Bab 12: Gudang.

125 12 0
                                    

~•~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~•~

Kaelan berjalan tanpa arah di koridor lantai satu sekolah, selera makannya telah hilang karena kejadian di kantin. Dan saat ini ia tidak tahu harus menghabiskan jam istirahat digunakan untuk apa. Namun sepanjang jalan dia kagum dengan desain dari koridor sekolah ini karena mengambil konsep alam. 

Di mana sepanjang mata memandang Kaelan dapat melihat tanaman dan bunga yang berbeda serta dihiasi corak alam di dinding putih. Tetapi meskipun mengambil konsep alam sekolah ini tetap tidak menghilangkan identitas elit, yaitu masih memiliki kesan mewah di dalamnya. 

Lantai yang ia pijak berwarna hitam putih tampak seperti papan bidak catur. Kaelan mendongak, melihat langit-langit tinggi di mana lukisan bergaya yunani menghiasi dinding. Dan tidak ketinggalan pahatan patung para dewa dan dewi berjejer rapi sepanjang koridor. 

Setiap patung diukir dengan sangat detail, dari jubah-jubah mereka yang melambai seperti tertiup angin, hingga ekspresi agung di wajah mereka yang tampak hidup. Sudah cukup baginya mengagumi koridor seperti istana ini, sebaiknya ia kembali ke kelas. 

Di pertengahan jalan menuju tangga dia berpapasan dengan seorang pria yang berpakaian kaos lengan pendek berkerah, celana joger panjang abu-abu dipadukan sepatu sneakers brand terkenal. 

Pria itu yang melihat Kaelan segera menghampirinya. “Kaelan kebetulan kamu di sini, bapak boleh minta tolong sama kamu?”

Kaelan berhenti dan menatap pria itu dengan tanda tanya. ”Minta tolong apa, Pak?”

“Tolong kamu ambilkan bola basket di gudang, bisa? Tadi bapak lupa.” Kata pria itu.  

Kaelan berpikir waktu jam istirahat masih ada lima menit lagi, sepertinya tidak ada salahnya menerima permintaan tersebut. 

“Bisa, Pak.” jawab Kaelan setelah berpikir. 

“Bagus kalau begitu, bapak tunggu kamu di lapangan.” pamit pria itu sambil tersenyum dan menepuk bahu Kaelan. Setelahnya dia pergi meninggalkan Kaelan seorang diri. 

Kaelan yang melihat punggung pria itu menjauh kemudian melanjutkan langkah kaki menuju gudang. Dalam ingatan Kaelan asli ia pernah ke gudang sekali untuk mengambil peralatan olahraga. Jadi tidak perlu mencari lagi dia hanya perlu berjalan mengikuti ingatan pemilik asli. 

Berbelok di tikungan paling ujung dari koridor sampai dia menemukan pintu besi hitam tertutup rapat, dan papan nama tertulis “gudang”. Kaelan mendorong pintu tersebut dengan kekuatan penuh, jujur ini sangat susah dan berat. 

Dengan usaha Kaelan ia berhasil membuka pintu itu, pintu terbuka yang mengeluarkan suara deritan antara logam dan pergeseran material pada engsel pintu. Dia berjalan masuk dan membiarkan pintu terbuka, ketika di dalam gudang ia melihat rak-rak kayu kokoh berjejer rapi secara horizontal. 

Tidak hanya itu terlihat di langit-langit ada lampu gantung, memancarkan cahaya kuning terang seisi ruangan. Walaupun gudang, secara kasat mata ini bukan seperti gudang, melainkan seperti ruang penyimpanan harta karun.

Ada berbagai jenis lembaran kertas, buku-buku tampak seperti termakan usia, bahkan jika teliti akan melihat benda peninggalan sejarah, serta benda yang seharusnya tidak dimiliki di sekolah manapun kini ada depan mata. Tapi fokus Kaelan bukan itu, dia melewati setiap rak sampai ia berhenti tepat di depan rak yang penuh dengan peralatan olahraga. 

Kaelan melihat-lihat tapi tidak menemukan bola basket, lalu dia mendongak dan melihat benda yang dicari. Tetapi itu cukup tinggi, tinggi badanya saja tidak akan sampai. Tetapi ia menggelengkan kepala, dan berusaha untuk meraihnya. 

Berjinjit, belompat seperti katak, mengulurkan tangannya, semua itu sudah ia lakukan tapi sama sekali tidak mendapatkan hasil. 

