Pagi itu, sinar mentari menyapa dengan penuh semangat, mencoba keras untuk menyadarkan aku dari tidur nyenyakku. Namun, aku lebih memilih tetap larut dalam alam mimpi yang penuh petualangan.
Sementara itu, di sisi lain kota, Langit menunggu dengan sabar di luar rumahku, ponselnya di telinga, sepenuhnya terlibat dalam mendengarkan lagu nada dering yang tak terjawab.
"ahhh, kebiasaan orang ini," gumam Langit kepada dirinya sendiri, sambil menatap pintu rumah dengan kegelisahan penuh.
Tak lama kemudian, pintu itu terbuka dengan pelan, dan aku muncul dengan langkah gontai, wajahku masih diselimuti oleh kantuk.
"Eeh, pagi-pagi sudah ada tamu, ya?" sapa aku sambil mengucek-ucek mata, mencoba untuk menangkap sosok yang berdiri di luar rumahku.
Langit menjawab dengan nada yang sedikit ditekan, "Selamat pagi, tuan putri! Aku telah berdiri di sini seperti pahlawan di film aksi, mencoba membebaskanmu dari tidurmu."
Aku tertawa kecil, "gantengnya pacarku, sudah lama nunggu sayang?"
"Sepertinya teleponku terus berdering, coba buat nyadarin kamu," kata Langit, mengacungkan ponselnya yang masih di telinga.
Aku menggelengkan kepalaku, "Ah, maafin aku, matahari pagi kurang menarik menurutku."
Langit tertawa, "Tidak masalah, tapi asal kamu tahu itu jelek buat kesehatanmu bego."
Aku membalas dengan senyum, "Sekali-kali gapapa dong."
Langit menggelengkan kepala dan merasa kesal, "Sekali apaan sayanggg?"
Aku membalas dengan senyumku. Meskipun masih terasa kantuk yang berat, tetapi kehadiran Langit di sampingku membuat hatiku merasa hangat dan aman.
"Cepat cuci muka, muka bantal," ajak Langit, menunjukkan ketegasan dalam suaranya. "Hari ini kita ke rumah sakit buat ambil hasil labmu, aku pengen mastiin kalo kamu baik-baik aja."
Aku mengangguk setuju. "Oke, 1 menit," kataku. "Atau…… 2 menit."
Langit dan aku berjalan bersama menuju rumah sakit. Meskipun masih ada ketidakpastian di dalam hatiku tentang apa yang mungkin terjadi, tetapi kehadiran Langit di sampingku memberiku kekuatan dan keyakinan bahwa aku tidak sendirian dalam menghadapi segala sesuatu.
Suasana kami berdua terasa tegang, tapi kehadiran Langit memberiku rasa keamanan dan dukungan. Kami berjalan bersama dengan langkah yang penuh harap, saling membagi perasaan dan ketidakpastian yang kami rasakan. Dalam keheningan yang sesekali terputus oleh suara langkah kaki kami, aku merasakan kehangatan dari kebersamaan kami.
"Terima kasih, ya," ucapku, suaraku hampir tercekat oleh emosi.
Langit tersenyum lembut. "Buat apa sayang?"
Aku menjawab dengan senyum manis yang aku punya. “Buat waktu kamu yang selalu ada buat aku.”
Langit menarik bahuku lalu merangkulku “Kamu tahu kan kalau aku sayang banget sama kamu.”
Tidak ada balasan kata yang keluar dariku, aku hanya tau kalau aku merasa beruntung bisa berdampingan dengan Langit.
Setiba di rumah sakit dan masuk ke dalam, dengan tangan yang erat saling berpegangan. Meskipun kekhawatiran masih mewarnai pikiran, aku merasa lega karena tidak perlu melaluinya sendirian. Langit bersamaku, memberiku kekuatan yang tak terhingga.
Langkah-langkah kami di lorong rumah sakit terdengar mengikuti ritme hati yang berdebar. Rutinitas mingguan ini telah menjadi bagian dari hidupku sejak sesi cuci darahku dimulai. Meskipun biasa, hari ini terasa berbeda. Kami memiliki tujuan yang lebih jelas: mengambil data terbaru dan berdiskusi dengan dokter mengenai perkembangan kondisiku.
Tangan kami yang masih bersatu membawa kami menuju ruangan lab cuci darah. Sambutan hangat dari perawat membuat suasana sedikit lebih tenang ketika kami tiba di area pendaftaran.
"Sudah biasa, ya?" tanya Langit sambil tersenyum menghibur.
Aku mengangguk, "Iya, tapi hari ini rasa gugupnya sedikit lebih besar. Aku penasaran dengan hasil tes terbaru."
Setelah pendaftaran, kami menunggu giliranku dipanggil untuk sesi cuci darah. Di ruang tunggu itu, kami melihat lukisan-lukisan menenangkan yang menghiasi dinding, mencoba mengalihkan pikiran dari ketegangan.
Nama ku dipanggil akhirnya, dan kami berdua masuk ke dalam ruangan tempat sesi cuci darah berlangsung. Langit duduk di sampingku, senyumnya memberi kehangatan di tengah ketegangan.
Saat proses cuci darah berlangsung, aku memanfaatkan waktu untuk berbincang dengan perawat yang menangani. Aku bertanya tentang hasil tes terbaru dan meminta salinan data untuk dibawa ke dokter.
Setelah selesai, Langit dan aku melangkah ke ruang dokter. Duduk berdampingan, kami menunggu giliran dipanggil.
Akhirnya, dokter memanggil namaku. Kami berdua memasuki ruangan dokter, duduk di hadapan beliau yang ramah dan penuh perhatian.
"Dokter, bagaimana perkembanganku?" tanyaku dengan suara yang mencerminkan rasa cemas namun tetap penuh harapan.
Dokter tersenyum lembut. "Mari kita lihat hasil tes terbarumu."
Dokter menjelaskan hasil tes dengan detail, memberikan gambaran menyeluruh tentang kondisiku. Diskusi tentang perubahan perawatan dan rencana ke depannya pun dilakukan.
Tatapanku campur aduk antara harapan dan kekhawatiran, tapi kehadiran Langit di sampingku memberikan kekuatan ekstra.
"Dokter, apa langkah selanjutnya?" tanyaku dengan suara gemetar.
Dokter mencoba memberikan penjelasan dengan ramah, "Kita perlu menyesuaikan pola makan dan rutinitas perawatanmu. Ada beberapa penyesuaian dosis dan tes tambahan yang perlu dilakukan."
Langit menyentuh lenganku memberikan dukungan, "Kita akan melalui ini bersama, Zephyra. Dokter dan tim medis di sini untuk membantu."
Senyum syukur terukir di wajahku, "Terima kasih, Langit. Dan terima kasih, Dokter, atas bantuannya dan perhatiannya."
Dokter tersenyum, "Tidak perlu terima kasih. Kami ada di sini untuk membantu kesehatanmu yang terbaik. Jika ada pertanyaan lebih lanjut, jangan ragu untuk menghubungi kami."
Kami meninggalkan ruangan dokter dengan harapan baru. Langit memandangku dengan tulus, "Kita bisa melaluinya bersama. Kamu tidak sendiri dalam perjuangan ini."
Aku tersenyum dengan tatapan nakal. “Lebay banget." sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Langit terkejut sambil tertawa. "Gila, apa yang lebay? Disini aku yang selalu bicara dengan kepala dingin dan bijak"
"Oh, tentu saja, Mr. Bijaksana. Tapi itu emang lebay. Karena tanpa bicarapun aku tau kamu yang selalu ada."
"Hei! Walaupun benar adanya tapi itu pede banget sumpah."
Itu membuatku tertawa semakin keras. "Itu adalah bakat alami!"
Aku dan Langit tertawa bersama-sama, menikmati momen kecil bercandaan di tengah-tengah situasi yang serius. Kami melanjutkan perjalanan kami dengan semangat dan ceria, tahu bahwa bahkan di tengah-tengah tantangan, kami memiliki satu sama lain untuk membuatnya lebih ringan. Dukungan adalah layar yang membawa kita melewati badai, dan cinta adalah kompas yang selalu menuntun kita pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAYAPADA KASMARAN
Short StoryHalo, namaku Zephyra, dan senang sekali bisa bertemu denganmu di sini! Aku adalah orang yang selalu mencari makna dan keindahan dalam setiap momen kehidupan. Bagiku, hidup adalah tentang perjalanan belajar yang tak pernah berhenti. Aku percaya bahwa...