09| Sadam Haribawa

2.8K 408 2.1K
                                    

Warning:Mengandung bahasa vulgar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Warning:
Mengandung bahasa vulgar

***

Barangkali isi kepalanya bermasalah. Inka lupa kapan hari Senin jadi semenarik ini. Perkara minggu lalu, Sabtu pagi sebelum mereka meninggalkan Jogja dan setelah Adnan berhasil mengusir Hansa pergi dari hadapan mereka.

Saat itu Hansa masih tampak marah. Bergegas masuk ke rumah. Tidak tahu mau apa. Sedang Adnan meminta kunci mobilnya, menyetir sampai YIA, menyimpan kuncinya dalam tas, dan berkata, "Sore saya suruh orang ambil mobil kamu."

Adnan membayar tiketnya. Mencari penerbangan paling cepat menuju Jakarta. Selama penerbangan tidak sepatah kata pun keluar. Inka tentu tak ingin menganggu. Sibuk dengan dirinya sendiri dan perutnya terasa masih digilas sesuatu.

Entah apa menyebutnya, namun ia merasa ada semacam luapan kupu-kupu. Bukan cinta. Bukan pula gelitik asmara. Pagi menjelang siang itu, ia menatap Adnan terang-terangan, mengamati wajah pria yang justru sibuk dengan iPad. Jarinya bergerak lincah di layar, menggeser dan memperbesar berbagai dokumen.

Walau matanya terpaku di layar, ekspresi Adnan tidak menunjukkan ketertarikan yang jelas. Kadang lelaki itu mengerutkan dahi, kadang pula tampak memikirkan sesuatu dengan cukup serius kala menatap gambar medis dan serangkai data.

Perempuan saya. Ia tersenyum lagi, menatap lapisan awan dari balik jendela pesawat. Perempuan saya.

Ayolah, Inka tidak semabuk kepayang itu dengan dua kata tadi. Tetapi diucapkan dari bibir Adnan rasanya lain lagi. Maksudnya, ini Adnan Akhtar, yang entah punya saham berapa di rumah sakit swasta keluarga. Inka terus membayangkan apa yang bisa didapatnya nanti dari seorang Adnan.

"Dicari Bapak." Janita mengetuk meja Inka dua kali. Seperti biasa pantatnya langsung mendarat mulus di ujung meja. "Jam empat lo suruh menghadap dia. Kena lagi, kan?" Wanita yang tengah hamil dua bulan itu menaikkan dagu. "Kenapa? Anak titipnya nggak lo lolosin lagi?"

Inka mendengkus. Dalam satu kunciran tegas, ia merapikan ulang rambut legamnya (yang mungkin dalam waktu dekat akan benar-benar ia pangkas jika benar-benar menikah dengan Adnan).

"Apa susahnya sih masukin orang titipan sekali dua kali? Denger-denger Bapak marah besar."

Inka mengambil gelas kopinya, menyeruput pelan dan meletakkan gelasnya lagi. Jejak lipstik semerah darah tampak jelas di bagian ujung tutup. "Males. Kebanyakan nitip," katanya datar seraya membuka MacBook dan mulai mengecek email. "Nitip-nitip memangnya gue agen daycare."

"Janita meringis. "Lo udah tiga kali buang titipan Bapak." Bapak yang dimaksud adalah komisaris perusahaan. "Cuma lo aja sih yang berani begini ke Bapak."

"Gue digaji buat jalanin tugas. Bukan buat disuruh terima orang nggak layak." Selagi telunjuknya mengusap-usap papan kursor, ia menjelaskan, "Interview nggak bener. Ditanya A-I-U-E-O. Suruh jelasin visi misi perusahaan bingung. Ditanya pertanyaan basic jawabnya gagap. Mau jadi apaan di sini? Mau pamer lanyard pas bukber?" ia menjawab tenang, menatap mata Janita sebentar. "Dikira ini taman bermain? Merasa yakin gitu bakal masuk? Oh, bad day, Anda ketemunya Sasinka. Nggak bisa main serobot masuk. Tugas gue buat rekrut orang yang sesuai standar. Penilaian gue harus objektif sesuai prosedur. Nggak bisa asal main titip. Kalau mau gitu ganti aja namanya jadinya Perusahaan Titipan Bapak."

KontradiksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang