01| Sebuah Tuntutan

3.7K 555 789
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


***

"Terpaksa adikmu tidak boleh menikah sampai kamu duluan yang menikah. Titik."

Semburan suara Ibu dari seberang telepon terdengar seperti cambuk di telinga Inka. Sekarang pukul sembilan malam, sudah cukup baginya bergulat dengan macetnya ibukota setelah seharian menjalani hari melelahkan di balik meja kerja. Inka butuh hari tenang barang semalam. Tetapi telepon masuk dari Ibu di Jogja membuatnya harus menahan migrain yang seketika kambuh.

Dilemparkan tas kerjanya ke sofa, lalu meninggalkan sepatu hak tingginya di belakang pintu. Jarinya menekan tombol loudspeaker pada telepon genggam, menaruhnya di meja dapur sebelum membuka kulkas dengan gerakan cepat dan mengeluarkan sebotol air dingin, berharap seteguk air bisa meredakan pening di kepala. "Aku baru pulang kerja, Bu. Bisa nggak ya kita ngomongin ini besok aja?" Napasnya mengalun lelah.

"Jadi mau bagaimana?" todong Ibu.

Inka membuka tutup botol air dan meneguknya, mencoba menghilangkan rasa kering di tenggorokan. "Buat sekarang kalau Ibu tanya pun jawabannya akan tetap sama. Aku belum mau menikah. Kalau Inga mau langkahin aku silakan."—Inga Laurina Djatmika, putri bungsu keluar Djatmika yang kini tengah menyelesaikan studi pascasarjana di Bandung. Usia mereka terpaut empat tahun. Tidak banyak kesamaan di antara keduanya, termasuk urusan dan nasib percintaan. Begitu pula dengan nasib asmaranya jika disandingkan dengan si sulung Djatmika, Tatisla Djatmika.

Sejak menikah dan memiliki putra pertama yang kini berusaha enam tahun, Isla memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiran. Pergi ribuan kilo dari rumah dan menetap di Kalimantan menemani suami bekerja. Selama hidup, Inka sering dibandingkan dengan sang kakak. Sejujurnya, Inka tak pernah sedikit pun iri dengan kehidupan dua saudarinya. Dia mendukung penuh dan bangga atas seluruh pencapaian Isla dan Inga. Satu-satunya yang diinginkan Inka hanyalah kebebasan dari tuntutan sosial dan batasan-batasan konservatif keluarga aristokrat yang membelenggu hidupnya.

Sebab, selepas kepergian mendiang Bapak enam tahun lalu, anggota keluarganya justru semakin jadi untuk menjodohkannya dengan beragam pria pilihan mereka. Sehingga Inka pikir kabur ke Jakarta adalah pilihan tepat, namun ternyata sama saja.

"Oh tidak bisa seperti itu." Ibu menaikkan pita suara, naik pitam. "Kamu sudah hampir kepala tiga. Tau nggak kamu usia kamu itu sudah tidak sehat untuk wanita hamil, banyak risiko." Ucapan Ibu selalu saja terdengar kolot. "Biar bagaimanapun kesehatan reproduksi wanita itu yang utama dalam pernikahan!"

Loh, mengapa harus wanita lagi yang sudutkan? Mengandung dan melahirkan memang kodrat yang Tuhan anugrahkan kepada seorang wanita. Namun mengapa wanita harus selalu dibebankan dan dilimpahkan tuntuntan akan banyak hal.

Mengapa juga jarang ada kata terdengar perjaka tua? Mengapa masyarakat lebih senang menggaungkan perawan tua? Mengapa dunia senang sekali mengolok dan mencaci wanita? Mengapa?

Inka menghela napas panjang, menaruh botol air di meja dan berjalan ke kamar. Dia melepas blazer, melemparkannya ke tempat tidur, dan dengan gerakan cepat membuka kaitan bra. Tubuhnya terasa lebih lega tanpa tekanan pakaian formal.

KontradiksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang