bab 6 : misi yang berlawanan

1 1 0
                                    

Beberapa hari setelah insiden di kamp, Willem menerima perintah baru dari atasannya. Ia ditugaskan untuk memimpin operasi militer yang bertujuan menghentikan perlawanan lokal, termasuk kelompok yang dipimpin oleh Raden Mas Jaya. Keputusan ini membuat Willem berada dalam posisi yang sangat sulit.

Malam itu, Willem menemui Ayesha di tenda yang berada di pinggir kamp. Wajahnya tampak tegang, dan ia menghela napas panjang sebelum berbicara.

"Ayesha, kita perlu bicara," kata Willem dengan nada serius.

Ayesha, yang sedang memeriksa persediaan medis, menoleh dan melihat kekhawatiran di wajah Willem. "Ada apa, Willem?"

Willem menatap Ayesha dengan mata penuh beban. "Aku baru saja menerima perintah dari atasan. Aku ditugaskan untuk memimpin operasi militer untuk menghentikan perlawanan di desa ini."

Ayesha terkejut dan merasa marah sekaligus kecewa. "Apa maksudmu? Kau akan melawan kami? Melawan rakyat yang hanya ingin kebebasan?"

Willem menghela napas lagi, matanya penuh dengan rasa bersalah. "Aku tidak punya pilihan, Ayesha. Ini perintah langsung. Jika aku menolak, aku akan diadili sebagai pengkhianat."

"Jadi kau akan menyerang orang-orang yang telah kau bantu? Orang-orang yang mempercayaimu?" Ayesha berteriak, air mata menggenang di matanya.

Willem mendekat, mencoba meraih tangan Ayesha, tetapi ia menolaknya. "Ayesha, tolong mengerti. Aku tidak ingin melakukan ini. Aku di sini bukan untuk melawanmu atau orang-orang desa. Aku akan mencoba meminimalkan kerugian sebanyak mungkin."

"Minimalkan kerugian? Kau tidak bisa berbicara seperti itu, Willem. Setiap nyawa yang hilang adalah sebuah tragedi," kata Ayesha dengan suara bergetar. "Jika kau benar-benar peduli, kau harus menemukan cara lain."

Willem menatapnya dengan putus asa. "Aku akan mencari cara lain, tapi aku butuh waktu. Sementara itu, aku ingin kau dan penduduk desa tetap aman. Kau harus keluar dari sini sebelum operasi dimulai."

Ayesha menggelengkan kepala. "Aku tidak akan pergi. Aku tidak bisa meninggalkan mereka. Ini adalah rumah mereka, dan aku akan bertahan bersama mereka."

Willem menghela napas panjang, menyadari betapa keras kepalanya Ayesha. "Baiklah, tapi tolong, jaga dirimu. Aku akan melakukan yang terbaik untuk melindungimu, meskipun kita berada di sisi yang berlawanan."

Ayesha menatapnya dengan mata penuh emosi. "Aku berharap kau menemukan cara untuk menghentikan ini tanpa kekerasan, Willem. Aku percaya padamu."

•••

Pagi berikutnya, ketegangan semakin memuncak saat Willem memimpin pasukannya menuju desa. Ayesha bersama Raden Mas Jaya dan para pejuang lokal bersiap menghadapi serangan yang akan datang. Mereka tahu bahwa pertarungan ini akan sulit, tetapi mereka tidak punya pilihan lain.

Di tengah pertempuran, Ayesha berlari dari satu tempat ke tempat lain, memberikan perawatan medis kepada yang terluka. Ia melihat Willem di kejauhan, memimpin pasukannya dengan wajah penuh tekanan.

"Willem!" teriak Ayesha, berharap bisa berbicara dengannya meskipun di tengah kekacauan.

Willem melihat ke arah suara itu dan melihat Ayesha. Hatinya bergetar melihat wanita yang dicintainya berada di tengah medan pertempuran. Ia segera memerintahkan pasukannya untuk mundur sementara, mencoba memberikan waktu untuk berbicara.

"Ayesha, ini gila! Kau harus keluar dari sini!" teriak Willem saat mereka bertemu di tengah medan.

"Aku tidak bisa, Willem! Aku harus membantu mereka!" balas Ayesha dengan suara yang penuh tekad.

Willem merasa putus asa. "Aku tidak bisa melindungimu di sini, Ayesha. Tolong, dengarkan aku. Aku akan mencari cara untuk menghentikan pertempuran ini, tapi kau harus keluar sekarang!"

Ayesha menatap Willem dengan mata penuh air mata. "Aku tidak akan pergi. Kau tahu aku tidak bisa meninggalkan mereka."

Willem menghela napas panjang, merasakan beratnya situasi. "Baiklah, tapi berjanjilah kau akan berhati-hati. Aku akan mencoba menghentikan ini secepat mungkin."

Pertempuran terus berkecamuk, dan Willem berusaha keras untuk meminimalkan korban di kedua belah pihak. Ia memberikan perintah untuk menahan serangan langsung dan mencoba bernegosiasi dengan para pejuang lokal.

Setelah berjam-jam pertempuran, akhirnya ada jeda. Willem, dengan bantuan Ayesha, berhasil meyakinkan kedua belah pihak untuk berhenti sejenak dan berbicara.

•••

Di sebuah tempat yang lebih tenang, Willem dan Raden Mas Jaya duduk bersama untuk berunding. Ayesha berada di antara mereka, mencoba menengahi.

"Kita harus menemukan cara untuk menghentikan pertumpahan darah ini," kata Willem dengan tegas. "Aku tidak ingin ada korban lebih banyak lagi."

Raden Mas Jaya menatap Willem dengan mata penuh kebencian tetapi juga pemahaman. "Kami hanya ingin kebebasan, Willem. Kami tidak akan berhenti sampai Belanda pergi dari tanah kami."

Ayesha memandang keduanya dengan penuh harap. "Kita harus bekerja sama. Mungkin ada jalan tengah yang bisa kita temukan. Kita harus mencoba."

Willem mengangguk perlahan. "Aku akan berbicara dengan atasanku dan mencoba mencari solusi damai. Tapi aku butuh waktu dan dukungan kalian untuk memastikan ini berhasil."

Raden Mas Jaya mempertimbangkan kata-kata itu. "Baiklah. Kami akan memberikanmu waktu. Tapi ingat, Willem, ini adalah kesempatan terakhir."

Dengan itu, pertemuan mereka berakhir dengan harapan baru. Meski konflik belum sepenuhnya terselesaikan, ada secercah cahaya di ujung terowongan. Ayesha dan Willem tahu bahwa perjuangan mereka masih panjang, tetapi mereka tidak akan menyerah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kala Cinta dan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang