5

509 71 1
                                    

Lucas tersenyum dengan riang menunjukkan handuk dan pakaian ke arahku.

Harus kupertanyakan lagi kebenaran dari perkataan media. Karena aku tidak menemukan sama sekali kesuraman di wajah pria ini. Yang ada hanya ejekan dan seolah dia bahagia dengan segala sudut kehidupannya. Dia bahkan sangat menikmati kejengkelan di wajahku. Seolah seluruh kekesalan di dalam diriku adalah hiburan baginya di antara lelah rutinitasnya.

"Hanya ini, kemejaku. Atau handuk kecil yang bahkan mungkin tidak mampu menutup pangkal pahamu."

Aku memandang penuh kebencian padanya. Meraih handuk dan akhirnya kemeja itu dari tangannya. Meninggalkannya kemudian masuk ke kamar mandi. Aku mandi dengan cepat dengan air hangat dan segera melilitkan handuk di kepalaku. Setelahnya aku mengenakan kemejanya yang sesuai dugaanku, kebesaran. Menutup sampai ke atas lutut tapi jelas tidak memakai bra dibaliknya menjadi ketidaknyamanan tersendiri bagiku.

Tapi saat ini aku tidak bisa memilih-milih. Aku harus menunggu Sheri datang dan menjelaskan semuanya. Jadilah aku keluar dengan tampilan yang membuat aku tidak nyaman. Menemukan kalau di kamar Lucas sudah tidak ada, aku berlari keluar hanya untuk menemukan dia bersandar di dinding dengan kedua tangan masuk ke saku celananya.

Dia terkejut menemukan aku yang berlari. Aku terkejut menemukan kesuraman di wajahnya.

Tapi dia lebih cepat mengendalikan dirinya, sesaat kemudian dia sudah tampak biasa saja seolah tidak ada yang terjadi padanya. Bahkan dia menatap aku seksama sampai aku sendiri merasa tidak nyaman dengan mata yang seolah memiliki lubang hitam di tengahnya. Yang akan menyedotku sampai aku tidak sadar diri.

Aku menggeleng, menarik kembali kesadaran. "Aku sudah selesai. Apa kau ingin menggunakan kamar mandi?"

"Hm?"

"Kau menunggu di sini, kupikir kau akan menggunakan kamar mandi."

Dia linglung sebentar dan tersenyum dengan aneh kemudian. "Aku menungguku, aku takut kau akan melarikan diri dan membuat aku harus sibuk mengejar dan mencarimu."

Melongo aku dibuatnya. "Melarikan diri? Dari lantai dua?"

Dia mengangkat bahu dengan santai, sama sekali tidak terganggu dengan ketercenganganku.

"Ini lantai dua. Menurutmu, bagaimana aku akan melarikan diri?"

"Mungkin lompat. Di bawah rumput."

Aku tertawa dengan keras, benar-benar tertawa karena merasa hidupku benar-benar seperti lelucon yang sangat menyedihkan. Aku sudah kehilangan suami. Diusir mertuaku dan dicap sebagai pembunuh juga peselingkuh. Sekarang aku bertemu dengan mahluk yang benar-benar menguji batas sabarku.

Sepertinya semesta terlalu melebihkanku hingga berpikir aku akan bisa bertahan pada segala terpaan kehidupan ini. Apalagi jika terpaan itu berwujud seperti Lucas Sanford. Siapa di dunia ini yang bisa bertahan?

"Aku harap bisa mencekikmu. Aku benar-benar tergoda."

Lucas menyodorkan lehernya. "Kau bisa melakukannya. Aku tidak masalah."

Menekan kuku pada telapak tanganku, aku segera bergerak pergi meninggalkannya. Meladeninya hanya akan membuat aku mati muda. Dan meski hidupku menderita, aku juga tidak mau meninggalkan dunia ini dengan cepat. Aku menginginkan kematian alami yang sampai hembusan napas terakhirku, aku tidak akan pernah menyesali apa pun.

Entah karena beban pikiran. Atau karena lelah saja, aku hampir terjatuh ke depan dengan anak tangga kaca yang licin. Sebuah tangan menghentikan sesuatu yang buruk menimpaku. Lucas memelukku dari belakang dengan napasnya yang terasa berkejaran. Seperti dia yang hampir saja jatuh dan menggadaikan nyawanya.

"Terima kasih," gumamku kecil. Aku memang tidak senang dengannya, bahkan waspada padanya. Tapi aku bukan orang yang tidak masuk akal. Yang tidak bisa mengatakan terima kasih pada kebaikan orang lain hanya karena aku tidak suka dengan caranya memperlakukanku.

Jika aku jatuh tadi, bukan tidak mungkin aku akan kehilangan calon bayiku.

"Lain kali jangan naik lagi. Aku akan mengatur kamar di bawah untukmu. Ini terlalu berbahaya," ucapnya memberikan titah. Seperti sebuah perintah di mana kau tidak akan memiliki celah untuk melawannya.

Aku sudah akan mengemukakan suara, tapi suara teriakan terkejutku lebih dulu terdengar saat dia dengan mudah menggendongku menggunakan lengannya. Membawa aku dalam kedekatan paksa dengan tubuhnya yang menguarkan aroma pohon pinus yang menyegarkan. Aroma ini hanya bisa tercium jika kau mengikis jarak darinya. Tapi saat sedekat ini, aromanya begitu nyata sampai rasanya kau berada di tengah pohonnya langsung dan mendapati bahwa kau suka berada di sana menjadi ketidaktenangan tersendiri bagiku.

"Jangan bergerak. Aku akan membawamu turun."

Aku mengalihkan tatapan darinya yang menatap aku dengan tajam seolah dia tengah menatap mangsa yang hendak melarikan diri darinya. "Apa yang kau lakukan? Aku bisa jalan sendiri."

"Dan membuat dirimu berpotensi jatuh lalu menyakiti anak kita?"

Saat dia mengatakan anak kita ada sesuatu di dalam diriku yang menggelegak tidak menyenangkan. Seperti sebuah kobaran rasa yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Itu menyenangkan tapi menakutkan.

Sekarang aku tidak bisa mengelak darinya, jadi aku melingkarkan tangan di lehernya dan coba menutup mata pada bagaimana dia membawaku turun secara perlahan sampai kami tiba kembali di sofa ruang tengah. Dia pelan mendudukkan aku di sana dan segera meraih handuk yang menutup kepalaku.

Aku mendongak menatapnya, mempertanyakan kenapa dia melakukannya. Tapi kemudian jawaban datang padaku tanpa aku menunggu. Dia sibuk mengeringkan rambutku dengan handuk itu. Aku mendongak hendak mengambil handuk darinya tapi dia memberikan aku pandangan yang sebelumnya tidak pernah dia berikan. Pandangan itu tajam, dingin dan seolah melubangi inti jiwa. Membuat aku tidak bergerak dibuatnya dan akhirnya mengikuti apa yang dia inginkan. Diam membiarkan dia mengerikan rambutku.

Beberapa saat dalam keheningan, aku merasa tidak nyaman olehnya. Dia harusnya bicara. Aku tiba-tiba lebih suka mendengar dia melemparkan lelucon buruknya yang akan membuat aku sakit hati karenanya. Dari pada dia diam seolah aku melakukan kesalahan.

"Apa aku melakukan salah?"

"Hm?"

"Kau seperti tidak senang denganku. Kesalahan apa yang aku lakukan sampai kau seperti ini?"

"Aku melakukan kesalahan. Bukan kau."

Aku mengerut. Apa maksudmu? Saat aku hendak bertanya, Glen sudah lebih dulu datang membuat aku tidak bisa mengatakan apa yang membuat aku begitu tidak mengerti.

"Tuan Muda, Dokter Sheri sudah ada di sini."

Lucas menatap Glen dan diam sejenak kemudian mengangguk. "Bawa dia masuk."

Glen mengangguk dan segera berbalik pergi.

Lucas sendiri sudah duduk di dekatku. Dia masih memakai satu tangannya mengusap rambutku. Tapi sekarang wajah itu sudah tampak lebih baik dari sebelumnya. Hanya kembali menjadi datar tanpa ekspresi. Tapi itu benar-benar lebih baik dari pada dia menunjukkan wajah marahnya yang tidak menyenangkan. Yang membuat aku merasa seperti dalam tekanan air yang begitu dalam.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Benih Sang Presiden (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang