Bab 6: Edward Harrington

235 23 0
                                    

~•~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


~•~

Suara burung berkicau ria di langit biru ditemani sinar mentari yang hangat. Dan terlihat seorang wanita dengan mengenakan mantel coklat panjang dan rambut hitamnya tergerai ke belakang tengah berjalan di koridor rumah sakit. 

Cahaya lembut matahari memperlihatkan fitur wajahnya yang tampak anggun dan tenang. Walaupun dia tampak sudah berumur namun dengan bibir yang dihiasi warna lipstik merah dan bulu mata yang lentik menambahkan kesan kecantikan begitu dalam, membuatnya tampak begitu awet muda.

Wanita itu adalah Grace Carter atau yang kita kenal sebagai ibu kandung dari Kaelan. Grace saat ini tengah berjalan menuju kantin rumah sakit untuk sarapan, karena sejak malam dia belum makan ia hanya bisa menjaga putranya semalaman.

Arah dari ruang Kaelan dirawat dan kantin rumah sakit tidak terlalu jauh, jadi ketika Grace sudah sudah sampai di kantin dia langsung memesan bubur ayam dan air mineral. Selama menunggu pesanannya disiapkan ia melihat sekeliling kantin, dapat terlihat meja dan kursi tersusun rapi dan bersih, membuat suasana kantin tampak hidup. 

Beberapa menit kemudian, pesanan Grace siap dan dia langsung membayar dengan uang tunai. Setelahnya ia berjalan keluar dari kantin untuk kembali ke ruang inap rawat anaknya. Saat tengah berjalan di koridor langkahnya tiba-tiba terhenti ketika seseorang memanggil namanya. 

Sontak dia menoleh ke arah belakang dan begitu berbalik ia melihat seorang pria mengenakan kemeja putih lengan panjang dan jas hitam. Pria itu berjalan mendekat ke arah Grace. 

“Tuan Edward,” sapa Grace kepada pria itu.

Pria yang disapa Edward atau yang biasa dikenal sebagai kepala keluarga Harrington itu menghilangkan senyumannya ketika Grace mengucapkan kata 'Tuan'. 

“Sudah berapa kali aku bilang kau tidak perlu memanggilku tuan, cukup panggil aku Edward dan apa kau lupa kita akan akan menikah,” ujar Edward, terdengar ringan, tetapi ada nada lembut di suaranya. 

Grace menghela napas dan menatap Edward, “baiklah Edward.”

Edward tersenyum dan mengangguk puas. Dia lalu melirik kantong plastik putih yang berada di tangan Grace. 

“Dari kantin?” tanya Edward, mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.

Grace mengangguk dan kemudian menjawab, “Iya.“

Edward mengerti, dia lalu bertanya kembali, “Ouh … lalu bagaimana dengan keadaan Kaelan?” 

“Kaelan sudah lumayan membaik dan tinggal menunggu dia sadarkan diri,” jawab Grace, “mau menjenguk?”

Edward mengangguk lagi. Dan setelah percakapan di antara keduanya berakhir Grace memimpin jalan ke arah ruang inap Kaelan. Ketika mereka berdua sudah sampai di depan ruang inap, Grace terlebih dahulu membukakan pintu dan barulah diikuti Edward.

Di dalam ruangan, Grace menaruh makanannya di atas meja kecil depan sofa. Dia kemudian melirik anaknya yang terbaring di ranjang rumah sakit yang tak sadarkan diri, namun ia bisa melihat jelas anaknya tak sadarkan diri tiba-tiba membuka kelopak matanya secara perlahan.

Grace segera menekan tombol yang berada di samping ranjang rumah sakit. Dan bersamaan dengan itu perasaannya menjadi campur aduk antara–lega dan cemas. Edward yang sedar dengan perasaan Grace, dia memeluk dan berusaha menenangkannya. 

Di sisi lain, pemuda itu perlahan mulai tersadar, namun pandangannya masih rabun. Samar-samar dia dapat melihat bayangan seseorang. Setelah beberapa detik, penglihatannya kembali normal. Ia melihat sekeliling dengan bingung dan bertanya-tanya. 

“Anakku akhirnya kau bangun!” seru Grace, penuh kebahagiaan di hatinya ketika anaknya tak sadarkan diri selama semalaman. Dia segera memeluk Kaelan dengan dramatis dan air mata yang mulai membasahi pipinya.

Seorang pemuda yang biasa dipanggil Kaelan itu masih bisa merasakan sakit di kepalanya tapi tidak separah yang ia rasakan pertama kali. Setelah pelukan dari Grace terlepas, Kaelan lalu menatap kedua orang itu dengan heran, dan barulah dia ingat mereka berdua. 

Di dalam hati dan pikirannya, sesuatu terasa janggal. Nama itu—Kaelan—terasa asing namun kini begitu dekat, seperti kenangan yang tak sepenuhnya miliknya. Kesadaran mulai mengalir kembali, namun bukan sebagai Kaelan, melainkan sebagai Arven, jiwa yang kini terperangkap dalam tubuh ini.

Dalam memori ingatannya yang baru, wanita yang baru saja memeluknya adalah ibu kandung dari Kaelan. Dia menatap Grace untuk sesaat dan mengalihkan sudut garis pandangnya ketika mendengar suara pintu yang terbuka. 

Dokter Zenon dengan mengenakan jas putihnya memasuki ruangan. Dan begitu dia masuk, ia dapat melihat Grace dan Edward. Dokter Zenon yang melihat Edward segera menyapa dengan hormat. 

“Tuan,” sapa Dokter Zenon kepada Edward. 

Edward mengangguk. Setelah sapaan singkat itu, Dokter Zenon berjalan mendekat ke arah Kaelan yang terbaring di ranjang. Dengan hati-hati ia mulai memeriksa tanda-tanda vital pasien. Dia mengeluarkan stetoskop dan memeriksa detak jantung serta pernapasan Kaelan, lalu mengukur tekanan darahnya. Setelah itu, Dokter Zenon menyentuh pergelangan
tangan Kaelan untuk mengecek denyut nadinya. 

Dokter Zenon cukup teliti dalam memeriksa keadaan Kaelan. 

“Bagaimana keadaannya?” tanya Grace, kepada Dokter Zenon. 

“Saat ini, keadaannya sudah lebih baik, dan demamnya juga sudah turun. Jadi kita tinggal menunggu dia pulih sepenuhnya. Tapi saya sarankan tetap memonitor kondisinya dengan seksama dan memastikan dia tak terlalu banyak bergerak dulu.” kata Dokter Zenon, sambil mengakhiri pemeriksaannya dengan senyuman menenangkan. 

Grace menghela napas lega, sementara Edward mengangguk pelan. 

Sementara Kaelan tidak memperhatikan Edward, karena dalam pikirannya sekarang dia merekam sekilas memori Kaelan asli. Grace yang melihat anaknya diam saja menepuk pundak.

“Nak, ada apa?” tanya Grace dengan suara yang terdengar lembut namun penuh perhatian.

Kaelan tersentak tapi dengan cepat dia merubah raut wajahnya, dan ia kemudian menatap Grace lalu bertanya, “Bu, apa aku bisa pergi ke toilet? Aku ingin buang air kecil.” 

Grace yang mendengar mengalihkan pandangannya ke Dokter Zenon meminta izin dan persetujuan. Dokter Zenon juga menatapnya dan cepat-cepat mengangguk sebagai tanda diperbolehkan. Setelah anggukan dari Dokter Zenon, ketiga orang itu membantu bangun dari ranjang rumah sakit.

Toilet itu berada di dalam ruang inap Kaelan jadi jarak antara ranjang rumah sakit tidak jauh, dan juga tak perlu membutuhkan usaha lebih untuk berjalan keluar ruangan. Ketika di depan pintu toilet, Grace bertanya, “Nak, apa perlu ditemani?”

“Tidak usah aku bisa sendiri,” Jawab Kaelan cepat. 

Edward menatap Kaelan dan menanyakan hal yang sama, “Kaelan, apa perlu paman temani,“

Kaelan merasa tiba-tiba merinding setelah mendengar perkataan Edward dan kemudian dia menjawab dengan cepat disertai senyuman, “tidak terima kasih Paman tapi aku bisa sendiri.”

Grace dan Edward saling memandang, keduanya mengangguk, dan menghela nafas. Setelah keduanya setuju, Kaelan segera masuk ke dalam toilet dan menutup pintu. 

Di dalam toilet, Kaelan (Arven) menatap cermin di hadapannya. Dia dapat melihat jelas seorang laki-laki mengenakan gaun rumah sakit, yang adalah ia sendiri. Memandang wajahnya dalam kekosongan sebelum dia menampar wajah dengan sangat keras. 

Sakit, itulah yang pertama kali dia rasakan. Ia tidak bisa percaya ini, kenapa? Apakah ini mimpi? Tetapi sepertinya tidak, karena semua hal yang sekarang dapat dirasakan adalah nyata. Lalu apa yang harus dilakukan sekarang? 

-Bersambung.






Soul Behind the CloudsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang