Dua

110 11 4
                                    

Rega kabur? Oh, tentu saja tidak! Setelah menyerahkan isi dompet beserta ponselnya lalu pergi, dia diikuti Bara. Lelaki itu dengan gentle membawa kembali Rega ke hadapan orang tuanya. Meyakinkan Rega kalau sesungguhnya dirinya tidak memiliki niat jahat.

Pasrah tentu saja. Dalam dua hari dia akan bertolak ke Australia mengesahkan pernikahannya. Bara bilang, kalau Rega kabur, dia benar-benar akan kehilangan segalanya karena Yandi akan mencabut semua fasilitas Rega. Rega tentu saja tak siap jadi gembel.

Pria bernama Bara itu tinggal di rumah Rega, katanya sih biar tidak bolak balik ngurusin urusan pernikahan. Rega yang tidak keluar kamar sejak wisuda kemarin akhirnya memutuskan untuk ikut berkumpul di rumah Biru. Daripada di rumah suntuk dengan urusan pernikahan yang absurd dan tidak masuk akal itu.

"Mau ke mana Rega?" Yandi mengagetkan Rega. Ternyata papanya itu sedang berbincang santai dengan Dina, Bara dan satu orang pria yang tidak Rega kenal.

"Ke rumah Biru."

"Kamu mau nikah harusnya gak usah keluyuran," cegah Yandi.

"Justru karena Rega mau nikah, Rega harus puas-puasin main. Rega gak bakalan kabur, papa tenang aja. Jangan takut kehilangan perusahaan atau kekayaan, Rega bakalan siap jadi budaknya papa."

"Kamu kalau ngomong pake filter Napa sih, Ga?"

"Papa kayaknya lebih butuh deh, gak hanya ucapan, tindakan papa juga kudu difilter."

"Udah pa, kita lagi ada tamu malah ribut." Dina menengahi. "Jangan pulang malam-malam. Lusa kamu sudah harus berangkat ke Australia. Jaga kesehatan."

Rega tidak menjawab, dengan malas dia tinggalkan rumah menuju kediaman Biru. Papanya serius tentang semua fasilitas yang diambil, katanya sih Rega nanti dapat semua fasilitas itu dari Bara.

Jadinya dia bingung sendiri, sekadar mau pergi ke rumah Biru pun harus menunggu ojek online datang.

"Ayo saya antar," ajak Pria yang enggan Rega temui. Penampilannya lebih santai dibanding saat wisuda, hanya pakai polo shirt warna navy dengan celana chino broken white. Rega melirik sekilas, tangan Bara berurat dengan bulu-bulu halus yang berbaris rapi. Kukunya bersih, bentuknya cantik persis seperti kuku yang sering dirawat dengan baik di salon-salon.

"Gak usah, udah order ojek online," tolak Rega. Sedikit dusta karena memang belum sempat order, masih bimbang mau pakai ojek apa taksi online.

"Cancel aja, yuk saya antar. Saya gak enak sama Papa Yandi."

Rega memiringkan kepalanya, lalu senyum sinis. Papa Yandi katanya, Rega sungguh ingin tertawa.

"Saya janji cuma ngantar aja, gak bakalan ganggu kamu, gak bakalan ikut campur urusan kamu. Yuk mau ya," ajak Bara sekali lagi.

Rega mengangguk, bukan luluh, tapi takut terlambat. Takut dilalap sama Biru kalau dia datang telat. Jadinya ya oke-oke aja terima tawaran Bara. Sepanjang perjalanan tidak ada yang bicara Rega fokus dengan ponselnya, Bara fokus dengan jalanan. Anggap aja sedang naik taksi online, Rega tidak menganggap sopirnya ada.

"Ini ke mana?"

"Oh." Rega lupa ngasih alamat, saking asiknya dengan pikiran sendiri.

"Puri Citraland, Blok K 21."

"Oke. Kirain mau nongkrong-nongkrong di cafe," ucapnya basa-basi. Rega tidak menjawab, dia masih sibuk dengan ponselnya. Sibuk scroll sambil liat postingan lucu-lucu di Instagram.

"Oh iya—"

"Bisa diem gak sih, katanya gak bakalan ganggu."

"Maaf, cuma mau ngasih tahu. Ini," tangan kiri Bara membuka dashboard lalu mengambil segepok surat undangan.

Rega meraihnya, warnanya hitam legam. Polos tanpa hiasan apa pun kecuali dua inisial namanya dan nama Bara. B dan R bersanding serasi dengan tinta emas terlihat kontras di amplop persegi itu.

Rega berdecih, melempar setumpuk amplop itu ke tempat semula. Dia lantas memalingkan wajah dan lebih memilih melihat jalanan di sisi kirinya.

"Bawa dua atau tiga, barangkali mau mengundang teman-teman kamu. Saya dengar dari Papa Yandi katanya beliau udah siapin 4 tiket tambahan buat teman-teman kamu."

Rega menghela napas dia menarik asal amplopnya, membawa dua lembar, ada beberapa surat undangan yang jatuh. Rega biarkan saja, tidak berminat untuk mengambilnya. Bara bukan tidak melihat, dia melirik sekilas, lalu kembali fokus pada jalanan.

Tiba di rumah Biru, Rega hendak membuka pintu mobilnya. Sayangnya tangannya dicekal.

"Apa lagi?"

"Ini, buat jajan. Tolong jangan ditolak, tadi saya dengar dari Papa Yandi ATM kamu enggak dibalikin."

Melihat lembaran merah di tangan calon suaminya, Rega lantas menerimanya. Tanpa kata, apalagi ucapan terima kasih.

"Bro, Lo kenapa sih. Wajahnya ngelipet terus, baru dateng juga?" tanya Kastara.

"Iya, galau gak sih Lo, sini curhat sama Aa," goda Biru. Rega meraih kursi lalu mendorongnya, dia duduk di meja makan, melihat menu masakan yang dimasak Biru, atau Pak Guru.

"Gue kena karma kayaknya." Rega menutup tudung saji dengan malas.

"Ngomong yang bener!" Kastara melempar kulit kacang ke arah Rega. Bukannya bicara Rega malah menelungkupkan wajah di meja.

Hidupnya berubah seketika, padahal setelah Wisuda Rega memimpikan kehidupan yang menyenangkan dan penuh tantangan. Mencari pekerjaan, memulai kariernya dan mulai menekuni hobinya.

Rega nyaris tidak bisa menolak, bahkan semua persiapan sudah diurus. Gak disangka undangan pernikahan pun sudah jadi. Rega jadi heran, kapan kedua orangtuanya mempersiapkan itu semua.

"Gue mau minta maaf sama kalian berdua. Maaf karena selama ini ngeledekin kalian jadi homo dan bucin sama pacar masing-masing. Maaf gue salah, maaf." Rega terisak. Biru dan Kastara yang semula tidak menganggap serius kini menegakkan badannya. Dia yakin Rega serius.

"Lo punya pacar cowok?" tanya Kastara.

"Lebih dari itu," bisik Rega.

"Lo udah ML sama cowok?" selidik Biru.

"Enggak."

Rega meraih tas, dia mengeluarkan sejumlah uang di hadapan Kastara dan Biru. Uang yang diberikan Bara sebelum turun dari mobil tadi.

"Belanja, gih. Beli makan apa aja, anggap aja pesta bujangan sebelum gue nikah hari Minggu besok."

Rega menunduk lesu, dia sambar tisu di hadapannya lalu menghapus air mata.

"Jangan becanda!" Ejek Biru.

Rega tersenyum hampa, "keliatan becanda ya gue? Sama, sampai saat ini juga gue mengira kalau hidup gue sebecanda ini."

"Serius, Ga. Lo mau nikah?" tanya Kastara.

Rega meraih kembali tas dan mengeluarkan surat undangan bersampul hitam.

"Lo bener, Ru, cowok yang datang saat wisuda kemarin itu ternyata calon suami gue. Pantas saja mepetin terus, ngasih buket bunga segala. Ah gak tau ah. Gue mau kabur aja rasanya."

Biru dan Kastara membaca surat undangan itu dengan serius. Normalnya mereka akan saling lempar ejekan, namun, situasinya tidak memungkinkan. Rega sedang tidak berselera untuk bercanda. Untung kedua temannya pengertian.

Biru meletakkan surat undangan itu lalu menarik Rega ke dalam pelukan. Setidaknya Rega bisa tenang, karena Biru tidak bisa menenangkan Rega dengan nasihat atau jalan keluar. Kastara menatap iba, dia ikut merangkul Rega. Menepuk-nepuk punggung lelaki itu, lelaki yang diam-diam menangis di pelukan sahabatnya.

Chasing HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang