03| Semoga Belum Ada yang Punya

2.9K 477 1.2K
                                    

Challenge: 400 comments

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Challenge: 400 comments

***

Mercedes-Benz hitam Adnan melaju dengan kecepatan sedang, melintasi sepanjang jalan Jagakarsa. Matahari mulai meredup dari ufuk barat. Percikan-percikan cahaya jingga masuk melalui beberapa bagian kaca mobil. Di sebelahnya duduk pria enam puluhan dengan wajah yang mulai banyak disinggahi garis penuaan namun masih tampak tegas. Pria itu Parma Rahadi Akhtar, kakak kandung Hardi Pramudi Akhtar yang hanya terpaut dua tahun lebih tua dari ayahnya.

"Udah dua puluh tujuh tahun aja." Tiba-tiba pria itu bergumam sayup. Pandangannya mengambang ke luar jendela, memperhatikan Trans Jakarta yang baru saja lewat. "Baru juga kemarin, Nan, rasanya denger kamu ngadu sama saya. Dengerin anak tujuh tahun ngadu dipukulin sama Papanya sampai-sampai saya susah tidur. Sekarang tau-tau sudah jadi Dokter aja," ucapnya pelan. "Dokter bedah saraf pula."

Adnan tidak menjawab. Bibirnya melekuk tipis, merespon. Sejenak mobilnya diisi keheningan. Bisa ia dengar bunyi napas Parma mengalun dari celah bibir.

Beberapa jam lalu Parma minta dijemput. Mengambil penerbangan dari Singapura menuju pelabuhan kapal ferry Batam sebelum akhirnya mereka bertemu di bandara Seokarno Hatta. Adnan sempat bertanya mengapa harus repot-repot melalui Batam jika bisa langsung ke Jakarta. Padahal ia tau pamannya bukan orang yang pelit atau gemar cari promo penerbangan.

Pada saat itu Parma hanya menjawabnya dengan senyum, tepukan dan gosokan tangan di pundaknya. Seolah-olah membiarkan pertanyaannya menguap dan berbicara dengan topik lain.

"Wah, jangan tanya dulu kalutnya saya dengar keponakan saya satu-satunya dipukuli."

Sesaat, Adnan menghentikan mobil bergabung dengan pengguna kendaraan lain di lampu merah.

"Papamu saya bawa ke pengadilan. Sempat adu tinju juga di kantor polisi. Rame waktu itu. Nyebar ke mana-mana beritanya. Banyak kenalan kita jadi tau." Parma sedikit tertawa mengingat-ingat kejadian tahun 97 silam. "Marah saya, Nan. Abis dari situ kan sampai kamu SMA saya baru liat kamu lagi."

Adnan mengangguk kecil.

"Gila Papamu dulu." Parma menggeleng-geleng prihatin. "Anak harus ikut maunya." Matanya kembali menyisir jalan ketika mobil sudah kembali melaju. "Saya mau angkat kamu dulu," katanya separuh melamun. Membuat Adnan spontan menoleh beberapa derajat hanya dan dalam hitungan detik kembali lurus ke jalan. "Mau angkat kamu jadi anak."

Parma tak pernah punya anak. Tiga puluh delapan tahun pernikahan, tak pernah sekalipun Tuhan hadirkan momongan, bahkan sampai istrinya mengembuskan napas terakhir lima tahun lalu. Baginya memiliki anak sama seperti mimpi yang jalannya beriringan dengan putus asa. Dan tahu bagaimana Adnan diperlakukan masih saja meninggalkan kesan tak enak di dada.

"Ya, tapi kamu tau lah, Papamu pandai bicara. Semuanya jadi mudah kalau Papamu yang urus. Saya dulu apa, Nan. Bukan siapa-siapa. Papamu sejak punya kamu sudah jadi Dokter dan mulai bangun rumah sakit. Mimpinya dari kecil. Saya kan dulu cuma pedagang." Kebetulan sekarang Parma memiliki gurita bisnis mulai dari kuliner hingga perusahaan kosmetik peninggalan mantan istri. "Kalau sekarang mau dibandingin pun masih jauh sama adek saya."

KontradiksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang