Aku datang ke rumah Qairen, suasana seolah-olah terasa bersemangat. Aku mulai memasuki ruang rias Qairen dengan senyum lebar di wajah, sementara Qairen sibuk duduk di kursi depan meja rias, sambil memoles lipstik dengan hati-hati.
“Woi, udah siap belum lo? Ayo, kita udah terlambat 15 menit nih, belum lagi ke itung waktu di jalan."
Qairen mengangguk tanpa menatap, fokus pada aktivitasnya. "Iya, sebentar lagi. lo tahu, gue masih belum mengerti bagaimana lo bisa begitu yakin dengan hubungan lo dan Langit."
Aku terdiam sejenak, merasakan ketegangan yang muncul di udara. Namun, dia memilih untuk tetap tenang.
"Qai? Gue tahu lo mungkin tidak sepenuhnya paham. Tapi Langit dan gue, kita saling mendukung. Dia selalu ada buat gue, memberi dukungan atau dia memberi gue cinta yang sebelumnya belum pernah gue rasain."
Qairen menatap dengan tatapan tajam, mencoba mencari jawaban yang memuaskan "Tapi lo yakin, Zephyra? Lo gak khawatir apa bahwa ketergantungan lo ke dia bisa buat lo kehilangan jati diri lo sendiri?"
Aku tersenyum, mencoba menjelaskan dengan lembut. "Gue percaya bahwa cinta sejati adalah tentang siapa yang saling mendukung dan tumbuh bersama. Langit bukan hanya pasangan hidup gue, tapi juga sahabat terbaik yang gue punya setelah lo. Kita melewati cobaan dan merayakan kebahagiaan. Bagi gue, itu adalah anugerah yang luar biasa, Qai." dengan ketegasan yang penuh keyakinan, meskipun sedikit terkejut oleh pernyataan tajamnya. "Gue paham sama keraguan lo, Qai. Tapi percayalah, hubungan kita bukanlah sekadar basa-basi. Langit dan gue saling sayang. Kita juga saling mendukung dalam segala hal."
Ekspresi Qairen terlihat ragu "Tapi lo juga kan tahu sendiri, Zephyra. Langit adalah pria yang banyak diidolakan. Apa lo gak takut kalau dia akan tergoda dengan godaan di kampusnya yang jelas gak satu kampus sama lo, kampus lo dan kampus Langit itu beda!"
Aku sedikit mencerna pertanyaan Qairen dengan hati-hati sebelum menjawab. "Gue gak pernah meragukan kesetiaan Langit, Qairen. Gue percaya kalau kita saling sayang.”
Meskipun Qairen masih tampak ragu, tetapi aku mencoba untuk menghadapinya dengan penuh keyakinan, berharap dapat meyakinkan bahwa hubunganku dengan Langit adalah sesuatu yang nyata dan berharga.
Qairen masih terdiam. Namun, keraguannya masih terasa kuat "Mungkin lo benar, Zephyra. Tapi lo harus tahu, dunia bisa sangat kejam. Gue hanya gak mau liat lo terluka."
"Gue menghargai perhatian lo, Qairen. Tapi gue juga percaya pada kekuatan cinta dan kesetiaan. Langit dan gue, kita telah melewati begitu banyak hal sama-sama. Kalau ada masalah, kita selalu mengatasinya bersama-sama”
Qairen mengangguk perlahan, ekspresinya sedikit lebih lunak.
Aku mengalihkan perbincangan dengan nada ceria, mencoba memecah keheningan yang tercipta. "Eh, Qai, ayo kita ke kampus! Sudah telat nih, kena marah dosen nih pasti."
Qairen mengangguk setuju, tersenyum pelan. "Iya, ayo berangkat."
Kami berdua bergegas menuju mobil, dengan semangat yang kembali memenuhi ruang meskipun menyisakan keraguan dari percakapan tadi.
Di dalam mobil, saat dalam perjalanan ke kampus, ponselku berdering dengan lembut. Aku melihat layar ponsel dan senyum tiba-tiba terukir di wajah ketika melihat panggilan masuk dari Langit. "Halo, Sayang! Ya, aku dan Qairen sedang dalam perjalanan ke kampus. Tidak, belum makan. Kita akan mampir ke kafe sepulang dari kampus."
Sementara itu, Qairen duduk di sampingku dengan ekspresi yang agak tegang, seperti tidak menyukai gangguan dari percakapan aku dan Langit.
Setelah beberapa saat, panggilan berakhir dan aku kembali fokus ke arah Qairen. Meskipun Qairen tidak mengatakan sepatah kata pun, ekspresinya sendiri sudah cukup jelas menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap percakapan itu. Tapi aku memilih untuk tidak memperdulikan ekspresi tersebut, lebih memilih untuk kembali merasa bahagia karena panggilan dari Langit.
Setelah memasuki ruang kelas, aku dan Qairen duduk di kursi masing-masing, siap untuk mengikuti pelajaran dengan penuh. Di tengah keramaian kelas, suasana berubah secara mendadak gelap, aku tidak bisa melihat apa-apa yang ada hanya ruangan gelap.
Kegelapan yang tiba-tiba menyelimuti ruangan membuatku merasa kebingungan dan tegang. Suara-suara gemuruh di sekitar membuat hatiku berdegup kencang, dan dalam keadaan panik, tubuhku tiba-tiba terasa lemas. Aku merasakan pusing yang begitu hebat sehingga aku kesulitan untuk tetap berdiri tegak di tempatku.
Pandanganku mulai kabur dan tubuhku terasa lemas. Setetes keringat dingin menetes dari pelipisku saat aku berjuang untuk tetap sadar. Rasanya seolah-olah ruangan itu berputar cepat dan aku tidak bisa lagi membedakan antara kenyataan dan mimpiku yang semakin memudar.
Aku merasakan kaki-kakiku lemah, dan dengan perlahan-lahan, aku jatuh ke arah depan. Semua suara di sekitarku menghilang, dan kegelapan merangkulku dalam pelukannya yang dingin.
Setelah itu, aku tidak lagi sadar akan apa yang terjadi di sekitarku. Aku merasa seperti terlelap dalam tidur yang tanpa mimpi, tenggelam dalam kegelapan tanpa akhir.
Ketika aku akhirnya kembali ke kesadaran, aku mendapati diriku terbaring di tempat tidur rumah sakit. Cahaya lampu yang redup memenuhi ruangan, dan aroma antiseptik menyengat hidungku. Aku merasakan kebingungan dan kelemahan melanda tubuhku saat aku mencoba untuk duduk.
"Akhirnya kau sadar," kata seorang perawat yang berada di samping tempat tidurku.
Aku menatapnya dengan tatapan kosong, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum aku kehilangan kesadaran. Namun, ingatanku begitu kabur dan terputus-putus.
Berbagai pertanyaan mulai melintas dalam pikiranku. Berapa lama aku tidak sadarkan diri? Apa penyebabnya? Dan bagaimana kondisiku sekarang?
Perawat itu memberiku penjelasan singkat tentang situasi saat ini. Aku sudah dirawat di rumah sakit selama satu minggu karena kelelahan yang ekstrem dan kehilangan kesadaran tiba-tiba. Namun, penyebab pastinya masih belum jelas.
Sementara aku mencoba untuk memproses semua informasi itu, aku merasa lega bahwa aku masih hidup dan sedang mendapat perawatan. Namun, pikiranku tetap dipenuhi dengan kebingungan dan kekhawatiran tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya.
Aku terkejut ketika pintu kamar rawatku terbuka, dan Qairen masuk dengan langkah-hatinya yang tenang. Tatapannya penuh perhatian saat dia mendekati tempat tidurku.
"Qairen..." ucapku dengan suara lemah, merasa lega melihatnya di sana.
Dia tersenyum lembut, lalu duduk di sampingku. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya dengan suara hangat.
Aku menceritakan padanya tentang perasaan kebingungan dan kelemahan yang melanda tubuhku setelah aku kehilangan kesadaran. Qairen mendengarkan dengan penuh perhatian, dan wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang dalam.
"Aku khawatir padamu," kata Qairen dengan nada lembut. "Aku sangat senang melihatmu sadar."
Aku mengangguk, merasakan kehangatan dari kehadiran Qairen di sisiku. Meskipun aku masih penuh dengan pertanyaan dan ketidakpastian tentang apa yang terjadi, kehadiran Qairen membuatku merasa sedikit lebih tenang.
"Dokter bilang aku butuh istirahat," aku memberitahunya.
Qairen mengangguk setuju. "Ya, kesehatanmu yang terpenting. Aku akan selalu ada di sini untukmu."
Dalam keadaan yang masih lemah, aku meminta Qairen untuk mengambilkan ponselku yang tergeletak di meja samping tempat tidurku. Rencanaku adalah untuk menelpon Langit, Qairen dengan cepat mengambil ponselku dan memberikannya padaku dengan lembut. Dengan gemetar, aku menekan nomor Langit dan menunggu dengan harapan agar ada jawaban dari sisi lain. Namun tidak ada respons dari panggilan tersebut.
"Tolong angkat telepon," gumamku dengan hati yang berdebar.
Namun, panggilan terus berdering tanpa jawaban. Qairen menatapku dengan ekspresi keprihatinan. "Apakah semuanya baik-baik saja?" tanyanya dengan suara lembut.
Aku menggelengkan kepala "Langit tidak menjawab panggilanku."
Qairen meraih tanganku dengan lembut. "Mungkin ada alasan mengapa dia tidak bisa menjawab sekarang. Mari kita tunggu sebentar dan coba lagi nanti."
Saat kekhawatiran dan ketidakpastian masih menggangguku, pintu kamar rawat tiba-tiba terbuka dengan gemerlap cahaya dari lorong yang cerah. Seorang dokter yang ramah dan penuh semangat memasuki ruangan, senyumnya hangat menyambutku.
"Hai, dokter" sapaku dengan suara gemetar.
Dokter itu mengangguk dengan ramah, matanya bersinar cerah. "Hai! Hari ini adalah hari yang istimewa karena kamu sudah dinyatakan cukup baik untuk pulang."
Perasaan bahagia dan lega langsung membanjiri hatiku. Setelah sekian lama berada di bawah perawatan, akhirnya aku mendapat izin untuk kembali ke rumah. Rasanya seperti beban besar terangkat dari pundakku, dan aku merasakan kebahagiaan yang mengalir melalui setiap serat tubuhku.
"Pulang?" tanyaku sekali lagi, kali ini dengan senyum yang sulit untuk disembunyikan.
Dokter itu mengangguk mantap. "Ya, pulang! Kamu telah menunjukkan perkembangan yang luar biasa selama beberapa hari terakhir. Saatnya untuk kembali ke rumah dan melanjutkan pemulihan di sana."
Senyumku semakin melebar, dan aku merasa begitu bersyukur atas berita baik ini. Aku berpikir tentang betapa nyamannya akan menjadi kembali di rumah.
Qairen tersenyum padaku dengan sukacita. "Aku sangat senang mendengarnya," katanya dengan hangat.
Perasaan bahagia dan kelegaan memenuhi ruangan, dan aku merasa begitu bersyukur akan kemajuan yang aku alami. Dengan bantuan Qairen, dokter, aku bersiap-siap untuk meninggalkan rumah sakit dan memulai babak baru dalam perjalanan pemulihanku.
Dengan rasa penasaran yang mengganjal, aku menatap Qairen dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan kekhawatiran. "Menurutmu Langit tahu gak ya bahwa aku ada di rumah sakit?" tanyaku dengan suara gemetar.
Qairen memandangku dengan tatapan bijaksana, mencoba untuk meredakan kecemasanku. "Tahu kok dia, dua hari lalu dia yang jaga kamu disini, selepas itu aku gak tahu" jawabnya, suaranya lembut. "Tapi terkadang ada hal-hal yang tidak kita ketahui tentang keadaan orang lain. Mungkin Langit sedang sibuk atau tidak memeriksa ponselnya."
Meskipun jawabannya masuk akal, kekhawatiranku masih belum reda. Aku merasa bahwa Langit harus mengetahui bahwa aku sedang dalam keadaan sakit, terutama saat ini, ketika aku dinyatakan bisa pulang.
Tanpa menunggu lebih lama, aku mencoba menghubungi Langit sekali lagi, berharap agar dia akhirnya menjawab. Namun, panggilan tersebut tetap tidak dijawab, dan kekhawatiranku semakin memuncak.
Qairen melihat kegelisahanku dan mencoba menenangkanku. "Mungkin saatnya untuk pulang, Zephyra," ujarnya dengan lembut. "Langit pasti akan senang mendengar bahwa kamu sudah pulang."
Walaupun hatiku masih dipenuhi dengan ketidakpastian, aku akhirnya menuruti saran Qairen. Aku menyadari bahwa aku perlu fokus untuk pulih sepenuhnya dan tidak membiarkan kekhawatiranku mengganggu perjalanan pemulihan. Dengan hati yang terberat, aku bersiap-siap untuk meninggalkan rumah sakit, dengan harapan bahwa suatu hari nanti aku akan mendapatkan jawaban atas kekhawatiranku tentang Langit.
Saat kami keluar dari rumah sakit, cahaya matahari menyambut kami dengan hangatnya. Udara segar dan aroma bunga-bunga di sekitar membuatku merasa sedikit lebih tenang. Namun, pikiranku masih sibuk dengan kekhawatiran tentang Langit dan keadaannya. Qairen berjalan di sebelahku, memberikan dukungan tanpa kata-kata. Dia mengerti betapa sulitnya momen ini bagiku.
Qairen menatapku dengan penuh perhatian saat kami menunggu lift untuk turun ke lobi rumah sakit. "Aku tahu kamu khawatir tentang Langit," katanya dengan lembut. "Tetapi percayalah bahwa segalanya akan baik-baik saja. Mungkin ada alasan tertentu mengapa dia tidak bisa dihubungi saat ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
MAYAPADA KASMARAN
Short StoryHalo, namaku Zephyra, dan senang sekali bisa bertemu denganmu di sini! Aku adalah orang yang selalu mencari makna dan keindahan dalam setiap momen kehidupan. Bagiku, hidup adalah tentang perjalanan belajar yang tak pernah berhenti. Aku percaya bahwa...