Bab 4: Duka.

198 23 0
                                    

~•~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~•~

Viola tiba di rumah sakit St. Mary dengan napas tersengal-sengal. Ia segera menuju ke arah para petugas polisi yang sedang berdiri di depan meja informasi, dan dengan suara yang hampir terisak dia menanyakan tentang kondisi kakaknya. 

“Di mana Arven? Di mana Kakak saya?” tanya Viola kepada para petugas polisi dan beberapa perawat yang ada. 

Suaranya yang memilukan membuat salah satu petugas polisi segera memberi arahan kepada seorang perawat di sana.

Seorang perawat dengan wajah prihatin mengarahkan Viola ke ruang gawat darurat. Di sana, ia melihat seorang dokter dan beberapa perawat yang sedang sibuk di sekitar tempat tidur Arven, di mana Arven terbaring tak bergerak. 

Viola melihat semua itu dari balik kaca transparan yang memisahkannya. Detak jantung Arven terekam lemah di monitor, dan tubuhnya dipenuhi luka. Dia yang menyaksikan kakaknya terbaring lemah tanpa kesadaran merasa dunia seakan runtuh. 

Viola ingin masuk ke dalam ruangan, namun perawat itu menghentikannya dan menjelaskan untuk saat ini dia tidak boleh masuk. Ia yang sadar dan mengerti ucapan dari perawat hanya bisa mengangguk patuh. 

Dia berjalan mendekati kaca transparan itu dan menyentuhnya dengan telapak tangan. Air mata mulai mengalir di pipi Viola, “Kumohon, Kakak bertahanlah…“

Detik demi detik terasa begitu lama, dan harapan semakin tipis. Tak lama kemudian, alarm monitor berbunyi nyaring, menandakan jantung Arven berhenti berdetak. Tim medis dengan cepat berusaha melakukan resusitasi kardiopulmoner, tetapi setelah beberapa menit, dokter itu menghela napas berat dan menghentikan upaya mereka. 

Viola terjatuh ke lantai, menangis sejadi-jadinya. Dunia seakan berhenti berputar baginya. Sementara dokter yang sudah berdiri di hadapan Viola merasa prihatin namun sebagai dokter dia tetap menjelaskan.

"Maafkan kami, kami sudah melakukan yang terbaik. Tapi kondisinya sangat kritis. Ada pendarahan internal yang parah, dan kami tidak bisa menstabilkannya. Dia sudah pergi. Sekali lagi, maafkan kami," jelas dokter dengan nada penuh penyesalan.

Viola tidak bergeming dengan penjelasan dokter berikan, dia hanya terduduk di lantai, gemetar, tidak percaya. 

Viola yang tenggelam dalam kesedihan, tiba-tiba mendongak ketika dia melihat sepasang sepatu kulit hitam di hadapannya. Perlahan, Viola mengangkat pandangannya, dia melihat celana panjang hitam yang rapi, diikuti dengan jas yang dikenakan dengan sempurna. Ketika matanya akhirnya mencapai wajah pria itu, dia terkejut. Viola tersentak ketika menatap orang yang tak asing baginya. 

Soul Behind the CloudsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang