~•~
Tubuh Arven terhuyung ke belakang, namun ia berusaha untuk tetap berdiri tegak. Ia menatap tajam ke arah pria itu dan berkata dengan suara penuh kemarahan, “Lepaskan!”
Pria itu hanya tersenyum, dan cengkeramannya semakin erat pada pergelangan tangan Arven. "Kau tak pernah berubah, Arven," katanya dengan nada anehnya. “Aku hanya ingin bicara dengan mu.”
Arven mencoba melepaskan diri, tetapi pria itu terlalu kuat. "Aku tidak punya urusan denganmu," geram Arven. "Jadi, lebih baik kau pergi sebelum aku panggil polisi."
Pria itu tertawa pelan, melepaskan cengkeramannya. "Aku tak akan lama," katanya. "Aku hanya ingin memberimu ini.”
Pria itu mengeluarkan kotak kecil dari saku celananya dan mengulurkan tangannya untuk menyerahkan kotak kecil itu kepada Arven.
Matanya berwarna coklat melihat kotak kecil yang memiliki lapisan warna keemasan itu, Arven menatap pria di hadapannya dengan tanda tanya di wajahnya.
Pria itu yang paham, menjelaskan dengan tenang. “Aku tidak ada niat, aku hanya ingin memberimu ini karena kemarin aku teringat denganmu.“
“Tidak, terimakasih. Aku tidak membutuhkan sesuatu darimu,” tolak Arven cepat.
“Ambil atau…” ucap pria yang sengaja menggantung kalimatnya dan menatap Arven intens.
Arven mengerutkan keningnya, dia jelas tahu bahwa pria di hadapannya sedang mengancam. Dengan berat hati ia akhirnya mengambil kotak tersebut. Dia tidak punya pilihan selain menerima kotak itu, karena jelas dia diancam!
“Aku senang kau menerimanya,” ucap pria itu yang merasa puas.
Arven melirik sekilas pria tersebut, lalu memasukkan kotak itu ke dalam saku celananya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berbalik dan berjalan meninggalkan halaman rumahnya. Pria itu hanya bisa melihat punggung Arven yang menjauh, ia menghela nafas dan memutuskan kembali ke rumahnya.
Di sisi Arven, dia kini sudah berdiri di tepi jalan raya yang padat dengan kendaraan berlalu-lalang. Jalanan terlihat sibuk, dengan suara klakson yang saling bersahutan, menciptakan simfoni kekacauan perkotaan. Asap knalpot bercampur dengan udara yang hangat, menimbulkan bau khas kota yang sesak.
Arven menggigit bibirnya akibat rasa cemas, mengingat dia harus tepat waktu sampai ke kantor. Jam yang melingkar di tangannya menunjukkan pukul enam, lima puluh sembilan. Masih ada lima belas menit sebelum dia terlambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soul Behind the Clouds
RomanceArven tidak menyangka setelah kematiannya dia menempati raga seseorang yang di dalam imajinasi penulis. Dia tidak percaya, ia hanya berpikir mungkin dia sudah gila atau bermimpi. Dengan tangannya sendiri Arven menampar, dan hasilnya sakit. Setelah...