~•~
Di bawah sorot cahaya bulan, seorang pemuda terbaring di atas kasur king size dengan selimut tebal menyelimuti tubuhnya. Perlahan dia membuka kelopak matanya, dan cahaya bulan memantul di mata coklat zamrudnya yang berkilau.
Dia menyibakkan selimut yang membungkus dirinya, dan hawa dingin langsung menembus baju tidur yang dikenakan. Perlahan ia menggeser tubuhnya untuk bersandar pada headboard kasur. Suara desis keluar dari bibirnya saat rasa pusing melanda. Pemuda itu merasa ada yang aneh pada tubuhnya, terasa berbeda.
Namun, perhatiannya teralihkan oleh pemandangan sekeliling; terlihat tirai putih yang menjuntai di sisi jendela, bingkai foto terpajang di dinding putih, meja dengan lampu kecil yang menyala di atasnya tersusun rapi di sudut ruangan, serta lemari kayu putih dengan pahatan burung terukir, nampak tidak jauh dari pemuda itu.
Tidak lama setelah dia melihat sekeliling dengan perasaan asing dan bertanya-tanya, di mana dia? Tetapi pertanyaan di pikirannya terputus ketika dia merasakan sakit di kepalanya. Rasa sakit yang tidak main-main membuat wajahnya mendadak pucat dan keringat mulai membasahi kening.
Ekspresi kesakitan tergambar jelas di wajahnya, matanya tiba-tiba merah, dan dia dapat merasakan perasaan mendadak gelisah sambil melihat sekeliling ruangan. Ia mencoba berteriak meminta bantuan tapi tenggorokannya terasa seperti tercekik.
Rasa sakit di kepalanya semakin tak tertahankan, membuatnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh dari tempat tidur. Tiba-tiba, ruangan di sekelilingnya mulai berputar dan berkedip-kedip dengan cahaya yang menyilaukan, membuat dia merasa mual.
Sensasi panas menjalar di tubuhnya, pandangannya menjadi rabun. Tanpa peringatan, dia merasa terhisap ke dalam pusaran cahaya. Sebelum benar-benar kehilangan kesadaran, ia mendengar samar-samar suara teriakan seseorang yang mendekat. Pemuda itu kehilangan kesadaran dalam sekejap mata.
“Kaelan!!” Seorang wanita berteriak panik saat melihat anaknya pingsan.
Dalam kepanikan dan kekhawatiran, wanita itu tetap berusaha tenang dan bergegas dia menghubungi tim medis. Ia memeluk putranya yang tak sadarkan diri dengan rasa cemas dan tanpa sadar air mata mulai mengalir membasahi pipinya.
Tim medis tepat pada waktunya dan pemuda itu segera dilarikan ke rumah sakit. Saat tiba di rumah sakit, wanita itu menunggu di depan pintu ruang gawat darurat dengan perasaan cemas dan khawatir. Orang-orang yang lewat merasa iba melihatnya, dengan tampilan sederhana mengenakan celana model sailor berwarna abu-abu polos, dan baju putih polos yang tertutup oleh mentel coklat panjang.
Wanita itu termenung, memikirkan kenapa anaknya pingsan. Sore itu, ia melihat putranya pulang dengan keadaan lesu membuatnya tak tahan dan segera menyuruh untuk istirahat. Dia yang merasa anaknya capek berniat membuatkan makanan kesukaan untuk menghibur.
Malam hari, ia selesai membuat hidangan dan berniat mengantar makanan tersebut kepada anaknya, tapi siapa sangka begitu dia masuk ke dalam kamar, anaknya sudah tergeletak di lantai dan tak sadarkan diri. Wanita itu terdiam tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Di koridor rumah sakit yang sepi, suara langkah kaki menggema membuat dia mendongak. Seorang laki-laki dengan postur badanya tegap berjalan mendekat ke arah wanita itu. Laki-laki tersebut mengenakan baju putih polos dan celana chinos panjang berwarna abu-abu, disertai sepatu classic sneakers.
Saat laki-laki itu sudah berdiri di hadapan seorang dikenalnya dia menyapa dengan suara yang ramah, “Bibi.”
Wanita itu tertegun sejenak sebelum kembali memulihkan kesadarannya dengan cepat dan menatapnya sambil tersenyum, “Nak Alex.”
Seorang laki-laki yang dipanggil Alex atau Alexander Harrington itu mengangguk sebagai balasan, dan kemudian dia berkata, “Ayah tidak bisa datang, karena masih ada hal yang harus diurus. ”Suaranya mengalun tenang di koridor rumah sakit.
Wanita itu tersenyum, “Oh … tidak apa-apa, tadi bibi hanya panik dan menelepon ayahmu.” ucapnya yang merasa canggung.
Dia ingat jelas saat sebelum tim medis datang, ia dengan panik menelepon ayah Alexander, atau bisa dikatakan sebagai sang kekasih.
Alex menatap seseorang yang akan menjadi ibu tirinya di masa depan. Dengan sifatnya yang acuh tak acuh, tidak membenci atau tidak suka, karena menurut dia selama ayahnya bahagia, maka ia akan ikut senang.
Dia melihat ke arah pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat. Ia masih ingat penampilan bocah itu saat di sekolah, Alex berpikir sesaat sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke arah wanita itu.
Seakan mengerti, wanita kemudian menjelaskan, dari sejak anaknya pulang dan sampai tim medis tiba. Sementara itu Alex mendengarkan penjelasan tersebut sampai selesai, dan ia lalu mengangguk sebagai tanda mengerti.
Saat wanita itu selesai bicara tidak ada lagi percakapan di antara keduanya. Keheningan koridor rumah sakit menyelimuti mereka.
“Nak Alex lebih baik duduk dulu tidak baik berdiri terus,” celetuk wanita itu yang terus melihat Alex berdiri yang membuatnya merasa tak enak.
Alex yang mendengarnya mengangguk dan berjalan ke arah kursi besi hitam yang biasa digunakan untuk menunggu. Namun, tidak lama setelah Alex duduk suara pintu ruang gawat darurat terbuka. Wanita itu melihat pintu yang terbuka secara perlahan sebelum seorang pria berjas putih keluar dari dalam ruangan.
Pria nampak sudah berumur dan terlihat kerutan di wajahnya, walaupun begitu dia nampak sehat, dengan punggung yang tegap. Ketika pintu sudah tertutup kembali, ia melihat seorang wanita yang ditemui tadi dan beralih melihat Alex.
Ia terkejut ketika melihat Alex, namun dengan cepat mengubah raut wajahnya dan menyapa Alex dengan senyuman dan hormat,“tuan muda.“
Alex berdiri dan mengangguk. “Bagaimana keadaannya?” tanyanya.
“Kondisinya sudah cukup stabil, dia hanya mengalami demam tinggi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan cukup dirawat untuk pemulihan agar pasien cepat sembuh,“ kata pria itu, atau biasa dipanggil Dokter Zenon.
Dokter Zenon adalah seorang dokter pribadi keluarga Alexander, dia sudah lama mengabdikan diri pada keluarga bermarga Harrington itu sejak dua puluh tahun lamanya.
Alex mengangguk sebagai jawabannya, dan mengalihkan perhatiannya ke arah wanita itu. Dia yang merasa diperhatikan segera tersadar dari lamunan.
“Oh … kalau begitu terimakasih dok, tapi apa saya boleh masuk ke dalam?” Wanita itu bertanya kepada Dokter Zenon.
“Silahkan,” jawab Dokter Zenon dengan anggukan dan senyuman yang ramah.
Setelah diberi izin wanita segera masuk ke dalam ruangan, tapi sebelum dia benar-benar masuk ia menoleh ke belakang dan melihat Alex.
“Nak Alex apa juga ingin masuk?” tanyanya.
Alex menggeleng kepalanya dan kemudian menjawab, ”Tidak, bibi saja.”
“Begitu, baiklah tidak apa-apa,” ujar wanita itu yang mengerti perkataan Alex. Dan setelahnya ia segera masuk ke dalam ruangan.
Setelah pintu tersebut tertutup, Dokter Zenon memandang Alex dan bertanya,” tuan muda apa masih ada yang ingin ditanyakan?”
“Tidak ada,” jawab Alex sambil mengeluarkan ponsel genggamnya dari saku celana.
“Jika tuan muda tidak ada yang ingin ditanyakan, kalau begitu saya izin pamit,“ kata Dokter Zenon, dan setelahnya dia meninggalkan Alex seorang diri.
Setelah kepergian Dokter Zenon, Alex melihat sekeliling koridor dan setelahnya dia berjalan meninggalkan koridor rumah sakit.
-Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soul Behind the Clouds
Любовные романыArven tidak menyangka setelah kematiannya dia menempati raga seseorang yang di dalam imajinasi penulis. Dia tidak percaya, ia hanya berpikir mungkin dia sudah gila atau bermimpi. Dengan tangannya sendiri Arven menampar, dan hasilnya sakit. Setelah...