07| Pertama Mereka

4.3K 575 4.2K
                                    

⚠️ implicit scene and graphic language ⚠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


⚠️ implicit scene and graphic language ⚠️

***

Dua jarinya mengepit rokok sepanjang telunjuk. Satu isapan panjang membuat dadanya seolah ikut terangkat naik. Dilepasnya asap itu dari celah bibir semerah delima, dan kemudian asapnya bergelung-gelung di udara.

Menempel sudah bau tembakau bakar di sela rambut dan rompi cokelat tua tanpa lengan yang Inka kenakan. Aromanya campur padu dengan parfum Prancis berbau bunga datura. Sedang matanya sibuk memindai satu demi satu baris kalimat, membaca lima lembar halaman terakhir buku Candide karangan Voltaire.

Buku Candide adalah sebuah novel satir yang diterbitkan tahun 1759. Mengisahkan perjalanan seorang pemuda bernama Candide. Candide dibesarkan dalam keadaan nyaman dan optimis, dipengaruhi oleh filosofi Leibnizian yang menyatakan bahwa: "segala sesuatu terjadi untuk yang terbaik di dunia ini." Inka banyak belajar dari buku ini. Salah satu kutipan yang menarik perhatiannya adalah:

I have wanted to kill myself a hundred times, but somehow I am still in love with life.

Itulah Inka.

Itulah dirinya setelah Bapak tiada.

Ia ingin membunuh dirinya berulang kali. Tetapi ada semacam perasaan ambivalen, bahwa ia tetap mencintai sebuah kehidupan.

Buku itu dibiarkannya terlentang di meja selagi matanya menyapu tulisan. Kakinya bertumpu di atas kaki lainnya, dan jari lentiknya menyibak sisa halaman terakhir dengan cara gemulai. Mata dan pikirannya tenggalam pada seluruh untai kata dalam kertas.

Tujuh menit berlalu, ditutupnya buku itu. Selesai lah ia menuntaskan satu lagi buku, di teras rumahnya di Yogyakarta. Inka menyesap sekali lagi sisa rokok sebelum menekan ujung puntungnya ke asbak kaca. Maksudnya memang begitu, habiskan dulu rokoknya sebelum masuk dan bertamu ke rumah.

Omong-omong ia lebih senang menyebut datang ke rumah dengan istilah bertamu ketimbang pulang. Lama sekali rumah Eyang tidak terasa seperti rumah yang membuka lengan menantinya pulang.

Bertepatan dengan tertutupnya buku, seorang pria bertubuh ramping dengan kacamata minus berbingkai hitam menggantung di puncak hidung berdiri mematung di dekat undakan anak tangga pelataran. Entah baru saja tiba atau sejak tadi ada di sana. Oh, sekarang Inka baru ingat. Lelaki itu bernama Hansa Gaurav, anak dari gubernur yang masih menjabat sampai hari ini.

Sewaktu SMA, Bapak pernah kenalkan Hansa kepadanya di salah satu acara amal. Kebetulan dari ketiga putrinya, Bapak minta Inka yang temani. Bapak bilang mungkin Hansa akan cocok berteman dengannya. Sepuluh menit berlangsung, yang dikatakan Hansa hanya seputar merk mobil, merk jam tangan, dan semua tentang kekayaan yang Hansa pikir bisa menarik perhatian. Otak kosong. Saat itu Inka menamai Hansa begitu.

Sekarang ia baru ingat namanya. Hansa.

"Hai." Lelaki itu tersenyum. Langsung saja menempati kursi jati berseberangan dengan kursi Inka. Ada penghalang meja di antaranya. "Baru sampe?"

KontradiksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang