ayesha, ini perang. Ada aturan dan konsekuensi. Aku tidak bisa membiarkanmu berjalan-jalan dan membuat masalah."
"Aku bukan membuat masalah. Aku hanya ingin membantu mereka," bantah Ayesha. "Kau tidak mengerti bagaimana rasanya hidup di bawah penindasan."
"Aku mengerti lebih dari yang kau kira," jawab Willem dengan nada lebih lembut, tetapi tetap tegas. "Tapi aku juga punya tanggung jawab. Kau harus memahami itu."
Ayesha merasakan frustrasi merambat ke seluruh tubuhnya. "Kau mungkin punya tanggung jawab sebagai perwira, tapi itu tidak berarti kau harus menutup mata terhadap ketidakadilan."
Willem menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangannya. "Kita berasal dari dunia yang berbeda, Ayesha. Pandangan kita berbeda. Tapi aku harap kau bisa melihat bahwa aku juga punya batasan."
"Dan aku harap kau bisa melihat bahwa aku tidak bisa diam melihat orang-orang menderita," kata Ayesha dengan tegas. "Aku akan melakukan apa pun yang bisa aku lakukan untuk membantu mereka."
Willem mengangguk perlahan. "Baiklah, tapi berhati-hatilah. Aku tidak ingin melihatmu terluka karena tindakan impulsif."
"Aku akan berhati-hati," jawab Ayesha. "Tapi aku tidak akan berhenti berjuang untuk mereka."
•••
Malam itu, suasana desa begitu sunyi, seakan memberi firasat buruk. Ayesha duduk bersama para penduduk lokal, berbicara tentang kehidupan sehari-hari mereka. Tiba-tiba, suara teriakan dan bunyi tembakan memecah keheningan. Pasukan Belanda menyerang desa, memicu kepanikan di antara penduduk.
"Awas! Berlindung!" teriak salah seorang penduduk, sementara yang lain berlari mencari tempat aman.
Ayesha dengan cepat meraih seorang anak kecil yang menangis dan membawanya ke belakang salah satu rumah. Ia melihat prajurit Belanda memasuki desa, dengan senjata teracung dan mata yang penuh determinasi.
Di tengah kekacauan, Raden Mas Jaya dan para pejuang lokal muncul dari bayang-bayang, siap melawan. Willem, yang tadinya berada di pos komando Belanda, berlari menuju desa dengan wajah penuh ketegangan.
"Ayesha!" teriak Willem saat melihat Ayesha berusaha menenangkan anak kecil itu. "Kau harus keluar dari sini! Ini berbahaya!"
"Aku tidak bisa meninggalkan mereka, Willem!" balas Ayesha tegas. "Mereka butuh bantuan kita!"
Dengan cepat, Willem menilai situasi. Ia tahu pertempuran ini tidak bisa dihindari. "Baiklah, tapi tetap di belakangku," katanya sambil mengeluarkan pistolnya.
Pertempuran sengit pun terjadi. Suara tembakan dan jeritan memenuhi udara. Para pejuang lokal bertarung dengan gagah berani, menggunakan setiap sudut desa sebagai perlindungan. Ayesha berlari dari satu rumah ke rumah lain, membantu yang terluka dan memberikan semangat kepada mereka yang ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kala Cinta dan Waktu
Ficción históricaAyesha Varunika Kartasasmita, seorang arkeolog muda yang cerdas dan ambisius, mendapati hidupnya berubah drastis ketika sebuah kalung kuno yang ia temukan mengirimnya kembali ke masa lalu, ke zaman penjajahan Belanda di Indonesia. Terlempar ke dalam...