“Sial, kenapa rak ini tinggi sekali,” keluhnya. Menghela napas, mendongak dan kali ini dengan perasaan yakin dia pasti bisa. Tapi sebelum itu, sebuah tangan terulur dari belakang dirinya dan dengan mudah mengambil bola basket.

Kaelan terkejut membuat dia refleks berbalik, begitu ia menghadap seseorang di hadapannya yang tak lain Alex. Keduanya saling menatap selama kurang dari tiga detik, Kaelan tersenyum canggung. 

Alex mengulurkan tangan untuk menyerahkan bola basket ke Kaelan, dia melirik antara bola dan Alex secara bergantian, lalu ia mengambil bola itu. 

“Terima kasih,” ucap Kaelan, kedua tangannya memegang bola itu erat.  

Tidak ada respon diberikan, Kaelan tersenyum dan berniat ingin pergi tapi sebelum itu suara pintu besi tiba-tiba tertutup dari dalam. Senyumannya perlahan pudar, tergantikan oleh perasaan panik. 

Kaelan cepat-cepat berlari ke arah pintu gudang namun setibanya dia di depan pintu, itu sudah benar-benar tertutup. Dia melangkah maju, memukul pintu dengan sekuat tenaga yang menimbulkan suara gema bising dalam ruangan. 

“Hei! Buka pintunya!!” Kaelan teriak dan tangannya masih menggedor pintu, mengakibatkan tangan dia menjadi kemerahan. 

Kaelan mundur selangkah dari pintu, berbalik dan menatap Alex yang dari tadi hanya berdiam diri tanpa ekspresi. Bahkan dia dengan gerakan tenang mengambil kursi kayu kemudian duduk. Kaelan tercengang apa yang terjadi, apa orang ini tidak panik? 

Masa bodoh, dia kembali berjalan maju di depan pintu, tepat di samping pintu ia tidak dapat menemukan lubang kunci atau celah. Benar-benar tertutup rapat, tanpa cahaya dari luar ada. Saat dirinya serius, bayangan jatuh di bawah dari atas. 

Alex memperhatikan leher putih Kaelan yang terekspos jelas, di sana ia melihat tanda yang sangat tidak asing baginya. Sesuatu hal yang mengingatkan pasa masa kecilnya. Tangab ia terulur hendak menyentuh tanda itu tapi Kaelan segera berbalik dan menatapnya.  

Tangannya dengan cepat kembali seperti semula. Kaelan melihat Alex merasa aneh dan tiba-tiba merasakan perasaan tidak enak. 

“Ada apa? Apa ada yang salah?” tanya Kaelan, merasa bingung. 

“Tidak ada,” jawab Alex. “Tunggu lima menit, seseorang akan membukakan pintu.” Dengan pandangan sulit diartikan kepada Kaelan dia kembali berjalan ke kursi.

“Huh? Maksudmu akan ada orang yang membukakan kita pintu? Bagaimana kau tahu itu akan terjadi?” Kaelan semakin bingung sekarang, apa yang dikatakan Alex. 

Namun tanpa jawaban diberikan kepada Kaelan, membuat dia hanya bisa menghela napas. Ia melihat sekeliling dan memutuskan untuk duduk di kursi di sampiing meja kayu yang dipenuhi kertas serta buku-buku. 

Lima menit berlalu, Alex mengeluarkan ponsel dari saku celana. Sementara Kaelan tidak memperhatikan Alex, dia terlalu sibuk memperhatikan ruangan sampai ia mendengar suara pintu besi perlahan terbuka. 

Kaelan bangun dari duduknya, perlahan memperhatikan pintu terbuka diikuti bersama lima orang pria berpakaian formal masuk ke dalam ruangan. Kelimanya tampak memiliki tubuh besar, otot-otot badan tercetak pada pakaian mereka. 

Kelima pria itu cepat-cepat berjalan ke arah Alex dan salah satu dari mereka berkata dengan perasaan cemas, “Tuan muda, apa kau baik-baik saja?”

“Tidak,” jawab Alex singkat, lalu melirik Kaelan yang hanya terdiam. 

Ya, kelimanya adalah bawahan dari keluarga Harrington, Alex mengirim pesan kepada mereka saat pintu sudah tertutup ia sudah mengantisipasi hal ini, kerana kejadian seperti ini sudah lebih dari dua kali dialami dan ia tahu pelakunya. 

Tidak lain anak laki-laki sepuluh tahun yang kini tengah menatapnya di ambang pintu, di samping bocah itu ada seorang wanita yang adalah ibunya sekaligus kepala sekolah Greenwood Academy.

-Bersambung.

Soul Behind the CloudsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang