02| Mau Menikah, Asal...

3.1K 527 1.2K
                                    

Challenge: 200 comments for the next part

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Challenge: 200 comments for the next part

***

Tatapan Inga Laurina Djatmika lurus ke depan. Tertuju pada kakak keduanya yang duduk menghadap cermin meja rias. Dari sudut ranjang, diperhatikannya saat wanita dua puluh sembilan tahun itu memoles bibir dengan gincu merah menyala. Sudah hampir sepuluh menit ia terus duduk di tempat yang sama. Sementara Inka tengah bersiap-siap akan menghadiri suatu acara.

"Jadi maksudnya sengaja repot-repot temuin Mbak dari Bandung ke Jakarta pagi-pagi cuma mau bahas ini?" Inka merapikan lisptik di sudut bibirnya menggunakan ujung jari kelingking.

"Aku cuma nggak enak," jawab Inga terus terang. "Sejak kasih kabar Ibu kalau ada kemungkinan aku menikah... Ibu jadi suka maksa Mbak."

Inka menatap wajah kemayu nan lembut Inga dari cermin. Tampak rasa bersalah di rautnya. "Tau dari mana Ibu suka maksa Mbak?"

"Ibu yang bilang. Aku jadi..." Inga terdiam sesaat untuk menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Aku jadi agak nyesel kenalin pacar aku ke Ibu."

"Hey." Inka sontak berbalik di atas kursi rias, memutar tubuh menghadap Inga dengan tampang galak. "Mbak nggak suka ya kalau kamu bilang gitu. Omongan kamu lebih buat Mbak tersinggung dari omongan rese Ibu. Udah, pokoknya urusan Mbak menikah atau nggak, itu biar jadi urusan aku. Kalau memang kamu sudah ada pasangannya, go ahead. Silakan menikah. Mbak bantu supaya pernikahan kamu nggak perlu tunggu aku sampai dapat suami."

"Tapi Mbak..."

"Nggak pake tapi-tapian. Mbak bisa handle, oke?"

"Mbak diomongin keluarga terus. Dibicarain macem-macem sama keluar di Jogja," tutur Inga sedih. "Waktu itu sampai foto Mbak Inka dibawa Eyang ke dukun buat diterawang."

Inka langsung terbahak. Kepalanya menggeleng-geleng tak percaya. Merasa apa yang didengarnya sangat konyol.

"Aku serius, Mbak. Terus Mbak tau nggak kata dukun-nya apa?"

"Apa? Perawan tua?"

"Bukan. Katanya Mbak ketempelan makhluk halus. Mahkluk halusnya sebangsa Jin. Laki-laki."

Astaga. Inka kembali tertawa mendengar rentetan ucapan polos adiknya. Lalu menutup mulut dan mencoba berhenti lantaran sadar dirinya sudah menggunakan pemulas wajah. Tak ingin riasannya hancur hanya karena mendengar berita bodoh soal dunia perdukunan.

"Aku serius, Mbak. Beneran Eyang ke dukun."

Saking gelinya tadi, sampai-sampai tumbuh setitik air di ujung mata Inka. Kemudian ia berbalik lagi menghadap cermin. Menyeka bagian matanya dengan gerakan hati-hati. "Iya percaya. But that's the funniest thing I've ever heard ya ampun. Bisa gitu loh dia sampai kepikiran minta terawang shaman: dukun," katanya sambil merapikan kembali bagian mata. "Eyang and her old-fashioned way tuh ada aja deh gebrakannya. As always, makin tua makin lucu."

KontradiksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang